Jakarta, Teritorial.Com – Komisioner Komnas Perempuan Adriana Venny menekankan pentingnya pengetahuan terkait perspektif gender bagi aparat penegak hukum.
Venny menjelaskan bahwa pengetahuan tersebut berguna untuk mencegah kriminalisasi terhadap korban pemerkosaan dan kasus kekerasan terhadap perempuan lainnya.
“Kalau mereka minta pelatihan di Komnas Perempuan, kita sangat terbuka kok. Ini kan masalah mau atau tidak mau,” kata Venny setelah acara Media Briefing: Jangan Hukum Korban Perkosaan, di Bakoel Koffie Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (5/8/2018).
Perspektif tersebut akan membuat penegak hukum memiliki kesadaran dan cara pandang yang lebih memihak kepada perempuan saat menangani kasus-kasus tersebut.
Jika tidak, kriminalisasi akan terus berulang. Ia berkaca pada penanganan kasus pemerkosaan yang menimpa gadis berinisial WA (15) di Jambi.
WA mengaborsi kandungan hasil persetubuhan dengan pelaku, yang merupakan kakaknya sendiri, AR (18).
Akibatnya, WA divonis 6 bulan penjara di Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak Sungai Buluh, Muara Bulian, Kabupaten Batanghari, Jambi.
Venny melihat jaksa dalam kasus yang menimpa WA tidak memiliki kesadaran atas kesalahan pada tuntutannya.
Justru dia (jaksa) melakukan ketidakadilan terhadap korban karena korban itu anak-anak, karena dia (korban) itu korban pemerkosaan. Itu kan yang tidak pernah kita duga, kok tega,” kata Venny.
Pelatihan untuk menanamkan perspektif tersebut idealnya diberikan pada saat para jaksa dan hakim menempuh pendidikannya.
“Ketika mereka sudah menjadi hakim, jaksa, mereka sudah sibuk. Sebelum sibuk itulah mereka justru harus sekolah soal bagaimana menjadi aparat hukum yang responsif gender,” terangnya.
Sayangnya, masih banyak aparat penegak hukum yang memang belum menyadari pentingnya hal tersebut.
Buktinya, peserta yang mengikuti penyuluhan Komnas Perempuan terkait Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP) masih minim.
Venny menyebutkan hal-hal itulah yang masih perlu diperbaiki ke depannya.