Jakarta, Teritorial.Com – Promosi Brigjen TNI Dadang Hendra Yudha dan Brigjen TNI Yulius Selvanus ke Kementerian Pertahanan menambah daftar nama eks penggawa Tim Mawar yang mulai merapat ke kementerian yang dikomandoi Prabowo Subianto. Keduanya mantan anggota Tim Mawar dalam operasi penculikan dan penghilangan paksa terhadap aktivis pada era Orde Baru.
Keduanya mendapat promosi ke Kemenhan berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 166/TPA Tahun 2020 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada Rabu (23/9/2020). Di mana keputusan ini berdasarkan usulan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto melalui dua surat kepada Presiden bernomor SR/479/M/VII/2020 pada 28 Juli 2020 dan SR/568/M/IX/2020 tanggal 7 September 2020.
Sederet Nama Eks Tim Mawar Menjabat di Kemhan
Berdasarkan catatan Kompas.com, sebelumnya terdapat sejumlah personel Tim Mawar yang sudah lebih dulu merapat di lingkungan Kemhan diantaranya adalah. Pertama Mayjen (Purn) Chairawan Kadarsyah Kadirussalam/ Nusyirwan Chairawan merupakan mantan Komandan Tim Mawar. Berdasarkan Keputusan Menteri Pertahanan No. KEP/1869/M/IX/2019, ia dipercaya mengemban posisi Asisten Khusus Kemhan.
Kedua Brigjen TNI Nugroho Sulistyo Budi. Budi dimutasi dari Staf Ahli Ka BIN Bidang Sosbud BIN menjadi Staf Ahli Bidang Politik Kemhan. Mutasi tersebut berdasarkan surat keputusan Panglima TNI Nomor Kep/92/I/2020 pada 31 Januari 2020 tentang pemberhentian dari dan pengangkatan dalam jabatan di lingkungan TNI.
Ketiga Mayjen TNI FS Multazhar saat ini menjabat di lembaga pendidikan Kemhan sebagai Kasatwas Unhan. Fausani Syahrial (FS) Multhazar adalah Wakil Komandan Tim Mawar. Berdasarkan situs Kementerian Pertahanan dan PPID TNI, dia menjadi Kepala Bagian Pengamanan Biro Umum Setjen Kemhan pada 2012. Selanjutnya, pada 27 Mei 2020, dia dilantik menjadi Kepala Satuan Pengawas Universitas Pertahanan (Kasatwas Unhan).
YLBHI Pemerintah Berikan Imunitas Hukum Kepada Aktor Kejahatan Kemanusiaan
Menjabat di Kemenhan Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan, merapatnya satu per satu eks Tim Mawar tersebut akan semakin meneguhkan impunitas negara atas kejahatan kemanusiaan yang dilakukan mereka pada masa lalu.
“Itu sangat memalukan dalam konteks tegaknya HAM di Indonesia, semakin meneguhkan impunitas atau pengampunan, tidak disentuhnya para pelaku pelanggar HAM. Seharusnya orang-orang yang terbaik yang diangkat,” ujar Isnur saat dihubungi Kompas.com, Rabu (30/9/2020) malam.
Isnur menganggap, merapatnya pelaku pelanggaran HAM masa lalu di kementerian merupakan langkah mundur negara dan telah menyalahi etika pemerintahan yang baik. “Ini menandakan Presiden Jokowi adalah Presiden yang sangat tidak peduli terhadap HAM. Ini jelas melanggar etika pemerintahan yang baik,” kata dia. Tim Mawar merupakan Grup IV Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD yang dipimpin Prabowo Subianto saat masih menjabat Komandan Kopassus.
Menjauhkan Mandat Reformasi Berdasarkan catatan Kontras, Brigjen TNI Yulius Selvanus dan Brigjen TNI Dadang Hendrayudha merupakan anggota eks tim mawar yang ketika itu berpangkat kapten melakukan operasi penculikan dan penghilangan paksa terhadap aktivis pada era Orde Baru.
Komnas HAM Usul Ajukan Gugatan di Pengadilan
Komnas HAM menilai, pihak-pihak yang keberatan dengan pengangkatan dua anggota mantan Tim Mawar di lingkungan Kemhan dapat mengajukan gugatan ke pengadilan untuk membatalkan keputusan pengangkatan tersebut. Menurut anggota Komnas HAM, peristiwa penculikan aktivis pada kurun 1997-1998 yang melibatkan Tim Mawar merupakan pelanggaran HAM berat. Presiden Joko Widodo pun pernah mengakui peristiwa tersebut.
“Dalam dua konteks di atas, keluarga korban bisa menggugat surat keputusan pengangkatan di Pengadilan Tata Usaha Negara. Kerangka dasarnya apakah ini dalam prosesnya melawan hukum atau tidak. Kemudian secara substansi, apakah keputusan yang diambil mencerminkan publik atau tidak,” kata Choirul seperti dilansir dari Kompas.id, Rabu (30/9/2020).
Ia menambahkan, pihak keluarga dapat mengajukan gugatan berlandaskan dua dokumen, yaitu formal dan informal. Dokumen formal berupa status kasus penculikan aktivis tersebut sebagai pelanggaran HAM berat. Sedangkan dokumen informal adalah janji Presiden untuk menyelesaikan persoalan ini. Choirul mengatakan, sudah bertahun-tahun kasus penculikan aktivis tidak kunjung selesai. Hal itu menimbulkan ketidakpastian hukum. Asas kepastian hukum bisa menjadi dasar melanjutkan gugatan perbuatan melawan hukum (PMH).
Kontras Sebut Pemerintahan Jokowi Mengabaikan Supermasi Sipil
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai keputusan Presiden Joko Widodo menyetujui dua eks anggota tim mawar menjabat di Kemhan semakin menjauhkan supremasi sipil dari mandat reformasi.
Bahkan Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti kepada awak media secara terang-terangan mengatakan kita sudah masuk ke dalam rezim militerisme semenjak Presiden memilih berbagai mantan jenderal TNI duduk di posisi-posisi strategis pada masa kepemimpinan Jokowi.
Dengan ditambahnya eks tim mawar memperburuk situasi ini dan menjauhkan supremasi sipil dari mandat reformasi. Berdasarkan rekam jejak tersebut, Kontras lantas mempertanyakan langkah Presiden yang membiarkan pelanggar HAM menduduki jabatan strategis.
“Bagaimana bisa Presiden membiarkan orang yang memiliki rekam jejak buruk pada masa lalu menjalani pemerintahan hari ini, mengakibatkan pemerintahan hari ini tidak kredibel dalam mengatur tatanan pemerintahan,” tegas Fatia.
Dalami Proses Penunjukkan Eks Tim Mawar Jadi Pejabat di Kemenhan Keputusan itu tertuang dalam salinan surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor: 166/TPA Tahun 2020 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Dari dan Dalam Pimpinan Tinggi Madya di Lingkungan Kementerian Pertahanan yang ditandatangani Jokowi pada Rabu (23/9/2020).
Adapun keputusan ini berdasarkan usulan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto melalui dua surat kepada Presiden bernomor SR/479/M/VII/2020 pada 28 Juli 2020 dan SR/568/M/IX/2020 tanggal 7 September 2020.