Nasib Guru Honorer dan Pembangunan Sekolah Terancam Imbas Pemangkasan Anggaran Pendidikan?

0

Jakarta, Teritorial.com – Presiden Prabowo menetapkan kebijakan pengiritan atau efisiensi untuk anggaran sektor Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen).

Anggaran sekitar Rp8 triliun dipangkas imbas dari kebijakan efisiensi pemerintahan Prabowo tersebut.

Hal ini tentu dikhawatirkan akan mengancam sektor pendidikan dan sejumlah program penting yang ada di sekolah.

Ubaid Matraji, pengamat pendidikan pun mempertanyakan kebijakan efisiensi anggaran di Kementerian Pendidikan Menengah dan Dasar (Kemendikdasmen) saat problem sertifikasi guru, kesejahteraan guru, serta ketersediaan sekolah yang belum merata masih terjadi.

Efisiensi tersebut pun dinilai tidak tepat jika berkaca dari kondisi tersebut, menurutnya.

“Mestinya anggaran ditambah,” ungkap Ubaid.

Namun, kebijakan pemotongan anggaran sampai Rp 8 triliun membuat kementerian itu mengelola sekitar Rp 25,5 triliun.

Kepala Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru, Iman Zanatul Haeri, mengkritik kebijakan efisiensi demi mengamankan anggaran negara untuk menopang program lain, sebut saja Makan Bergizi Gratis.

Menurutnya, kebijakan makan siang gratis ini sudah diprotes para murid di sejumlah titik di Papua yang justru menginginkan kemudahan akses untuk pendidikan.

“Artinya itu sudah menjadi contoh bahwa kita punya masalah serius di dalam dunia pendidikan untuk mengakses pendidikan yang tidak dipungut biaya,” tutur Iman.

Pemotongan anggaran Kemendikdasmen menjadi konsekuensi kebijakan efisiensi yang ditempuh dalam anggaran 2025.

Hal ini juga dilandasi terbitnya Instruksi Presiden No. 1/2025 tentang efisiensi belanja dalam pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025.

 Lewat aturan itu, pemerintah memangkas anggaran belanja kementerian dan lembaga sebesar Rp256,1 triliun dari alokasi awal Rp1.160,1 triliun untuk 2025.

Sementara itu efisiensi anggaran transfer ke daerah mencapai Rp50,5 triliun dari alokasi awal Rp919,9 triliun.

Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi mengatakan, efisiensi anggaran ini untuk menopang program pemerintah Makan Bergizi Gratis, juga mewujudkan ketahanan pangan dan energi.

Apa saja anggaran yang dipotong?

Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) ditetapkan melakukan efisiensi sebesar 23,95%, atau sebesar Rp8,03 triliun, dari anggaran belanja awal sebesar Rp33,5 triliun.

Target pemotongan kementerian dan lembaga, seperti tertulis dalam Lampiran Surat Menteri Keuangan No. S-37/MK.02/2025.

Berikut pengeluaran di Kemendiksamen yang dipangkas anggarannya:

– Alat tulis kantor: 90%

– Percetakan dan suvenir: 75,9%

– Sewa gedung, kendaraan, peralatan: 73,3%

– Belanja lainya: 59,1%

– Kegiatan seremonial: 56,9%

– Perjalanan dinas: 53,9%

– Kajian dan analisis: 51,5%

– Jasa konsultan: 45,7%

– Rapat, seminar, dan sejenisnya: 45%

– Honor output kegiatan dan jasa profesi: 40%

– Infrastruktur: 34,3%

– Diklat dan bimtek: 29%

– Peralatan dan mesin: 28%

– Lisensi aplikasi: 21,6%

– Bantuan pemerintah: 16,7%

– Pemeliharaan dan perawatan: 10,2%

Di sisi lainMendiksamen Abdul Mu’ti mengeklaim efisiensi anggaran tak akan mengganggu program strategis.

Abdul Mu’ti mengeklaim program seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Program Indonesia Pintar (PIP), dan tunjangan sertifikasi guru “sesuai dengan yang sudah kami rencanakan.”

Dia juga menyebutkan contoh anggaran yang terimbas efisiensi adalah acara seremonial, perjalanan dinas, serta pengadaan barang terkait percetakan.

“Pada prinsipnya kami setuju keputusan itu, dan kami berusaha semaksimal mungkin agar berkurangnya anggaran di kementerian ini tidak mengurangi layanan yang kita berikan kepada seluruh masyarakat,” jelasnya.

Selanjutnya, Pengamat pendidikan Nisa Felicia juga berpendapat keberadaan anggaran ini krusial pada ketersediaan guru.

Perekrutan guru baru bergantung jumlah anggaran yang tersedia, katanya. Dia mencontohkan perekrutan untuk guru dengan status Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja harus disesuaikan dengan formasi atau jumlah lowongan yang tersedia.

Pengamat pendidikan Iman Zanatul Haeri juga menyayangkan pemangkasan biaya Kemendikdasmen.

Alasannya karena pemangkasan di kementerian itu disebut bertentangan dengan amanat Konstitusi, yaitu mendapat porsi minimal 20% dari total APBN atau disebut mandatory spending.

Koordinator Nasional Jaringan Pemantauan Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengatakan, setidaknya ada tiga sektor yang menjadi leading sector pendidikan.

Yaitu, Kemendikdasmen, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek), serta Kementerian Agama.

Dalam anggaran tahun 2025, anggaran untuk tiga kementerian itu belum mencapai 20% atau sekitar Rp724 triliun.

“Sudah dapatnya sedikit, dipotong pula,” jelas Ubaid.

Berkaca dari kondisi ini, Ubaid mempertanyakan niat pemerintah meningkatkan kualitas pendidikan.

“Ketika komitmen anggarannya lemah, bahkan terjadi pengurangan, ya memang tidak ada [komitmen]” katanya.

Akan berdampak pada kebutuhan pembangunan sekolah-sekolah?

Ubaid Matraji juga mengungkapkan bahwa pemangkasan anggaran ini berpotensi berdampak pada sektor infrastruktur, seperti pembangunan sekolah-sekolah.

Pasalnya, keberadaan sekolah merupakan parameter daya tampung murid.

Tak hanya itu, Ubaid juga menerangkan saat ini dibutuhkan jumlah sekolah yang proporsional antar jenjang pendidikan.

Kalau proporsi jumlah sekolah itu tidak seimbang maka berpotensi menimbulkan putus sekolah.

“Mestinya daya tampung SD sama dengan daya tampung SMP, baru anak-anak enggak putus sekolah,” ujar Ubaid.

“Kalau jumlah SMP-nya lagi sedikit daripada SD, berarti kan ada sebagian anak SMP yang enggak lanjut,” tambahnya.

Laporan Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) yang terbit pada 2023 menunjukkan 32 kabupaten/kota yang masih kekurangan daya tampung di jenjang SMP/Madrasah Tsanawiyah (MTS).

Kondisi ini memungkinkan anak putus sekolah.

Di sisi lain, PSPK juga menemukan 273 kabupaten/kota yang kebutuhan daya tampungnya dapat dipenuhi sekolah negeri.

Sedangkan sisanya atau sekitar 46% dari total keseluruhan membutuhkan keberadaan sekolah swasta untuk memenuhi kebutuhan daya tampung murid.

“Kita kekurangan sekolah,” kata Direktur Eksekutif PSKP, Nisa Felicia. Nisa mengatakan pemerintah justru harus memastikan bahwa ketersediaan sekolah tercukupi, terutama saat pemerintah sudah mencanangkan program belajar 13 tahun. “Kalau wajib belajar itu 13 tahun, itu berarti dari level PAUD sampai SMA. Itu harusnya ditunjukkan dengan anggaran yang serius,” ungkap Nisa.

Nasib guru honorer terancam?

Pengamat pendidikan Ubaid Matraji memperkirakan pemangkasan anggaran pendidikan ini akan berdampak ke guru, terutama guru honorer.

Ubaid kemudian mencontohkan kasus para guru honorer di sekolah negeri.

Kasus pemberhentian secara sepihak pernah menimpa lebih dari 100 guru honorer di sekolah-sekolah negeri di Jakarta yang diberhentikan secara sepihak 2024 lalu.

Saat itu dinas pendidikan di Jakarta menilai perekrutan dilakukan sekolah tanpa proses rekomendasi berjenjang di dinas pendidikan.

Di sisi lain pemerintah pusat saat itu sedang menata perekrutan aparatur sipil negara. Masalah guru honorer yang tak diterima dalam seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) juga sempat mengemuka.

Di Banjarmasin, 751 guru tak diterima dalam seleksi PPPK.

Hal ini terjadi karena statusnya sebagai guru honorer tersebut mereka tidak mendapat insentif.

“Pasti akan terjadi cleansing guru-guru honorer yang jumlahnya lebih besar daripada tahun kemarin,” kata Ubaid.

Akan berimbas pada perekrutan guru?

Pengamat pendidikan Nisa Felicia berpendapat keberadaan anggaran ini krusial pada ketersediaan guru.

Perekrutan guru baru bergantung jumlah anggaran yang tersedia.

Nisa juga mencontohkan perekrutan untuk guru dengan status Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja harus disesuaikan dengan formasi atau jumlah lowongan yang tersedia.

“Kalau anggarannya yang cuma tersedia itu 500, ya udah formasi itu dibukanya cuma 500,” ungkapnya.

“Jadi anggaran ini sangat berpengaruh terhadap ketersediaan guru,” lanjut Nisa.

(*)

Share.

Comments are closed.