TERITORIAL.COM, JAKARTA – Tragedi ledakan yang mengguncang masjid di SMAN 72, Kelapa Gading, Jakarta pada Jumat siang, 7 November 2025 yang terjadi saat salat Jumat itu melukai puluhan siswa dan menimbulkan kepanikan di lingkungan sekolah.
Polisi kemudian menetapkan seorang pelajar berusia 17 tahun sebagai tersangka yang diklasifikasikan sebagai Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH).
Menurut keterangan saksi dan data rumah sakit, ledakan terdengar dua kali di dalam dan sekitar masjid sekolah ketika khutbah sedang berlangsung.
Ratusan siswa berhamburan menyelamatkan diri, puluhan orang dirawat di beberapa rumah sakit. Berdasarkan laporan, ratusan korban dirawat dengan berbagai luka, dan sebagian sudah dapat pulang setelah mendapat perawatan.
Polisi juga menemukan beberapa alat peledak aktif di lokasi yang berhasil disteril.
Penyidik menemukan bukti-bukti dari lokasi kejadian dan dari rumah terduga pelaku.
Tim forensik menyatakan menemukan bahan peledak berdaya rendah di kediaman tersangka.
Polisi menegaskan sejauh ini tidak ada indikasi tersangka terlibat dalam jaringan teroris terorganisir, tetapi penyelidikan tetap dilanjutkan untuk mengungkap motif dan kemungkinan keterlibatan pihak lain.
Polda Metro Jaya juga menekankan pentingnya pendampingan medis dan psikologis bagi korban.
Anak disebut ABH
Karena pelaku berusia 17 tahun saat kejadian, ia dikategorikan sebagai Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH).
Dalam sistem hukum Indonesia, perkara anak diselesaikan menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).
UU ini menekankan prinsip kepentingan terbaik bagi anak, dan mengutamakan upaya non-pidana bila memungkinkan.
Namun, untuk tindak pidana serius yang menimbulkan korban luas atau kekerasan, UU SPPA tetap membuka kemungkinan pengenaan pidana, termasuk pembatasan kebebasan ataupun pidana penjara dengan beberapa ketentuan khusus seperti pembatasan lamanya pidana bagi anak dibanding orang dewasa.
Tuntutan Keadilan Terbentur Kewajiban Protektif Negara
Kasus seperti ini menempatkan negara dan masyarakat pada dilema. Publik menuntut keadilan bagi korban dan pencegahan agar kejadian serupa tak terulang.
Namun, di sisi lain, negara berkewajiban melindungi hak anak, termasuk anak yang melakukan tindak pidana.
UU SPPA dirancang untuk menyeimbangkan dua tujuan itu, yakni memenuhi rasa keadilan sambil tetap mengutamakan pembinaan agar anak tidak tersisih dari masyarakat. Proses hukumnya mencakup pemeriksaan khusus, pembinaan di lembaga khusus, hingga pembebasan bersyarat bila memenuhi syarat.
Faktor Penyebab dan Respons Perlindungan Anak
Penyidik dan ahli menyebutkan motif pelaku belum jelas sepenuhnya, ada indikasi tekanan psikososial, perasaan terasing, dan kemungkinan pengalaman perundungan.
Pakar perlindungan anak menekankan bahwa perilaku ekstrem pada anak sering merupakan hasil akumulasi faktor lingkungan, keluarga, sekolah, dan paparan konten berbahaya di ruang digital.
Mereka mendesak pendekatan preventif, seperti deteksi dini, layanan kesehatan mental di sekolah, program anti-bullying, dan pengelolaan ekosistem digital agar memberi perlindungan psiko-sosial bagi anak.
Langkah yang Sedang Ditempuh
Dari sisi penegakan hukum, polisi menuntaskan olah TKP, forensik, dan penyidikan motif, termasuk pemeriksaan bukti elektronik.
Dari sisi perlindungan korban dan masyarakat, aparat keamanan dan sekolah memperkuat layanan medis, trauma penyembuhan, dan pengamanan area.
Komunitas sekolah dan pihak pendidikan diminta meningkatkan pengawasan, program konseling, serta mekanisme pelaporan bullying atau perubahan perilaku siswa.

