Jakarta, Teritorial.com – Sebagaimana dinyatakan oleh Clive Humby, profesor ilmu komputer dan informatika dari University of Sheffield sejak 2006, “Data is the new oil”. Dalam era di mana batas negara telah berpindah menjadi batas data, Indonesia dihadapkan pada tantangan menjaga kedaulatan digital sambil tidak tertinggal dalam dinamika ekonomi global.
Pemerintah Indonesia menegaskan bahwa kesepakatan transfer data pribadi lintas negara dengan Amerika Serikat akan dilaksanakan dengan prinsip kehati-hatian dan tidak mengorbankan hak-hak warga negara. Kesepakatan ini menjadi bagian dari perjanjian perdagangan bersejarah yang diumumkan pada 22 Juli 2025.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan, kerja sama ini memberikan pijakan hukum yang sah dan aman dalam pengelolaan lintas batas data pribadi. “Protokol cross border data akan disusun dengan prinsip kehati-hatian dan merujuk pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi,” ujar Airlangga.
Berdasarkan dokumen berjudul ‘Lembar Fakta: Amerika Serikat dan Indonesia Mencapai Kesepakatan Perdagangan Bersejarah’, Indonesia akan memberikan kepastian hukum terkait transfer data pribadi ke wilayah AS. Indonesia juga mengakui bahwa AS memenuhi standar perlindungan data yang memadai sesuai dengan hukum nasional.
Senada, Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid menegaskan bahwa ini bukan bentuk penyerahan data secara bebas. Sebaliknya, kesepakatan menjadi dasar legal pelindungan data warga Indonesia saat memakai layanan digital berbasis di AS, mulai dari mesin pencari hingga e-commerce. .
“Prinsip utama yang dijunjung adalah tata kelola data yang baik, perlindungan hak individu, dan kedaulatan hukum nasional,” tambahnya.
Pemerintah memastikan bahwa transfer data ke Amerika Serikat tidak dilakukan sembarangan. Seluruh proses baik fisik maupun digital dilakukan dalam kerangka secure and reliable data governance, tanpa mengorbankan hak-hak warga negara.
Menurut pemerintah, pengaliran data antarnegara merupakan praktik global yang lazim diterapkan, terutama dalam konteks tata kelola data digital. Negara-negara anggota G7 seperti Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Jerman, Prancis, Italia, dan Britania Raya telah lama mengadopsi mekanisme transfer data lintas batas secara aman dan andal.
Airlangga menyebutkan bahwa saat ini telah terdapat 12 perusahaan AS yang membangun dan mengoperasikan fasilitas Data Center di Indonesia, di antaranya Microsoft, Amazon Web Services (AWS), Google, Equinix, EdgeConneX, dan Oracle.
Guru Besar Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, Ahmad M. Ramli, menekankan bahwa transfer data pribadi bukan berarti menyerahkan kendali ke negara lain. “Namun, perlu pengawasan ketat dan perjanjian transparan,” katanya.
Ramli mengingatkan agar mekanisme transfer bersifat kasus per kasus, dengan verifikasi perlindungan data yang sahih.
Ketua Indonesia Cyber Security Forum Ardi Sutedja memperingatkan bahwa kebocoran data tidak hanya berdampak pada sektor finansial. “Ia bisa menjadi alat manipulasi sosial, bahkan senjata geopolitik,” ujarnya.
Ardi menyoroti bahwa lebih dari 85 persen aktivitas digital warga Indonesia terjadi di platform asing, berdasarkan data We Are Social 2025. Ia mencatat bahwa Amerika Serikat saat ini belum memiliki undang-undang federal setara dengan General Data Protection Regulation (GDPR) seperti di Uni Eropa.
“Padahal, UU PDP menyatakan, data hanya boleh ditransfer ke negara dengan tingkat perlindungan setara atau lebih tinggi,” kata Ardi.
Menurutnya, tantangan implementasi tetap sangat besar dan kompleks, terutama dalam memastikan bahwa data strategis, termasuk data pemerintah, militer, infrastruktur kritis, sistem finansial, dan informasi ekonomi strategis, tetap berada di bawah kendali nasional.
Sejak 2022, UU PDP telah menjadi tonggak perlindungan data di Indonesia. Namun, tanpa Lembaga Perlindungan Data Pribadi atau Badan Pengawas Perlindungan Data Pribadi yang independen, aturan tersebut berpotensi tidak efektif.
“Pemerintah harus segera membentuk otoritas ini, bukan hanya sebagai pelengkap administrasi, melainkan penjaga utama hak digital rakyat Indonesia,” tegas Ardi.
Di sisi lain, pemerintah menyatakan bahwa kesepakatan RI-AS mendukung perdagangan resiprokal. Produk agro seperti kelapa sawit dan kakao memperoleh pengurangan tarif hingga 19 persen dari sebelumnya 32 persen.
Kesepakatan ini juga menjadi bagian dari posisi Indonesia dalam menghadapi dinamika perdagangan digital global. Sejak Konferensi Tingkat Menteri WTO 1998 menetapkan Moratorium Bea Masuk atas Transmisi Elektronik, perdagangan digital melejit dari kurang dari USD1 triliun menjadi lebih dari USD5 triliun pada 2018.
Indonesia adalah kekuatan digital Asia Tenggara dengan 221 juta pengguna internet. Tetapi tanpa pengawasan, bangsa ini akan terus menjadi pasar raksasa tanpa kendali.
Data adalah kekuatan lunak baru abad ini. Siapa menguasainya, ia mengendalikan sejarah. Maka tak cukup hanya menandatangani kesepakatan—kita harus menjaga maknanya dengan hukum, dengan kehati-hatian, dan dengan kedaulatan.