Jakarta, Teritorial.Com – Dewan Perwakilan Rakyat mempersiapkan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (RUU KPK). Proses konsolidasi dan lobi-lobi yang dilakukan di belakang layar membuat revisi berjalan mulus. Proses menghidupkan lagi revisi UU KPK yang sempat tertunda beberapa kali ini dilakukan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR.
Namun, agenda rapat terbaru mengenai pembahasan RUU KPK ini tidak pernah terpublikasikan atau diliput media. Tiba-tiba saja, pada Kamis (6/9/2019) kemarin, DPR menggelar rapat paripurna yang salah satu agendanya adalah mengesahkan RUU KPK menjadi inisiatif DPR. “Apakah RUU tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat disetujui menjadi usul DPR RI?” tanya Wakil Ketua DPR Utut Adianto selaku pimpinan rapat.
Seluruh anggota DPR yang hadir pun kompak menyatakan setuju. Tak ada fraksi yang mengajukan keberatan atau interupsi. Tak ada juga perdebatan antara parpol pendukung pemerintah dan parpol oposisi. Tok! Utut pun langsung mengetok palu sidang tanda diresmikannya revisi UU KPK menjadi inisiatif DPR. Tanggapan setiap fraksi atas usul RUU ini lalu langsung diserahkan secara tertulis kepada pimpinan, atau tidak dibacakan di dalam rapat paripurna.
Setelah sah menjadi RUU inisiatif DPR, draf RUU tersebut langsung dikirim kepada Presiden Joko Widodo. Kini, DPR menunggu apakah Jokowi akan mengeluarkan surat presiden (surpres) yang memerintahkan menterinya untuk membahas RUU KPK ini bersama para anggota dewan. Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mengatakan, suatu kabar buruk jika DPR dan pemerintah benar-benar merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebab, ada sejumlah poin yang bakal diganti dan ditambahkan yang diprediksi bakal melemahkan KPK.
Jika revisi dilakukan, menurut Bivitri, pemerintah seolah tengah membunuh KPK. “Kalau itu terjadi, pemerintahan yang sekarang seperti membunuh KPK. Karena KPK jadi enggak ada fungsinya lagi,” kata Bivitri saat dihubungi Kompas.com, Kamis (5/9/2019). Bivitri mengatakan, sebenarnya, masih ada kesempatan supaya uu ini tak direvisi. Kondisi demikian terjadi jika presiden tidak menerbitkan surat presiden untuk DPR supaya melakukan pembahasan revisi undang-undang.
Saat ini, revisi UU KPK baru menjadi RUU inisiatif DPR yang telah disahkan dalam rapat paripurna. Artinya, masih perlu respons presiden untuk membahas revisi RUU tersebut. “Menurut Pasal 20 UU kita kan sebenarnya kalau Pak Jokowi enggak mengeluarkan surat presiden, UU ini tidak akan dibahas,” ujar Bivitri.
Namun demikian, jika presiden menerbitkan surat dan RUU benar-benar dibahas, kata Bivitri, bukan tidak mungkin KPK bakal diintervensi oleh pemerintah dalam penyidikan. “Jadi ibaratnya nanti dia mau OTT (operasi tangkap tangan) segala macam itu bisa diintervensi nantinya. Pejabat mana yang mau disidik, pejabat mana yang mau dituntut secara hukum, itu nanti bisa diintervensi,” ujar Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera itu.
DPR telah menyusun rancangan revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Salah satu poinnya mengatur tentang kedudukan KPK yang berada pada cabang eksekutif. Dengan kata lain, jika revisi undang-undang ini disahkan, KPK akan menjadi lembaga pemerintah.