Jakarta, Teritorial.Com – Di tengah persoalan kebutuhan lapangan pekerjaan dan kesejahteraan buruh, kini muncul kebijakan pemerintah yang tidak pro buruh, yaitu tenaga kerja asing (TKA) yang mengerjakan pekerjaan yang dapat dilakukan oleh bangsa sendiri, seperti pekerjaan yang sifatnya non skill. Sementara, bangsa kita banyak yang menganggur dan menjadi TKI di luar negeri.
Demikian dikemukakan Abraham Samad, Ketua KPK periode 2011-2015, memperingati Hari Buruh, Selasa 1 Mei 2018, terkait mengalirnya TKA, khususnya dari Tiongkok, yang bekerja di Indonesia. Persoalan yang mengemuka, selain longgarnya peraturan, TKA ini juga “membajak” pekerjaan yang bisa dilakukan oleh tenaga kerja bangsa sendiri.
“Jika peraturan yang longgar dan sangat pro tenaga kerja asing ini dibiarkan tanpa pengawasan ketat otoritas yang berwenang, maka sangat berbahaya bagi kedaulatan bangsa dan negara ini. Sebab, tidak tertutup kemingkinan ada agenda lain di balik sekadar pengiriman tenaga kerja asing itu ke negara kita,” kata Abraham.
Menurut Abraham keberadaan TKA di Indonesia merupakan dampak dari kerjasama dengan negara-negara lain. Semua negara di dunia memiliki TKA, termasuk warga negara mereka yang juga menjadi TKA di negara lain. Namun demikian, kata Abraham, perbandingan antara TKA di sini dan TKI di negara lain sangat tidak seimbang.
Abraham mencontohkan perbandingan TKA Tiongkok di Indonesia dengan TKI di Tiongkok yang berbanding jauh, yakni 81.000:21.000. TKI di Hongkong 153.000, di Macau 16.000, dan di Taiwan 200.000 per desember 2016 menurut data yang dikemukakan Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri, belum dihitung TKI di Timur Tengah yang jumlahnya lebih banyak. Indonesia, kata Abraham, adalah negara kedua terbesar pengirim TKA.
Abraham mengakui pemerintah telah mengeluarkan regulasi terkait keberadaan TKA di Indonesia. Namun demikian, regulasi itu tidak bisa hanya mengatur soal lama kerja, pemberian visa, dan persoalan-persoalan administratif semata, tetapi harus ditekankan pada aspek “pengetatan syarat” bagi TKA.
Abraham menyebut misalnya bagaimana sistem bisa membaca jejak rekam (track record) seorang TKA. Menurut dia, ini penting guna mencegah adanya kepentingan lain di balik pengiriman TKA oleh negara-negara mitra.
“Nah, pertanyaannya, di dalam Undang-undang dan Peraturan Presiden tentang TKA masih sangat longgar dalam mengatur persoalan itu. Ini yang saya katakan bisa berbahaya bagi kedaulatan bangsa dan negara jika ada kepentingan lain yang tersembunyi di balik pengiriman TKA ke Indonesia,” kata Abraham.
Abraham menyadari, sebagai negara yang juga mengirimkan TKI di negara lain, Indonesia juga tidak bisa melarang TKA masuk. Akan tetapi, kata Abraham, Pemerintah harus lebih memperhatikan dan melindungi tenaga kerja lokal dengan cara meningkatkan standar kompetensi tenaga kerja lokal dalam bidang-bidang yang sesuai dengann kebutuhan pembangunan.
Alasannya, karena hal ini terkait juga dengan hak asasi warga negara untuk berkehidupan, bekeja dan mendapatkan upah yang layak sesuai jaminan konstitusi.
“Selama ini aspek itu yang kurang dperhatikan oleh Pemerintah, padahal dari dari faktanya, pekerjaan tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia juga bisa dikerjakan oleh para TKI kita di negara orang. Bukankah berarti mereka juga bisa mengerjakannya di negeri sendiri?” kata Abraham dengan nada bertanya.
Menurut Abraham, persoalan buruh di Indonesia tidak semata-mata kesejahteraan, tapi harga diri Sebagai bangsa berdaulat. Bangsa yang besar, bangsa yang hebat tidak akan pernah membiarkan rakyatnya mengais rezeki di luar negeri.
“Ini anomali, bangsa yang terkenal dengan kekayaan alamnya yang luar biasa tetapi buruhnya jauh dari sejahtera dan dalam keadaan miskin pula. Mengapa bisa demikian? Semua disebabkan oleh persoalan korupsi yang sampai saat ini membelenggu bangsa Indonesia. Apakah kita akan biarkan keadaan seperti ini terus-menerus?” kata Abraham lagi.