TERITORIAL.COM, JAKARTA – Sejumlah penumpang di Terminal Tanjung Priok, Jakarta Utara, menyampaikan kekecewaan mereka terkait kebijakan pengenaan royalti atas pemutaran lagu di bus antarkota. Menurut mereka, aturan tersebut membuat perjalanan terasa hening dan mengurangi kesempatan musisi lokal untuk memperkenalkan karya secara gratis.
Rexy, seorang penumpang berusia 30 tahun yang ditemui di Terminal Tanjung Priok, Jakarta Utara, menyayangkan dampak kebijakan ini terhadap promosi musik Indonesia. Menurutnya, bus antarkota selama ini menjadi media promosi gratis yang efektif bagi para musisi.
“Sayang sekali sih, karena kebijakan royalti ini, penyanyi Indonesia kehilangan kesempatan untuk mempromosikan lagu mereka secara gratis di bus antarkota,” ungkap Rexy pada Selasa (20/8/2025).
Pria asal Jakarta ini mengaku sering menemukan lagu-lagu baru melalui pemutaran musik di bus. “Kadang ketika naik bus, saya jadi mengenal lagu dangdut baru yang enak didengar. Karena diputar berulang sepanjang perjalanan, saya jadi penasaran dengan penyanyinya,” cerita Rexy.
Hilangnya musik di bus antarkota juga membuat suasana perjalanan menjadi monoton. “Terasa aneh dan sangat sepi sepanjang perjalanan. Kita tidak bisa lagi mendengar lagu dangdut, padahal itu sudah menjadi ciri khas bus antarkota,” keluh Rexy.
Penumpang lainnya, Erni (29), turut menyuarakan keberatannya. Wanita ini menilai pemerintah terlalu berlebihan dalam mengomersialkan hal-hal sederhana yang seharusnya menjadi hiburan rakyat.
“Aneh dengan negara ini, semua hal dikaitkan dengan uang, dijadikan bisnis. Padahal musik adalah hiburan paling terjangkau untuk rakyat dan tidak memerlukan biaya besar,” kritik Erni.
Bagi Erni, kehadiran musik di bus sangat penting untuk menghilangkan kebosanan selama perjalanan jarak jauh. “Mendengarkan musik di kafe atau di jalan cukup menghibur dan mengusir rasa bosan. Namun, hal sepele seperti ini masih saja dipersulit pemerintah,” tambahnya.
Aturan Royalti Tetap Berlaku
Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM menegaskan tetap memberlakukan royalti musik. Menurut mereka, setiap pelaku usaha yang memutar musik di ruang publik, termasuk restoran, kafe, toko, pusat kebugaran, hingga hotel, wajib membayar royalti kepada pencipta maupun pemegang hak terkait.
Direktur Hak Cipta dan Desain Industri DJKI, Agung Damarsasongko, menjelaskan bahwa kewajiban ini tetap berlaku meski pelaku usaha sudah berlangganan layanan musik digital seperti Spotify, YouTube Premium, atau Apple Music.
“Layanan streaming itu sifatnya personal. Begitu musik diputar di ruang usaha untuk publik, maka masuk kategori penggunaan komersial. Karena itu, dibutuhkan lisensi tambahan melalui mekanisme resmi,” jelas Agung dalam keterangan tertulis pada Senin (28/7/2025).
Pembayaran royalti disalurkan melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sesuai aturan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta serta Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 mengenai pengelolaan hak cipta lagu dan musik. LMKN bertanggung jawab mengumpulkan sekaligus menyalurkan royalti kepada pencipta dan pemilik hak.
Kebijakan ini menimbulkan dilema antara perlindungan hak cipta musisi dengan kebutuhan hiburan masyarakat, khususnya penumpang transportasi umum yang bergantung pada musik sebagai pengusir kebosanan selama perjalanan.