Teritorial.com – Sejumlah massa terlihat berkumpul di depan Kedubes Belanda, Kuningan, Jakarta pada hari Senin (1/7/2019). Kelompok massa tersebut diketahui tergabung dalam Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) serta Aliansi Mahasiswa Papua (AMP).
Mereka menggelar aksi untuk menuntut pemerintah Belanda memberikan kemerdekaan kepada warga Papua. Beberapa massa terlihat membawa spanduk bertuliskan “1 Juli: Hari Proklamasi West Papua. Menuntut Janji Dekolonisasi atas Rakyat West Papua”.
Dalam orasinya, mereka menuntut Belanda yang sempat menjanjikan kemerdekaan Papua lewat dekolonisasi di masa lampau. Mereka mengklaim bahwa 1 Juli merupakan hari kemerdekaan Papua Barat dimana pada saat itu Papua dinyatakan sudah merdeka dan diproklamirkan di Markas Victoria.
“Kita menagih janji ke Belanda untuk dekolonisasi yang sempat dijanjikan Belanda pada saat itu,” kata Sekretaris Umum 2 AMP Albert Mungguar. “Negara tidak adil dalam memperlakukan West Papua karena Indonesia takut apabila West Papua dimerdekakan maka akan kehilangan sumber daya alam dari Papua,” lanjutnya.
Mereka juga mempermasalahkan pengakuan dunia terhadap hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Papera) pada tahun 1969 yang menyatakan Papua menjadi bagian Indonesia. Menurut mereka Papera dilakukan dengan cara yang tidak demokratis.
“Pada saat dilakukan Pepera, rakyat Papua lebih dari 8 juta orang tidak memilih. Yang memilih hanya 1 juta orang, pada saat itu mereka melakukan pemilihan di atas ancaman militer Indonesia dan juga iming-iming akan diberikan supermie, sarden dan lain-lain. Maka itu hari ini kami peringati hari proklamasi kemerdekaan Papua Barat,” ujar Mungguar.
Mungguar mengaku bahwa aksi tersebut tidak hanya dilakukan di Kedubes Belanda, tetapi juga di Surabaya, Bandung, dan Ambon. “Di Surabaya kami diadang di asrama Papua, sampai sekarang masih diadang ormas dan beberapa militer di asrama Surabaya. Di makassar aksi kami pun diteror dan diintervensi oleh Pemuda Pancasila dan ormas di kota Makassar untuk tidak melakukan aksi hari ini,” terangnyaa.
Di hari yang sama aksi massa juga dilakukan di Gedung Negara Grahadi Jawa Timur dalam rangka memperingati 40 tahun Papua Merdeka. Namun aksi tersebut kemudian berakhir dengan kericuhan antara massa dengan personil keamanan polisi dan TNI.
Dalam kejadian tersebut polisi sempat mengamankan enam orang mahasiswa yang diduga sebagai provokator. Karena tidak diberi izin akhirnya massa yang mengaku mahasiswa asal Papua tersebut memilih bertahan di tengah jalan dan memblokade depan mess mahasiswa.
Kelompok massa tersebut juga menuntut pemerintah Indonesia untuk menutup PT Freeport dan perusahaan asing lainnya di Papua. Selain itu mereka juga menuntut pemerintah untuk melakukan penghentian terhadap perampasan tanah adat yang digunakan oleh korporasi sebagai proyek pangan dan perkebunan kelapa sawit.
“Hentikan perampasan tanah adat di Merauke dan tempat lainnya yang digunakan sebagai lahan proyek pangan dan kelapa sawit. Kami (warga Papua) tidak hidup dari kelapa sawit, tapi dari sagu,” katanya.
Aksi tersebut akan dilanjutkan pada tanggal 6 Juli mendatang di depan Istana Negara penembakan besar-besaran di Biak oleh militer Indonesia.
“Tanggal 6 Juli mendatang, kami akan melakukan aksi di depan Istana Negara sebagai peringatan Biak Berdarah. Di mana pada 1958, terjadi penembakan besar-besaran di Biak oleh militer Indonesia serta menuntut TNI-Polri untuk keluar dari Nduga,” tuturnya.
Kemudian, mereka pun meminta perlakukan sama terhadap warga Papua seperti warga Jakarta, serta meminta jurnalis nasional dan internasional bisa mengakses informasi ke Papua, dan orang bebas mengakses informasi dari jurnalis.