Jakarta, Teritorial.Com – Ketua DPR Bambang Soesatyo menyeru seluruh elemen masyarakat dan para elite politik meninggalkan penggunaan isu terkait suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dalam kontestasi Pemilu serentak 2019. Sebab, jika isu ini masih dimainkan, persatuan bangsa akan hilang. Ujungnya, bangsa bisa hancur
Seruan itu disampaikan Bamsoet sapaan Bambang, saat menjadi pembicara acara Bincang Kebangsaan dan Peluncuran Buku Redaksi Kompas, di Jakarta, Senin (13/8). Pembicara lain dalam diskusi ini adalah Ketua MPR Zulkifli Hasan, Ketua KPK Agus Rahardjo, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, Ketua PBNU Marsudi Syuhud, dan Deputi IV Kantor Staf Presiden Eko Sulistyo.
Bamsoet sangat menyesalkan kondisi saat ini, yang masih banyak penggunaan isu SARA. Komentar-komentar pada pendukung calon tertentu di Facebook, Twitter, Instagram, Youtube, Whatsapp Group, maupun platform lainnya, masih menggunakan isu SARA sebagai senjata untuk menyerang lawannya. Parahnya lagi, kalangan elite malah “menyiram bensin” dan memperbesar api kebencian di masing-masing pendukung.
“Ini sangat mengerikan sekali. Apa kita mau seperti ini terus?” ucap polisi Partai Golkar ini.
Bamsoet mengaku tidak habis pikir dengan kondisi ini. Hanya karena berbeda haluan politik, banyak pihak mengorbankan rasa persaudaraan. Tokoh agama sering dihujat, negarawan dianggap musuh, presiden maupun lembaga tinggi negara dilecehkan. Kritik pun berubah menjadi pembunuhan karakter yang kejam. Akibatnya, kebhinnekaan dalam bahaya. Semua orang cenderung merasa paling benar.
“Kehidupan politik menjadi porak-poranda. Dari kaum terdidik, pejabat publik, hingga rakyat mulai terprovokasi arus propaganda politik dan berita hoaks yang menyesatkan. Sendi berbangsa dan bernegara terancam punah,” tuturnya.
Dalam amatan Bamsoet, sebagian besar masyarakat sebenarnya tidak suka dengan penggunaan isu SARA ini. Namun, mereka kalah lantang dibanding yang doyan isu tersebut. Kini, mereka hanya bisa teriak, Indonesia darurat intoleransi.
“Dalam situasi inilah, sebaiknya kita membaca ulang Indonesia, agar tak tercerai berai menjadi kepingan,” ajaknya.
Bagaimana carannya? Eks Ketua Komisi III DPR ini menerangkan, membaca ulang Indonesia adalah melawan arus politik identitas yang kini semakin merebak. Narasi kebangsaan yang bersifat toleran, terbuka, dan menghargai perbedaan harus ditumbuhkan dan dikembangkan. Hal ini secara filosofis tersirat jelas dari makna Bhinneka Tunggal Ika dan direkatkan Pancasila sebagai penopang rumah besar Indonesia.
“Membaca Indonesia hari ini pada dasarnya bagaimana menyebarluaskan nilai-nilai Pancasila ke ruang publik secara masif dengan memanfaatkan ruang maya dan media-media kreatif. Pancasila sebagai perekat harus terus kita rawat dan jaga untuk membendung gelombang politik identitas yang menganggu rasa kebangsaan,” tandasnya.