Jakarta, Teritorial.Com – Mata uang rupiah terus mengalami depresi luar biasa. Rupiah amblas ke level terendahnya dalam 20 tahun akibat tekanan Dolar Amerika Serikat (AS) hingga sempat menyentuh angka Rp15.029 pada Selasa (4/9/2018) malam. Sejumlah ekonom dan pengamat telah memberi tanda bahaya perihal perekonomian nasional sejak jauh hari. Pun begitu, pemerintah dianggap tak punya sense of crisis karena kerap mengklaim postur ekonomi dalam keadaan baik.
Sejauh ini, pemerintah selalu menuding faktor eksternal (global) sebagai penyebab tunggal gejolak ekonomi. Pernyataan ini tentu saja terkesan menghindar dari tanggung jawab. Sikap seperti itu juga menjadi tidak proporsional. Sebab, ketika rupiah menguat pada Maret 2016, misalnya, sebaliknya pemerintah segera membusungkan dada: Ini hasil kebijakan pemerintah.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menjelaskan, untuk melihat baik tidaknya kondisi ekonomi harus secara menyeluruh, tidak bisa dari satu sisi semata. “Potensi untuk terjadi krisis seperti tahun 1997 dan 1998, memang tidak semua sama dengan kondisi saat itu. Tapi, kalau Pak Darmin (Menteri Koordinator Bidang Perekonomian) dan Bu Menteri Keuangan menyampaikan ini masih aman, juga tidak betul,” kata Enny.
Menurut Enny, ada faktor dari dalam negeri yang tidak kalah penting hingga menyebabkan terjadinya kondisi seperti sekarang. Salah satu ukurannya dari cadangan devisa. Kalau semua orang menarik utangnya hari ini, cadangan devisa Indonesia tidak cukup. Rasio cadangan devisa terhadap utang kita 72 persen, di bawah 100 persen.
Pada saat bersamaan, mantan Menteri Keuangan Rizal Ramli masih konsisten menyampaikan status perekonomian Indonesia lampu kuning atau harus berhati-hati. Dasar pernyataan tersebut dari sejumlah indikator ekonomi makro yang negatif. Indikator yang dimaksud adalah defisit neraca transaksi berjalan, defisit neraca perdagangan, keseimbangan primer yang masih negatif, hingga defisit APBN.
Saat ini, pemerintah sendiri terus melakukan berbagai upaya untuk bisa menjaga neraca perdagangan dan nilai tukar rupiah. Pemerintah juga mengeluarkan berbagai jurus untuk bisa membawa kembali dolar ke dalam negeri. Mulai dari mempermudah akses investasi, menekan impor dengan cara menggenjot penggunaan biodiesel, insentif fiskal, juga meningkatkan ekspor.
Namun upaya tersebut, menurut Menko Perekonomian Darmin Nasution, membutuhkan waktu untuk melihat dampaknya. “Kita sudah bergerak, tapi secepat-cepatnya bergerak, respons di pasar tidak kalah cepatnya. Jadi artinya perlu waktu, sehingga kita percaya hari-hari ini kurs akan lebih tenang dibandingkan hari-hari kemarin,” ujarnya.
Politik Terpuji
Jatuhnya nilai rupiah ke titik terlemah ini, tentu menciptakan keresahan dan ketakutan di masyarakat terhadap perekonomian tanah air ke depannya. Di Twitter, bahkan muncul hashtag #RupiahLongsorJokowiLengser yang kemudian menjadi trending topic nomor dua pada Rabu (5/9/2018). Publik juga makin merasakan beban kebutuhan hidup yang makin berat. Apakah mungkin Indonesia akan bernasib sama dengan Turki dan Argentina? Krisis ini juga secara tak langsung mengungkit kembali trauma akan terjadinya kerusuhan, seperti yang terjadi pada 1998 lalu.
Kekhawatiran terhadap dampak dari pelemahan rupiah ini, juga menjadi keprihatinan dan perhatian calon presiden Prabowo Subianto dan Wakilnya, Sandiaga Uno. Oleh karena itu, untuk menciptakan kondisi yang kondusif dan stabil, Prabowo pun meminta jajaran koalisinya untuk menghentikan serangan terhadap pemerintah.
“Perintah” Prabowo sebagai rival dan oposisi untuk mendukung pemerintah dengan tidak memanfaatkan situasi krisis demi menghindari terjadinya kekacauan (chaos), dipandang sebagai tindakan politik terpuji dan patut diapresiasi. Sikap bijaksana Prabowo jika merujuk pada pemikiran ahli politik Jerman, Carl Schmitt, dapat dikatakan sikap yang otentik karena segala tindakannya secara khusus bersiat politik, dapat memisahkan kapan menjadi kawan dan lawan.
Tindakan tersebut, menurut Schmitt, menunjukkan drajat integritas yang tinggi pada mantan Danjen Kopassus itu. Dengan kata lain, kemampuan Prabowo untuk mengenali kapan harus memberikan komentar menyerang dan kapan secara proaktif ikut menjaga siuasi krisis dengan menghentikan pernyataan yang mampu memprovokasi keresahan rakyat, memperlihatkan kehormatannya sebagai politikus murni.
Sikap serupa ditunjukkan cawapres Sandiaga. Dia berharap elite politik dari pihak koalisi maupun oposisi untuk bisa menahan diri berkomentar negatif. Sebab saat mengeluarkan pernyataan negatif hanya akan membuat kondisi ekonomi menjadi kian buruk. “Kami minta politisi shut up dulu for the next two weeks, jangan dulu mengeluarkan komentar negatif, termasuk dari pihak kita. Saya bilang tunggu. Kita turunkan tensi dulu. Kita lihat ini jangan sampai kita kaya Argentina sama Turki yang sudah. Waduh sedih kalau di sana sih,” katanya.
Aksi simbolik ini Cawapres Sandiga Uno menyikapi pelemahan rupiah dengan menukarkan uang dolarnya ke money changer Dua Sisi di kawasan Plaza Senayan, Kamis (6/9/2018). Sandiaga juga terpanggil untuk memelopori ‘Gerakan Tukar Dolar’. Aksi simbolik ini ditunjukkan Sandi dengan menukarkan uang dolarnya ke money changer Dua Sisi di kawasan Plaza Senayan, Kamis (6/9/2018). Dia mengaku baru kali ini menukarkan secara besar-besaran asetnya dari bentuk dolar ke rupiah.
Sampai saat ini, 40 persen dari asetnya sudah ia tukarkan, dan total aset dalam bentuk rupiah sebanyak 95 persen. “Saya berharap diikuti juga mulai dari pimpinan tertinggi republik ini mulai dari pak presiden sampai pengusaha-pengusaha, juga emak-emak juga kepada millenials. Yuk kita lakukan secara massif gerakan ini. Its simple tapi itu menunjukkan kecintaan kita kepada bangsa dan negara,” ucap dia.
Sikap elite oposisi menyoroti pelemahan rupiah saat ini tampak kontras jika dibandingkan masa sebelumnya. Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri sebagai oposisi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kala itu, melancarkan kritik tajam soal pelemahan rupiah. Mega pun menyampaikan kekhawatirannya, yakni Indonesia akan kembali mengalami krisis ekonomi seperti terjadi pada 1998, manakala nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mencapai Rp15 ribu per dolar AS.
Tak hanya itu, Mega mengaku sakit hati melihat banyaknya barang-barang kebutuhan pokok rakyat yang diimpor dari negara lain hingga berdampak pada anjloknya nilai tukar rupiah. “Masa cabai saja harus impor, masya Allah, saya sakit hati. Tapi apa yang harus saya perbuat, harga cabai berapa, bawang, beras berapa sekarang. Barang-barang itu hasil di Indonesia. Itu semua hasil dari impor,” kata Mega saat berorasi dalam kampanye pasangan calon gubernur (cagub) dan wakil gubernur Jawa Timur (Jatim), Bambang DH-Said Abdullah, di Surabaya, Jatim, Jumat (23/8/2013) silam.
Memang, meski politik terpuji yang ditunjukan Prabowo tak menjamin akan diikuti para pendukung di bawahnya, namun paling tidak, ada harapan bahwa kontestasi politik di Pilpres 2019 mendatang tak “sebrutal” Pilpres 2014. Publik berharap, narasi positif yang dibawa Prabowo akan ‘mendepak’ politik pecah-belah, penuh kebencian, dan provokatif selama ini. Sikap serupa ksatria yang ditunjukkan Ketua Umum Partai Gerindra itu dengan ‘tidak menyerang musuh yang sedang lemah’ (akibat gejolak ekonomi), juga cerminan dari etika politik yang layak dicontoh.
Setelah aksi pelukan Jokowi-Prabowo di laga final pencak silat Asian Games beberapa waktu lalu, adanya perintah Prabowo untuk tak menyerang pemerintah di tengah anjloknya rupiah, dilanjutkan aksi simbolik tukar dolar ke rupiah oleh Sandiaga, barangkali membuat politik tak melulu berwajah garang dan gersang. Sebaliknya, politik ditampilkan dengan wajah simpatik dan menyejukan. Di titik ini, lawan politik harus menjadi kawan ketika negara dalam krisis .