TERITORIAL.COM, JAKARTA – Area makam di Makam Raja‑Raja Imogiri, Kabupaten Bantul, DIY, pada Rabu (5/11/2025) menjadi saksi kehadiran ribuan pelayat saat jenazah Pakubuwono XIII, Raja Kasunanan Surakarta, dimakamkan di kompleks ini.
Lahan pemakaman yang berlokasi di Desa Girirejo dan Wukirsari, Kecamatan Imogiri, merupakan tempat peristirahatan terakhir para raja wangsa Mataram.
Pelayat dari Berbagai Daerah Hadir
Sejak pagi, lautan manusia terus berdatangan ke kawasan makam. Ada yang mengenakan pakaian biasa, ada juga yang memakai pakaian adat Jawa.
Seorang warga negara Swedia, Hilma Nilsson, bahkan turut hadir dan menyampaikan bahwa dirinya datang bersama teman-teman kuliahnya untuk menyaksikan langsung peristiwa budaya di Indonesia.
Demikian pula dengan seorang pelayat berusia 73 tahun, Beni Purwanto dari Tangerang, yang rela menempuh perjalanan panjang.
“Saya dari Tangerang, ke Semarang naik kereta, lalu ke Solo, dan ke Jogja naik bus,” ujarnya sambil menceritakan naik ojek dari Terminal Giwangan ke Imogiri.
Beni mengatakan bahwa kehadirannya bukan sekadar mengikuti prosesi pemakaman, tetapi juga sebagai upaya menghormati dan ikut melestarikan budaya daerah. “Berkah itu kan dari Tuhan, tapi melestarikan budaya saya kira yang utama,” katanya.
Seorang mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM), Vioni Sarah asal Medan, juga hadir. Ia mengaku sengaja datang menyaksikan momen terakhir jenazah Pakubuwono XIII sebelum dikebumikan.
“Ada unsur peristiwa budayanya. Ini jadi pengalaman yang mungkin sekali seumur saja.” ujar Vioni.
Mengapa Imogiri Dipilih Sebagai Tempat Pemakaman Raja-Raja?
Kompleks pemakaman Imogiri memiliki sejarah dan makna spiritual yang tinggi. Sejak masa Sultan Agung dari Mataram di tahun 1630-an, lokasi peristirahatan ini ditetapkan di atas bukit selatan Yogyakarta karena dianggap sakral.
Menurut situs resmi keraton, Imogiri menjadi tempat pemakaman bagi para raja Mataram dan penerusnya dari Kasultanan Yogyakarta maupun Kasunanan Surakarta.
Dalam konteks ini, pemakaman Pakubuwono XIII di Imogiri bukan hanya persoalan keluarga keraton, tetapi juga bagian dari tradisi panjang kerajaan dan budaya Jawa, yang kemudian menjadi perhatian publik dan wisata budaya.

