
Jakarta, 6 Mei 2025 –
Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Heddy Lugito, kembali mengingatkan publik: putusan DKPP bersifat final dan mengikat. Artinya? Tidak ada ruang bagi siapa pun untuk membatalkan keputusan itu—bahkan lewat jalur hukum sekalipun.
“Putusan kami tidak bisa dianulir. Sudah jelas diatur dalam undang-undang dan diperkuat Mahkamah Konstitusi,” tegas Heddy saat konferensi pers di kantor DKPP, Jakarta, Selasa (6/5).

Pernyataan ini merespons sejumlah penyelenggara pemilu yang diberhentikan dan mencoba menggugat ke PTUN. Namun Heddy menegaskan, yang digugat di PTUN bukanlah putusan DKPP, melainkan Surat Keputusan pemberhentian mereka. Dan itu, menurutnya, berbeda ranah.
Ratusan Pengaduan, Puluhan Pemberhentian
Sepanjang 2025, DKPP telah menerima 148 laporan dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP). Dari jumlah itu, 145 kasus telah diregistrasi dan 102 di antaranya sudah diputus.
Berikut rincian sanksi sepanjang tahun ini:
Peringatan: 110
Peringatan keras: 49
Peringatan keras terakhir: 9
Pemberhentian dari jabatan ketua: 7
Pemberhentian sementara: 1
Pemberhentian tetap: 13
Sementara itu, 212 penyelenggara pemilu dinyatakan tidak bersalah dan direhabilitasi nama baiknya.
Jika ditotal sejak 2024, DKPP telah menyidangkan 338 perkara, dengan 739 penyelenggara direhabilitasi.
Masalah Usai PSU, DKPP Turun Tangan
DKPP juga menerima 16 pengaduan terkait pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang (PSU) setelah putusan Mahkamah Konstitusi. Aduan datang dari berbagai daerah, mulai dari dugaan politik uang di Barito Utara hingga pelanggaran mekanisme pencalonan di Papua.
Sebagian kasus masih dalam tahap verifikasi, namun satu kasus sudah naik ke sidang.
Kesimpulan: DKPP berdiri tegak sebagai penjaga etika pemilu. Bagi Heddy Lugito dan jajarannya, kepercayaan publik terhadap demokrasi hanya bisa dibangun lewat integritas, dan itu dimulai dari penyelenggara pemilu yang bersih.