Jakarta, Teritorial.Com – Mendapatkan tanggapan yang serius dari para ummat Islam, Insiden pembakaran bendera tauhid di Garut, Jawa Barat beberapa waktu lalu turut memantik kontroversi di kalangan organisasi kemasyarakatan Islam di tanah air.
Dengan keadaan yang semakin rumit, saat aksi demi bela Tauhid digelar disepanjang jalan sudirman Thamrin hingga silang Monas, Menkopolhukam, Wiranto kemudian mengadana dialog dengan para petinggi ormas Islam di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Jumat (9/11/2018).
Sejumlah petinggi ormas Islam diundang dalam dialog tersebut, termasuk Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dan beberapa tokoh Islam. Usai pertemuan di Kemenkopolhukam, media sosial diramaikan dengan klaim Front Pembela Islam (FPI) bahwa dialog tersebut melahirkan sebuah kesepakatan, bendera tauhid bukan bendera HTI.
Dalam sebuah video yang tersebar di media sosial, disampaikan juga bahwa seluruh perwakilan ormas sepakat bendera yang bertuliskan kalimat tauhid adalah bendera yang boleh dikibarkan, tidak boleh di-sweeping, tidak boleh dirampas apalagi dibakar. Karena bendera tersebut merupakan kalimat Tauhid dan berhak bagi siapapun ummat Islam untuk mimilikinya, mengibarkan dll.
Namun menydikapi hal itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBN) kemudian angkat suara terkait klaim tersebut. Menurut Sekjend PBNU, Helmy Faisal, tidak benar kesepakatan bunyinya seperti itu. “PBNU menolak klaim FPI, karena tidak ada kesepakatan dalam silaturahmi. Bahkan, Menkopolhukam menolak pengertian pembolehan penggunaan bendera hitam yang sering digunaman oleh kelompok yang justru merugikan Islam di dunia Internasional,” kata Helmy, Jakarta, Sabtu (10/11/2018).
Pernyataan tersebut seolah-olah membenarkan tuduhan para kelompok dan organisasi Islam tersmauk FPI didlamnya banhwa PBNU kini telah bersikap ambigu, dan selalu memihak kepada negara dan pemerintah yang berkuasa, sehingga ketika kasus bendera tersebut dianggap sebagai sebuah ancaman terhadap rezim berkuasa maka PBNU tegas membela pemerintah baik atau buruknya.