Teritorial.com – Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 37 Tahun 2019 tentang Jabatan Fungsional Tentara Nasional Indonesia (TNI) telah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo. Sejak ditetapkan di Jakarta pada 12 Juni 2019, Perpres ini diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, pada 17 Juni 2019.
Perpres ini akan menjadi landasan hukum yang mengatur kedudukan dan hak prajurit militer aktif dalam penugasan di suatu organisasi. Sebagaimana dilansir dari laman resmi Setkab, dalam perpres ini disebutkan bahwa pejabat fungsional TNI berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada kepala unit kerja/organisasi yang bersangkutan ditugaskan.
Terdapat beberapa hal dalam Perpres tersebut yang mengatur jabatan fungsional TNI; di antaranya mengatur kedudukan dan hak prajurit militer aktif dalam penugasan di organisasi non ketentaraan, pangkat tertinggi personel ditunjuk sama dengan pangkat kepala unit kerja/organisasi, kategori jabatan fungsional TNI yakni jabatan fungsional keahlian dan jabatan fungsional keterampilan.
Syarat untuk jabatan fungsional keahlian meliputi; ijazah S1 atau setara, memiliki pengalaman sesuai bidangnya minimal satu tahun, mengikuti pendidikan pengembangan umum dan atau pendidikan pengembangan spesialis, nilai prestasi kerja minimal bernilai baik dalam enam bulan terakhir, mengikuti lulus uji kompetensi, syarat lain ditetapkan panglima TNI.
Juga tentang syarat untuk jabatan fungsional keterampilan antara lain berijazah SMA atau setara, memiliki pengalaman tugas minimal setahun, mengikuti pendidikan pengembangan spesialis, nilai prestasi kerja minimal bernilai baik dalam enam bulan terakhir, mengikuti lulus uji kompetensi, syarat lain ditetapkan oleh Panglima TNI.
Bila prajurit dengan jabatan fungsional TNI dipindahkan ke jabatan struktural, maka jabatan fungsionalnya diberhentikan. Terakhir, prajurit yang diberhentikan dari jabatan fungsional TNI dapat diangkat kembali sesuai dengan jenjang jabatan fungsional akhir.
Seperti dikutip dari Antaranew.com, pengamat militer dan pertahanan, Connie Rahakundini Bakrie, berpendapat aturan itu merupakan respons pemerintah dalam upaya mengakomodasi kepentingan jabatan bagi puluhan perwira tinggi yang kini berdinas tanpa jabatan struktural di lantai delapan Markas Besar TNI AD, di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat. Di sana, kurang dari 50 kursi yang tersedia, harus diperebutkan sekitar 70-an perwira tinggi tanpa jabatan.
Saat ini banyak perwira menengah dan tinggi di ketiga matra TNI yang tidak memiliki jabatan struktural, salah satunya karena jumlah jabatan struktural pada organisasi TNI ada di bawah jumlah personel pada kedua golongan itu.
Meskipun setelah organisasi dimekarkan dengan membentuk Komando Armada III TNI AL, Komando Operasi III TNI AU, Divisi III Kostrad, hingga ke satuan-satuan kewilayahan dan operasional, organisasi staf dan pelayanan, serta badan pelaksana di bawahnya, jumlah mereka masih lebih banyak.
Perpres itu sebetulnya sudah dipraktikan sejak lama, sebab banyak keahlian dan keterampilan perwira tinggi, menengah, maupun bawah di struktural TNI yang dimanfaatkan oleh sejumlah organisasi maupun perusahaan swasta atau BUMN di dalam maupun luar negeri.
Ia menyebut, di antaranya adalah pada BUMN di bidang pertahanan, yaitu PT PAL dan PT Dirgantara Indonesia, yang biasanya membutuhkan pendampingan serta bimbingan dari para perwira TNI.
Perpres Nomor 37/2019 itu, menurut dia, juga memberikan jaminan agar para perwira yang telah menyelesaikan tugasnya sesuai dengan kompetensi di luar institusinya dapat kembali pada satuan TNI, sehingga tidak dianggap sebagai sipil.
Ia mengapresiasi penerapan aturan itu sehingga mempertegas jabatan fungsional tentara di bawah komando presiden dan panglima TNI. “Saya kira tidak perlu ada lagi perdebatan atau dipermasalahkan terkait aturan ini. TNI itu untuk rakyat dan rakyat untuk TNI,” ujarnya.
Justru hal terpenting yang juga perlu diatur dalam Perpres Nomor 37/2019 itu adalah kejelasan hukum terhadap posisi para purnawirawan TNI yang saat ini terjun ke dunia politik.
Pada masa Orde Lama berkuasa, tentara dan polisi aktif dipersilakan maju ke TPS untuk menentukan wakilnya di DPR. Demikian juga pada saat Orde Baru berkuasa, TNI dan Kepolisian Indonesia yang saat itu ada dalam satu wadah, ABRI, memiliki Fraksi ABRI di MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
Pada saat itu, konsep Dwifungsi ABRI benar-benar diterapkan ke ranah sipil dan politik praktis, di antaranya menempatkan seorang kolonel menjadi bupati atau kepala DPRD suatu kabupaten.
Multi tafsir
Direktur Eksekutif Institute for Defence Security and Peace Studies, Mufti Makarim, mempertanyakan sejumlah poin dalam Perpres Nomor 37/2019 yang dianggap masih multi tafsir. Di antaranya berkaitan dengan strata perwira (ruang golongan dan pangkat) dalam lingkup TNI yang setara dengan posisi jabatan pada ranah sipil.
Meski secara kontekstual Perpres Nomor 37/2019 berbeda dengan konsep Dwifungsi ABRI yang sudah dihilangkan sejak reformasi, namun sebagian kalangan bisa menafsirkan kalangan militer bisa memiliki jabatan di lingkup sipil, dalam hal ini kementerian dan lembaga serupa.
“Perpres ini bisa juga ditafsirkan militer memiliki jabatan di lingkup sipil. Bila benar demikian, bisa jadi bom waktu bagi pemerintah,” katanya.
Makarim mengatakan, sebagian kalangan ada pula yang menganggap aturan ini sebagai konsesi bagi TNI usai penyelenggaraan Pemilu 2019 berkaitan dengan surplus perwira hasil rekrutmen hampir 30 tahun lalu yang kini tidak memiliki jabatan sejak Dwifungsi ABRI dihapus.
Kegamangan itu, kata dia, perlu segera dijawab Presiden terpilih Joko Widodo guna menghindari perdebatan di tengah masyarakat atas dikeluarkannya peraturan itu.
Pengamat militer dan intelijen, Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati, mengatakan, jabatan fungsional TNI merupakan upaya pemerintah untuk menghargai keahlian dan keterampilan prajurit TNI baik sebagai prajurit maupun dalam bidang lain.
Menurut dia, bangsa Indonesia patut bersyukur bahwa seluruh rangkaian Pemilu 2019 telah berakhir secara baik. Dunia internasional juga memberi apresiasi yang tinggi.
Keberhasilan itu tidak terlepas dari peran aparat negara TNI dan aparat Polri serta seluruh masyarakat Indonesia. Dikaitkan dengan tugas TNI, maka keberhasilan tugas pengamanan Pemilu masuk kategori tugas membantu pemerintah dalam kerangka Operasi Militer Selain Perang (OMSP).
“Tugas OMSP juga diemban oleh militer manapun di seluruh dunia,” katanya.
Contoh lain terkait dengan ketrampilan prajurit TNI sebagai peneliti juga harus mendapat penghargaan sesuai porsinya. Keahlian dan ketrampilan prajurit TNI adalah bentuk profesionalitas TNI yang dapat diproyeksikan kepada bentuk pengabdian terhadap pertahanan.
Ia memberi contoh, di Universitas Pertahanan yang ada dalam naungan Kementerian Pertahanan, ada banyak perwira TNI yang memiliki keahlian sebagai dosen dengan metodologi tertentu yang menjadi rumpun jabatan keahlian, sehingga para prajurit TNI yang menjadi dosen di Universitas Pertahanan bisa juga menjadi dosen di universitas lainnya baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Melalui Perpres Nomor 37/2019 itu, para peneliti dari prajurit TNI dapat dimanfaatkan oleh Kemenristek Dikti, BPPT, dan kementerian atau lembaga negara/lembaga pemerintah lain.
Keahlian dan ketrampilan prajurit TNI di bidang hukum dan komputer saat ini juga menjadi konsentrasi baru mengatasi berbagai ancaman sosial budaya dan ancaman siber di tengah masyarakat.
Pada tataran praktis, baru-baru ini personel TNI AL membantu masyarakat di Kabupaten Belu, NTT, dalam mengolah dan menyediakan air bersih untuk masyarakat. Kegiatan itu adalah bentuk nyata keahlian mengolah air bersih di kapal perang. Pengalaman bertugas di kapal perang ternyata dapat dimanfaatkan masyarakat yang membutuhkan.
Sumber: Antara