TERITORIAL.COM, JAKARTA – Pemerintah bersama dengan DPR RI resmi melegalkan pelaksanaan ibadah umrah secara mandiri melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (UU PIHU). Dalam pasal 86 ayat 1 huruf b disebut bahwa perjalanan umrah dapat dilakukan “secara mandiri”.
Menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (AMPHURI), Zaky Zakaria Anshary, kebijakan tersebut membawa dampak sangat luas. Bukan hanya pada pelaku usaha, tetapi juga bagi jemaah.
“Legalisasi umrah berarti membuka ruang bagi korporasi global dan marketplace asing serta seller global untuk langsung menjual paket ke jemaah Indonesia tanpa melibatkan PPIU,” ujar Zaky.
Sektor haji dan umrah selama ini membuka lapangan kerja bagi jutaan orang, mulai dari tour leader, katering, penginapan, sampai mitra UMKM lokal. AMPHURI mencatat sekitar 4,2 juta pekerja yang bergantung pada sektor ini.
Dengan dibukanya jalur umrah mandiri, dana umat diyakini akan mengalir keluar negeri karena marketplace luar dapat langsung masuk pasar Indonesia.
Ekosistem seperti pesantren, ormas Islam, lembaga zakat, pelaku usaha kecil, mempunyai peran dalam penyelenggaraan melalui PPIU/PIHK. Zaky menilai jalur mandiri berpotensi menggantikan model ini dengan sistem yang orientasinya komersial.
Dari sisi jemaah, jemaah yang memilih jalur mandiri tetap terikat persyaratan, yakni harus membeli paket layanan dari penyedia yang terdaftar serta mendaftar perjalanan melalui sistem informasi resmi pemerintah.
Namun, jemaah mandiri tidak mendapatkan perlindungan layanan seperti akomodasi, konsumsi, transportasi, dan asuransi jiwa/ kecelakaan sebagaimana yang diwajibkan untuk jemaah melalui PPIU.
Tanpa pendampingan yang memadai, baik manasik, fikih, maupun kepastian legal, jemaah mandiri memiliki resiko, yakni dari prosedur visa, aturan miqat, hingga risiko pelanggaran di Tanah Suci.
Zaky mengungkap banyak kasus jemaah yang akhirnya bermasalah karena kurang persiapan.
Sebelumnya, sebanyak 13 asosiasi penyelenggara haji dan umrah telah menyatakan penolakan terhadap legalisasi umrah mandiri, karena dinilai melepas perlindungan jemaah, membuka celah penipuan, dan memberi ruang bagi marketplace global menguasai pasar jemaah Indonesia.
Namun, pemerintah telah menetapkan persyaratan bagi umrah mandiri melalui Pasal 87A UU PIHU, di antaranya beragama Islam, paspor masih berlaku minimal 6 bulan, tiket pulang-pergi sudah jelas, surat keterangan sehat, visa, dan bukti pembelian paket melalui penyedia layanan yang tercatat dalam sistem informasi Kementerian.

