Meneladani Jejak Rasulullah di Tahun Baru Hijriah

0

Jakarta, Teritorial.Com – Satu Muharam adalah sebuah terminal peristiwa sejarah peralihan zaman yang dahsyat. Dialami oleh seorang manusia yang diteruskan oleh suatu umat. Demi mempertahankan iman dan memikul amanat, maka kampung halaman, tanah tumpah darah, rumah tinggal dan kerabat, segala harta yang ada, terpaksa ditinggalkan.

Tiga belas tahun Nabi Muhammad saw berdakwah di tengah masyarakatnya di Makkah, dengan seruan agar manusia kembali kepada agama tauhid, sesuai dengan fitrah manusia. Ini yang ditentang oleh masyarakat Quraisy. Tetapi bukan itu saja persoalannya. Selain ajaran tauhid, ada tiga prinsip lagi dalam seruan berisi suatu reformasi besar: Kekuasaan politik, struktur sosial, dan sistem ekonomi.

Kekuasaan politik oligarki yang absolut dan hanya dikuasai satu golongan kuat harus dirombak, padahal kekuasaan itu berada di tangan kaum Quraisy masyarakat dan keluarga Nabi sendiri.

Struktur sosial yang menciptakan kelas-kelas dan kesukuan harus dihilangkan. Nilai manusia diukur dari kemanusiaannya, ketakwaannya kepada Allah, dan perbuatannya. Sahabat-sahabat Nabi dari struktur lama — yang terdiri dari kelas atas dan kelas bawah serta kaum lemah, bahkan beberapa kaum budak seperti Bilal — harus mendapat kedudukan yang sama. Perbudakan harus dihapuskan dan kedudukan perempuan harus mendapat tempat yang wajar.

Kemudian sistem ekonomi yang harus dapat menghapus pemerasan terhadap si lemah, praktek riba yang merajalela. Bahkan Abbas, paman Nabi, pada mulanya adalah periba besar. Pemerasan tenaga kerja harus dihilangkan, yang dilambangkan dalam perintah: ”Bayarkanlah upah buruh sebelum keringatnya kering.” Segi-segi inilah sebenarnya yang mereka tentang.

Itulah sebenarnya esensi dari hijrah yang dilakukan Nabi.

Rasul mengajak orang dengan penuh kearifan menganut agama yang benar, meninggalkan penyembahan berhala dan hidup penuh takhayul, meninggalkan kezaliman. Ia menyerukan agar martabat insani dikembalikan ke tempat yang sebenarnya, tak ada perbedaan derajat karena keturunan atau ras, tak ada perbudakan, dan pemerasan manusia atas manusia. Perempuan ditempatkan pada posisi yang lebih tinggi. ”Surga berada di telapak kaki ibu,” kata Nabi. Semua manusia di muka bumi sama derajatnya.

Semua ini merupakan dasar reformasi materi dan revolusi rohani dan moral yang unik dan sungguh luar biasa.

Selintas kita teringat pada diri sendiri: Sekarang ini kita sesama manusia, bahkan sebangsa, barangkali sudah terlalu kental dipoles iklim politik. Kita saling menghujat, bermusuhan, dan saling menjatuhkan. Sudah cukup banyak korban dimakan nafsu amarah. Kita tak tahu sampai berapa jauh lagi, karena kita sudah lupa untuk malu kepada sejarah. Kita tak tahu betapa besar dosa kita di hadapan Al-Khalik, di hadapan sesama manusia.

Kita jadi merenung lagi, hijrah mengajarkan kita, untuk meneladani Nabi dan perjalanan hijrahnya.

Share.

Comments are closed.