Ancaman Keamanan Ekonomi dalam World System (International Monetary Fund)

0

Salah satu perubahan yang paling signifikan pasca Perang Dingin adalah world system (sistem dunia). Berawal dari hubungan internasional yang bersifat bipolar, dimana perebutan kekuasaan antara Blok Barat dan Blok Timur tersebut telah berubah menjadi multipolar. Perubahan tersebut memunculkan kekuatan-kekuatan baru yang akan mengubah tatanan global hingga saat ini. Kekuatan baru tersebut memang tetap didominasi oleh negara-negara, namun non-state actors (aktor selain negara) juga memiliki peranannya tersendiri dalam sistem global saat ini.

Perkembangan juga terjadi dalam sektor keamanan, Buzan (1983) dalam bukunya “People, State and Fears” menilai bahwa bentuk ancaman keamanan mulai berkembang yang awalnya adalah ancaman militer yang berasal dari negara lain, telah berkembang dengan rupa ancaman dari sektor ekonomi, sosial, politik dan lingkungan. Sehingga bidang kajian sektor keamanan dalam konteks world system semakin meluas dan mendalam. Perlu disadari, dunia saat ini tengah dilanda satu sistem perekonomian global yang memiliki tingkat ketergantungan sangat tinggi antara satu aktor dengan aktor lainnya. Terkadang depedensi tersebut menjadi ‘boomerang’ tersendiri bagi negara ketika menghadapi tekanan global yang mengancam dari sektor ekonomi. Buzan (1983) menjelaskan ketika sektor ekonomi terancam akan memberikan dampak langsung kepada sektor keamanan lainnya.

Pertanyaannya kemudian, apakah world system saat ini tengah menjaga stabilitas keamanan antar-negara? Terkhusus dalam sektor ekonomi, Craig A. Snyder (1999) menjelaskan perubahan ancaman menjadi kontemporer pasca Perang Dingin dan sangat mempengaruhi prilaku negara dalam memaknai ancaman dan keamanan itu sendiri, yang berujung dengan mendudukkan International Monetary Fund (IMF) sebagai salah satu world system yang mengatur perangkat bantuan perekonomian terhadap negara-negara “miskin” dan berkembang.

IMF merupakan badan khusus dalam sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang didirikan berdasarkan perjanjian internasional untuk membantu mempromosikan kesehatan perekonomian dunia. Sejarahnya, IMF dilahirkan di bulan Juli tahun 1944 pada konferensi PBB yang diselenggarakan di Bretton Woods, New Hampshire, Amerika Serikat (AS). Dimulai ketika perwakilan dari 45 pemerintah negara menyetujui suatu kerangka kerjasama ekonomi yang dirancang untuk menghindari terulangnya kebijakan ekonomi buruk yang turut mengakibatkan Depresi Besar (Great Depression) di tahun 1930-an.

Posisi IMF sebagai lembaga sentral dari sistem moneter internasional—yaitu sistem pembayaran dan nilai tukar internasional di antara mata-mata uang nasional yang memungkinkan dilaksanakannya kegiatan bisnis di antara negara-negara di dunia. Idealnya, IMF bertujuan untuk mencegah krisis dalam sistem ekonomi global dengan mendorong negara-negara agar melaksanakan kebijakan ekonomi yang baik. Selain itu, IMF juga memiliki dana yang dapat dimanfaatkan oleh anggota yang memerlukan pembiayaan sementara untuk menyelesaikan masalah neraca pembayaran.

Sistem aturan dalam struktur organasisasi di IMF didasarkan pada keanggotaannya yang terdiri dari 184 negara. Pada dasarnya, IMF bertanggung jawab terhadap negara-negara anggotanya, dan pertanggung-jawaban ini penting untuk efektifitasnya. Pekerjaan harian IMF dilaksanakan oleh Dewan Eksekutif, yang mewakili 184 anggota, dan sejumlah staf internasional yang terpilih di bawah kepemimpinan Direktur Pengelola dan tiga Wakil Direktor Pengelola—setiap anggota dari tim manajemen ini dipilih dari berbagai wilayah di dunia.

Dalam beberapa tahun terakhir, telah terjadi banyak perdebatan mengenai wacana perubahan atau reformasi dalam pengeloaan ekonomi global. Wacana tersebut muncul karena adanya kebutuhan mendesak untuk adanya reformasi pada IMF. Desakan perubahan difokuskan pada struktur pemilihan dan representasi, serta transparansi dan akuntabilitas. Desakan perubahan atau reformasi tersebut didasari oleh beberapa kebijakan IMF yang cenderung merugikan bagi negara-negara berkembang. Titik tolak terbesarnya dimulai pada tahun 1997 saat terjadi krisis moneter dimana negara-negara terutama negara dunia ketiga mulai bergantung pada hutang luar negeri.

IMF sebagai organisasi supranasional yang bergerak di bidang ekonomi memainkan peran besar dalam memberikan bantuan berupa hutang. Pemberian bantuan ini memiliki tahapan pra-syarat yang harus dipenuhi oleh negara-negara penerima bantuan, dimana tiap prasyaratnya mendikte ke arah modernisasi ekonomi dan liberalisasi pasar berdasarkan model Barat. Bantuan tersebut memang mampu mengatasi masalah ekonomi secara instan namun hanya berjalan relatif singkat, karena prasyarat yang diberikan justru mengakibatkan adanya ketimpangan ekonomi dan ketergantungan oleh negara-negara berkembang. Kondisi diperburuk karena sistem pengelolaan global, khususnya di bidang ekonomi tidak mampu dan tidak didesain untuk menghentikan siklus hutang tersebut.

Menurut analisa penulis, siklus hutang dan ketergantungan akan dapat dihentikan jika sistem di IMF lebih demokratis. Sistem dalam pengambilan keputusan di IMF sekarang tidak demokratis karena Keputusan IMF diperoleh dengan satu suara dari Dewan Direktur Eksekutif IMF yang mewakili negara-negara anggota. Namun tidak seperti PBB, dimana setiap negara anggota memiliki satu suara yang sama (equal vote), kekuatan suara (voting power) di lebih ditentukan oleh tingkat kontribusi finansial negara-negara anggota. Berikut pernyataan mengenai sistem voting dalam publikasi IMF di jurnal “Ten Common Misconceptions about IMF” (1993):

“The voting power of individual IMF members is proportional to their subscriptions (known as “qoutas”). Since subscriptions are determined by a countriy’s economic size and its importance in trade, and since countries with the largest financial stake in the IMF should have the largest say in its decisions, the developing countries inevitably have smaller individual shares in the IMF than the industrial countries. Meanwhile The United States provides the IMF with about 20 percent of its total resources and holds about the same percent of total voting power”

Dengan regulasi voting dan banyaknya total suara (kuota) yang dimilki AS, sangat memungkinkan bagi AS untuk melakukan kontrol terhadap kebijakan-kebijakan IMF. Model regulasi yang hampir sama juga berlaku di Bank Dunia. Kelompok negara berkembang telah menyatakan ketidakpuasannya atas representasi suara mereka di kedua lembaga keuangan internasional (IMF dan Bank Dunia) dimana negara-negara berkembang hampir tidak mempunyai kontrol terhadap kebijakan-kebijakan lembaga. Dengan sisitem pengelolaan ekonomi global yang tidak berpihak ke negara berkembang, negara-negara Group of Seven (AS, Kanada, Inggris, Perancis, Jerman, Italia dan Jepang) telah mampu mengendalikan IMF dan Bank Dunia serta mendikte agenda-agenda kedua lembaga ini.

Organisasi seperti IMF telah menunjukkan bahwa perlunya ada reformasi dalam pengelolaan ekonomi global. Joseph Stiglitz (2004), mantan pemimpin ekonom Bank Dunia, mengkritik bahwa prakondisi IMF yang teramat ketat terhadap negara-negara Asia di tengah krisis yang berkepanjangan berpotensi menyebabkan resesi yang berkepanjangan. Kemudian berlakunya praktek apa yang dinamakan “konsensus Washington” yaitu negara pengutang lazimnya harus mendapatkan restu pendanaan dari pemerintah AS, yang pada dasarnya hanya memperluas kesempatan ekonomi AS.

Organisasi internasional seperti IMF, Bank Dunia dan WTO telah memaksakan globalisasi dan transisi ekonomi ke negara-negara berkembang. Stiglitz merekomendasikan untuk adanya kesetaraan atau suatu persamaan kedudukan dengan sistem satu negara, yaitu satu negara satu suara (one nation, one vote) di organisasi tersebut. Namun, menurut analisa penulis, rekomendasi Stiglitz untuk reformasi dalam pengelolaan global melewatkan aspek penting yang berpengaruh, yaitu: ketergantungan (dependency). Ketergantungan tersebut merujuk pada pendekatan Neo-Marxis, dimana suatu keadaan yang mengakibatkan aktivitas pengelolaan dan upaya-upaya menciptakan kemajuan perekonomian dari sekelompok negara tertentu didikte dan diatur oleh negara-negara lainnya. Ketergantungan tersebut didasarkan pada suatu bentuk mekanisme pembagian kerjasama yang timpang, yang hanya memungkinkan kemajuan industri terlaksana di beberapa negara dominan saja, dan dalam waktu yang bersamaan menghambat pembangunan di beberapa negara lainnya (Gruvogui, 2007).

Maka, dapat ditarik kesimpulan bahwa ketimpangan dan kemiskinan yang terus berlanjut di sebagian besar negara-negara berkembang yang diakibatkan oleh IMF disebabkan oleh kebijakan-kebijakan kelompok negara industri kapitalis dari belahan bumi Utara yang menyebar melalui elit-elit domestik (comprador) di negara berkembang. Menurut penulis, karena ketidakadilan dan disparitas ekonomi diciptakan oleh globalisasi neoliberal yang sangat bersifat struktural, maka solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut pun perlu diletakkan pada dimensi yang juga bersifat struktural.

Rizky Reza Lubis – Alumnus Pascasarjana Diplomasi Pertahanan UNHAN dan Hubungan Internasional UR

Referensi:

  • Mingts, K., 1999, Essential of International Relations, New York: Norton and Company.
    Buzan, Barry, 1983, People, State and Fear, UK: ECPR Classic.
  • Snyder, Craig A., 1999, Contemporary Security and Strategy, London: Macmilla Press LTD.
  • IMF, Februari 2003, Apakah Dana Moneter Internasional itu, tersedia di https://www.imf.org/external/pubs/ft/exrp/what/IND/whati.pdf
  • Mekay, E., 2003, Politics: U.S. Set To Block World Bank Aid To Iran, New York: Global Information Network.
  • Leviza, J., 2007, International Monetary Fund (IMF) Dan Bank Dunia Dalam Konflik Kepentingan Ekonomi Dan Politik Negara Maju Dengan Negara Berkembang, Jurnal Equality Vol. 12 No. 1 Februari, 75-87.
    IMF, 1993, Ten Common Misconceptions About the IMF, IMF Publications.
  • Shirin, 2005, Development: G24 Wants Greater Voice At World Bank, IMF. Global Information Network: New York.
  • Stiglitz, Joseph E., The Future of Global Governance, (Paper prepared for conference in Barcelona, September 24-25, 2004 on From The Washington Consensus Towards A New Global Governance).
  • Grovogui, Siba N., 2007, Post-colonialism dalam Tim Dunne et al. International Relations Theories: Discipline & Diversity. Oxford: Oxford University Press, 2007.
Share.

Comments are closed.