Suriah, Teritorial.Com – Mengawali tragedi 9/11 yang melanda negeri Adidaya Amerika Serikat atas keruntuhan dua menara kembar WTC, sejak saat itu istilah teroris mendadak mendunia setalah secara terang-terangan otoritas keamanan AS menyatakan bahwa persitiwa tersebut merupakan serangan teror yang dilakukan oleh sekelompok terorisme bernama Al- Qaeda.
Tak lama berselang Global War On Terror (GWOT) menjadi senjata ampuh AS untuk menarik perhatian masyarakat dunia untuk bersama mengkampanyekan perang melawan teroris. Sejak saat itu, tatanan dunia baru abad 21 mulai menjadi diskursus setiap pembahasan menganai bagaimana menghubungkan wajah dunia internasional disaat kondisi dunia dilanda situasi yang penuh ketidakpastian.
Bersamaan dengan hal tersebut para akademisi hampir diseluruh penjuru negeri mulai menggelorakan apa yang mereka sebut dengan acaman non-tradisional. Berjangkar pada potensi ancaman yang terjadi maka opsi negara tidak lagi menjadi satu-satunya entitas yang mampu memberikan ancaman bagi negara lainnya, dibalik itu mulai bermunculan kelompok-kelompok dengan berbagai motif serta ideologi tertentu yang mulai merepotkan negara terutama dalam sistem keamanan.
Ditengah Kerancuan Definisi Terorisme
Memasuki abad ke-21 praktik penggunaan cara-cara kekerasan bertujuan menebarkan ancaman dan ketakutan dengan menggunakan berbagai alat dan sasaran-sasaran strategis mewarnai definisi luas seputar terorisme. Dengan melihat pada akar skala konflik dan dampak ketakutan yang ditimbulkan maka terorisme jelas berbeda dari kekerasan kriminal dalam derajat legitimasi politik.
Menganggap tak ada jalan lagi, para pelaku teror tersebut merebut simpati bersamaan dengan menunjukkan bahwa penggunaan kekerasan adalah pilihan satu-satunya yang tersisa untuk dapat menarik perhatian terkait penderitaan para masyarakat yang merasa dirugikan dan termarjinalkan dari adanya perubahan dan situas politik yang secara tidak langsung memenjarakan mereka dalam sistem ketidakadilan (Martha Creshaw.2007:17).
Perlu disadari bahwa definisi substabsial soal penyebutan istilah terorisme tersebut telah bergeser dan melekat kepada penyebutan nama-nama kelompok tertentu yang dikategorikan dunia barat saat ini sebagai kelompok teroris. Sejak 9/11 Al-Qaeda, Taliban, Hamas, Ikhwanul Muslimin dan baru-baru ini marak disebut soal ISIS. Propaganda media, ditambah kepentingan negara Adidaya menghantarkan pada kerancaun tentang bagaimana mengartikan terorisme itu sendiri.
Al hasil seolah terjadi proses pengkerdilan, kini bicara terorisme tidak akan jauh dari pembahasan bom bunuh diri dimana yang menjadi target tujuannya adalah menyasar pada aset-aset strategis negara hingga fasilitas umum di tengah keramaian publik. Kembali kepentingan dunia barat untuk menyudutkan Islam hampir selalu dilakukan melalui argumentasi terorisme dan radikalisme.
Tidak salah jika menganggap bahwa apa yang kerap kali terjadi akhir-akhir ini seperti tindak kekerasan melalui peledakan bom bunuh diri di sejumlah tempat Ibadah adalah tindakan teror, namun yang harus dicermati adalah bukan sebatas tindakanya namun kembali lagi adalah motif tujuan dibalik tindakan tersebut. Berbanding terbalik dengan perang konvensional, namun aksi-aksi terorisme dirancang demi mencapai perubahan politik sebagai bagian dari upaya untuk memperoleh kekuasaan atau menunjukan eksistensi diri sebagai pihak yang bersebrangan dengan kekuasaan.
Disinilah letak persingungan antara faktor kekuasaan dengan mereka sebagai pihak-pihak yang termarjinalisasi dari adanya kekuasaan tersebut. Ketidakmampuan untuk berdiri sejajar itulah yang kemudian turut menjadi pemicu kenapa mereka harus melakukan teror. Bukan hanya sebatas faktor ekonomi, keluhan secara “sistemik” atas apa yang telah mereka selama ini rasakan dari ketidakdilan sistem penguasa dunia menjadi pupuk subur terkait bagaimana para teroris tersebut beraksi.
Apakah Negara Bisa Disebut Sebagai Teroris?
Sebagaimana dalam beberapa literatur barat, terorisme berasal dari Bahasa Perancis le terreur yang memang semula dipergunakan untuk menyebut tindakan pemerintah hasil Revolusi Perancis yang mempergunakan kekerasan secara brutal dengan memenggal 40.000 orang yang dituduh anti-pemerintah. Disinilah praktik Terorisme yang diterpakan oleh negara terhadap gerakan yang anti-pemerintah terjadi.
Definisi terorisme secara sederhana ditandai, dengan penggunaan kekerasan, targetnya non combatan. Tujuan penggunaan kekerasan, dan akar penyebabnya, dimulai dari ketidak sepakatan sebagian besar kelompok tertentu tentang situasi politik yang sedang berlangsung. Dalam sejarah, istilah terorisme dapat dijelaskan melalui kekerasan negara yang melawan warga selama revolusi Francis.
Pertanyaan kemudian adalah, Jika negara saja tidak luput dari tindakan teror, maka apakah sah jika kita mengatakan bahwa negara juga sering kali terlibat terorisme? Hal ini tentunya telah menyentil soal pembicaraan sebelumnya bahwa propaganda Media berhasil mencetak gambaran definisi bahwa perkara terorisme kini tidak lain sebatas pembahasan aktor non-negara yang terus melakukan penyerangan terhadap tempat-tempat keramaian hanya sebatas untuk menelan korban jiwa.
Bagi Mereka yang Menuduh Teroris
Secara nyata aktor non negara telah terlibat dalam penghancuran entitas negara bangsa, sekaligus sebagai sinyal ancaman terhadap eksistensi negara dalam tatanan dunia baru mendatang. Sebagai contoh kita bisa melihat NATO ketika membantai dan menghancurkan Yugoslavia.Kemudian koalisi imperialis-teroris yang membunuh Khadafi dan mengusir jutaan pengikutnya dari tanah airnya menjadi pengungsi dan diperjual belikan sebagai budak.
Tapi koalisi imperialis-teroris gagal mengusir Presiden Bashar Assad dari Suriah – namun masih menduduki sebagian wilayah kedaulatan Suriah hingga hari ini, terutama berkat dukungan aliansi AS, Israel dan Arab Saudi. Selain teroris, aksi perompak juga mulai mengancam keamanan jalur perairan perdagangan strategis yang melalui kawasan Indo-Pasifik, terus ke Selat Malaka hingga Laut Sulu Sulawesi.
Kegamangan situasi juga ditandai dengan meningkatnya perebutan pengaruh negara-negara besar yang ingin menguasai geopolitik dan sumber daya alam (SDA) terbukti yang belum diekploitasi. Salah satu perebutan yang paling hangat belakangan ini adalah sengketa antara Israel dan Lebanon untuk eksploitasi migas di Laut Mediterania. Termasuk perang proxy di Myanmar atas nama etnis Rohingya yang mengganggu jalur pipa migas Cina-Mynmar.
Terutama sejak perang sipil di Suriah, istilah state terorism mulai kembali diperhatikan. Ribuan warga Suriah tiap hari harus meregang nyawa, jika salah satu indikatornya adalah upaya pembunuhan serta penciptaan ketakutan dengan korban yang cukup banyak maka apakah layak jika pemerintah Suriah dikategorirkan sebagai teroris. Beralih kepada kasus yang serupa seperti di Palestina tepatnya warga Gaza. Tak kalah menyedihkan mereka pun hingga saat ini turut mengalami hal serupa, pembantai, genosida, hingga pengunakan senjata biologis,namun yang jadi masalah apakah dunia menganggap mereka teroris? nampaknya tidak, hal tersebut terjadi lantaran terkait dengan apa yang dituliskan sebelumnya bahwa istilah terorisme sangat bersifat politik kekuasaan.
Penulis: Sony Iriawan S.I.P, M.Si (Han) Pemerhati Studi Keamanan Nasional dan Geopolitik Kawasan