Ditengah Situasi Ketidakpastian, pemerintah Dapat Mengamankan Penerimaan Pajak Tahun Ini

0

JAKARTA, Teritorial.com – Ketika menuliskan kolom ini, saya menempatkan kata “harap” dua kali di judul untuk menunjukkan optimisme yang lebih besar ketimbang pesimisme di tahun 2021. Penting untuk selalu menjaga asa sekalipun dalam kondisi terburuk.

Namun, “cemas” sangat manusiawi dan juga perlu dikelola sekalipun dalam kondisi baik-baik saja, karena bencana dan krisis bisa saja datang tiba-tiba.

Termasuk dalam menganalisis perpajakan. Peluang dan tantangan akan selalu ada di tengah dinamika ekonomi dan politik global yang serba tak pasti. Apalagi di 2021 ini, ketika pandemi Covid-19 masih jadi monster tak kasat mata yang merenggut jutaan nyawa penduduk dunia. Belum lagi jika bicara perang dagang AS-Tiongkok yang tak kunjung reda di tengah isu perpecahan Uni Eropa pasca Brexit, serta politik identitas yang memanas selama pemilihan Presiden AS.

Resesi ekonomi Indonesia juga mendapatkan sorotan global di tengah kegamangan pemerintah merespons pandemi. Setelah tumbuh rata-rata 5% selama periode 2015-2019, laju ekonomi Indonesia seperti berhenti mendadak pada tahun 2020. Bahkan BPS mencatat sepanjang 2020 ini pertumbuhan ekonomi minus 2,07 persen, terparah sejak krisis ekonomi 1998, meski laju inflasi berhasil dijaga di level rendah 1,68%.

Arah pergerakan ekonomi sejalan dengan kinerja perpajakan. Sebab, besar atau kecilnya setoran pajak sangat tergantung dari kemampuan ekonomi (penghasilan dan daya beli) pembayar pajak.

Dalam kondisi yang normal pertumbuhan penerimaan pajak secara alami dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Apabila menggunakan asumsi pertumbuhan ekonomi (5,3%) dan inflasi (3,1%) di APBN 2020 maka setoran pajak idealnya tumbuh secara alami di atas 8%.

Dengan memperhitungkan kondisi alami perekonomian di atas maka seharusnya penerimaan pajak mengalami stagnasi atau kalaupun turun tidak lebih dari minus 0,5%.

Kenyataannya, penerimaan pajak anjlok hingga minus 19,7% pada tahun 2020 dan meninggalkan defisit fiskal 6,09 persen, dua kali lebih lebar dari yang seharusnya yaitu 3% dari PDB.
Bidenomic Melegakan Pemerintah Indonesia

Ceritanya tentu akan berbeda pada tahun baru 2021, yang seperti biasa selalu dibuka dengan pengharapan. Terlebih dengan ditemukannya vaksin Covid-19 dan dimulainya vaksinasi bertahap di sejumlah negara.

Tantangan dan harapan baru juga muncul dari Negeri Paman Sam. Setidaknya,

membawa angin segar bagi publik dunia yang muak dengan kebijakan kontroversi Donald Trump.

Beberapa jam setelah resmi dilantik, Biden menandatangani 15 perintah eksekutif yang ditujukan untuk meningkatkan tindakan pemerintah federal terkait krisis virus corona yang telah merenggut nyawa lebih dari 400.000 penduduk AS. Biden menargetkan 100 juta vaksinasi dalam 100 hari pertamanya menjabat.

Biden dan Harris juga melanjutkan program American Relief Plan dengan mengajukan tambahan anggaran subsidi dan bantuan sosial ke Kongres AS. Dia juga membatalkan kebijakan Trump terkait penghapusan perlindungan bagi karyawan federal, termasuk aturan yang mempermudah perekrutan dan pemecatan pegawai negeri. Dalam hal ini, Biden meminta Departemen Tenaga Kerja memberikan upah minimum semua pegawai pemerintah federal sebesar US$15 per jam dan menjamin asuransi pengangguran bagi yang menolak pekerjaan yang membahayakan.

Terkait perpajakan, dalam kampanyenya Biden dan Harris berjanji akan mengenakan pajak yang lebih tinggi terhadap orang-orang kaya dan korporasi guna mewujudkan sistem pemajakan yang lebih adil.

Politisi Partai Demokrat itu juga mendorong penggabungan pajak federal dan negara bagian.

Biden dan Harris menyiapkan tiga skenario kenaikan pajak. Pertama, menaikkan tarif pajak atas penghasilan di atas US$400 ribu menjadi 39,6% dari 37%. Kedua, menaikkan tarif pajak atas pendapatan investasi di atas US$ 1 juta menjadi 39,6%. Ketiga, mengenakan pajak penghasilan tambahan sebesar 12,4% bagi pekerja berpenghasilan lebih dari US$ 400 ribu setahun, yang beban pajaknya dibagi antara karyawan dan perusahaan.

Biden juga secara tegas menyatakan akan memajaki perusahan-perusahaan raksasa digital AS, seperti Apple, Google, Amazon, dan Microsoft. Terutama atas penghasilan yang diterima korporasi dari aktivitas bisnis di luar negeri.

Intinya, apa yang akan dilakukan Biden sangat bertolak belakang dengan kebijakan Trump yang proteksionis, inward looking dan konfrontatif.

Kebijakan ekonomi Biden atau yang popular dengan istilah Bidenomic ini sedikit melegakan Pemerintah Indonesia. Terutama terkait rencana pemerintah memajaki subjek pajak luar negeri yang menjual barang atau jasa kepada konsumen di Indonesia secara daring.

Di era Trump, kebijakan pajak digital Indonesia dan sejumlah negara ditentang keras oleh Pemerintah AS karena dianggap diskriminatif dan membebani perusahaan-perusahaan digital AS.

Setelah dipersoalkan oleh United States Trade Representative (USTR), sengkarut pajak digital Indonesia vs AS saat ini berlanjut ke World Trade Organization (WTO). Lagi-lagi kemampuan diplomasi dan negosiasi Indonesia kembali diuji sebagai negara yang berdaulat.
Tidak Kalah Pelik

Secara umum, tantangan perpajakan di tahun 2021 tidak kalah pelik dibandingkan dengan tahun 2020. Apabila tahun lalu ujian terberat adalah pagebluk Covid-19 yang memicu resesi ekonomi, tahun 2021 tantangannya bertambah dengan mewabahnya Super Covid . Selain itu, rentetan bencana alam dan non-alam juga menjadi tantangan pembuka di awal tahun yang butuh penyikapan serius.

Semua itu belum diperhitungkan oleh pemerintah maupun lembaga multilateral ketika memproyeksi atau menyusun target-target perekonomian 2021, termasuk setoran pajak.

Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 5% dan inflasi 3% maka secara alamiah idealnya penerimaan pajak tahun 2021 tumbuh minimal 8%. Namun di APBN 2021, target penerimaan pajak ditetapkan sebesar Rp1.229,6 triliun atau hanya tumbuh 2,6%.

Pemerintah beralasan, target disusun dengan mempertimbangkan kembali peran pajak dalam mendukung pemulihan ekonomi. Percepatan restitusi PPN, insentif PPh 22 impor, pajak ditanggung pemerintah, serta tax holiday dan tax allowance adalah sederet fasilitas fiskal yang akan kembali dilanjutkan pada tahun ini.

Dengan target pertumbuhan yang lebih rendah dari pertumbuhan alami, seharusnya tidak ada alasan bagi otoritas pajak untuk kembali mengulang shortfall.

Perluasan basis pajak dengan mulai menggencarkan pemajakan transaksi ekonomi secara elektronik idealnya bisa mengompensasi penurunan setoran pajak dari sumber-sumber konvensional yang terdampak pandemi.

Porsi underground economy yang masih besar juga menjadi tantangan tersendiri bagi otoritas pajak. Dalam hal ini, ekstensifikasi pajak sebaiknya menggandeng pemerintah daerah dengan menyasar ke sektor usaha informal.

Selain itu, juga diperlukan transformasi sistem pelayanan pajak yang mengedukasi, memudahkan, sekaligus adaptif dengan gaya hidup wajib pajak yang semakin serba digital.Dengan kata lain, pengembangan teknologi informasi perpajakan menjadi keharusan guna mengoptimalkan pelayanan, memperkuat pengawasan, sekaligus meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak secara sistematis.

Terakhir adalah memaksimalkan pemanfaatan data dan informasi perpajakan dari pihak ketiga, seperti bank atau lembaga keuangan. Implementasi Automatic Exchange of Information (AEoI) dan Undang-Undang tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan memerlukan koordinasi lintas kelembagaan agar efektif dalam meningkatkan basis pajak. DJP juga perlu dukungan otoritas lain yang berwenang untuk membatasi transaksi tunai untuk bisa menyukseskan misi-misinya.

Intinya, jangan sampai seperti ayam dan telur yang selalu mencari asal usul.

Tahun ini pemerintah dan otoritas pajak tidak bisa berdalih shortfall karena target ekonomi dan penerimaan pajak yang ketinggian. Pun banyaknya insentif perpajakan seharusnya tidak menjadi alasan jika dilakukan tepat sasaran.

Semoga, meskipun di tengah situasi ketidakpastian, pemerintah sukses mengamankan penerimaan pajak tahun ini.

Share.

Comments are closed.