Jakarta, Teritorial.com – Muhammad bin Salman (MBS) dalam seminggu ini melakukan lawatan luar negeri yang bersejarah. Setelah kunjungan ke Mesir, ia akan melanjutkan lawatan ke Inggris dan Amerika Serikat. Lawatan tersebut ditengarai sebagai upaya meneguhkan kepemimpinan MBS di Arab Saudi.
Di Mesir, MBS disambut sangat meriah oleh Presiden Abdul Fattah el Sisi dalam misi investasi besar dan bantuan proyek pembangunan, termasuk juga bantuan untuk Al-Azhar. Di Inggris dan Amerika Serikat (AS) secara khusus ia akan menjajal saham ARAMCO, yang dianggap sebagai saham paling menjanjikan dalam sejarah. Inggris dan AS sangat tertarik untuk ambil bagian dalam saham ARAMCO.
Meskipun demikian, kunjungan MBS ke Inggris dan AS ditengarai tidak akan berjalan mulus. Pasalnya para aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) akan melakukan demonstrasi untuk menekan Arab Saudi yang masih dianggap banyak melakukan pelanggaran HAM. Cilakanya, pelanggaran yang dilakukan Arab Saudi tidak hanya terkait dengan warganya, tetapi juga terkait dengan perseteruan geopolitik di kawasan Teluk dan Timur-Tengah secara umum.
Memang, negara-negara Barat juga terlihat melakukan standar ganda dalam konteks pelanggaran HAM yang dilakukan kerajaan Arab Saudi. Negara-negara Barat cenderung menganakemaskan Arab Saudi, karena dianggap tidak memberikan sanksi yang setimpal perihal pelanggaran HAM yang dilakukan Arab Saudi. Bahkan, sampai detik ini Arab Saudi termasuk salah satu negara yang belum meratifikasi HAM.
Simon Tisdall di Harian Guardian mengkritik pemerintah Inggris yang dalam sejarah cenderung “menjilat” kepada Arab Saudi. Misalnya kasus yang menimpa Raif Badawi, seorang blogger yang dipenjara selama 10 tahun karena memperjuangkan HAM, sekularisme, dan demokrasi di negaranya. Tidak hanya itu, Badawi dicambuk sebanyak 50 kali di muka umum pada 2015 di Jeddah. Ia hampir meninggal dunia akibat perlakukan rezim Arab Saudi yang menutup rapat-rapat pintu kritik. Tisdall mendesak pemerintah Inggris agar tidak “menjilat” pada Arab Saudi.
Kasus yang menimpa Badawi mendapatkan perhatian para aktivis HAM. Kunjungan MBS ke Inggris akan menjadi kesempatan bagi para aktivis HAM untuk melayangkan protes kepada MBS dan pemerintah Inggris. Ada dua isu menonjol yang mendapat perhatian para aktivis HAM. Pertama, MBS harus memberikan ruang kebebasan berpendapat bagi warga Arab Saudi, memperlakukan para tahanan politik secara manusiawi, dan membebaskan seluruh tahanan politik.
Ada ribuan warga, termasuk para ulama yang kontra-rezim yang sampai detik ini masih mendekam di penjara. Inggris diharapkan dapat menekan MBS agar menghormati HAM. Di samping itu, masih banyak para aktivis, pemikir, dan guru besar yang memilih untuk eksodus dari negaranya karena khawatir dipersekusi dan didiskriminasi oleh MBS jika kembali ke Arab Saudi.
Kedua, MBS harus menghentikan serangan di Yaman, karena sudah terbukti menjadikan Yaman porak-poranda. Intervensi Arab Saudi di Yaman telah menjadikan masa depan negara yang sedang berkonflik tersebut semakin tidak menentu.
Ironisnya, senjata yang digunakan oleh Arab Saudi di Yaman di antaranya dibeli dari Inggris. Konon, total belanja senjata Arab Saudi dari Inggris sejak 2015 mencapai 4,6 miliar poundsterling. Jadi, kalau mau jujur, Inggris sebenarnya mempunyai peran besar dalam jatuhnya korban dan penderitaan yang masif di Yaman, karena senjata-senjata mematikan yang dipakai oleh tentara koalisi Arab Saudi berasal dari Inggris.
Hubungan antara Arab Saudi dan Inggris mempunyai sejarah yang panjang. Bahkan berdirinya Kerajaan Arab Saudi merupakan “hadiah” dari Inggris dengan kompensasi mematuhi kepentingan Inggris di kawasan. Sebaliknya, Arab Saudi akan mendapatkan kemudahan dalam hal persenjataan dari Inggris.
Ketiga, beberapa bulan lalu ada monitoring yang menegaskan bahwa Arab Saudi berperan dalam maraknya ekstremisme di Inggris. Kelompok-kelompok ekstremis diduga kuat mendapatkan bantuan dari Arab Saudi. Wahabisme memang terlihat agresif di Inggris, bahkan di antara mereka ditengarai terlibat dalam aksi terorisme.
Maka dari itu, kunjungan MBS ke Inggris mendapatkan perhatian luas dari para penggiat HAM. Perdana Menteri Inggris tidak boleh menutup mata terhadap catatan buruk Arab Saudi dalam konteks pelanggaran HAM, baik di Arab Saudi sendiri maupun di negara-negara Teluk dan Inggris sendiri.
Meskipun kita juga tidak bisa menutup mata manuver yang dilakukan MBS untuk meneguhkan moderasi Islam di Arab Saudi. Beberapa kebijakan yang memberikan ruang kepada perempuan, baik untuk mengemudi mobil maupun menduduki posisi penting di kabinet, bahkan yang paling mutakhir perempuan boleh menjadi tentara. Konser-konser musik mulai bisa dinikmati, meskipun para penontonnya dilarang bergoyang, karena bergoyang masih dianggap haram.
Warga Arab Saudi, khususnya kaum milenial masih melihat MBS sebagai sosok yang memberikan harapan bagi masa depan mereka. Di kalangan milenial, beberapa kebijakan MBS mendapat dukungan yang sangat signifikan.
Itulah dua wajah Arab Saudi yang di permukaan seolah-olah memberikan harapan dengan terobosan MBS yang terbilang spektakuler. Namun agenda terbesar adalah ruang kebebasan berpendapat yang masih menjadi pekerjaan rumah serius. MBS ditengarai tidak akan mengambil langkah besar untuk memberikan ruang kritik dan kebebasan berpendapat. Pasalnya semua media Arab Saudi selama ini masih dikontrol oleh kerajaan. Pihak-pihak yang melakukan kritik terhadap kerajaan akan mendapatkan perlakuan diskriminatif.
Begitu halnya intervensi Arab Saudi di Yaman dan Bahrain masih menjadi masalah serius, karena belum ada titik-temu untuk memilih meja perundingan sebagai solusi bagi Yaman. Langkah Arab Saudi yang kerap menggunakan senjata mematikan akan menjadikan Yaman semakin tidak menentu.
Maka dari itu, perlu kebesaran dari MBS untuk mengambil langkah-langkah revolusioner untuk menjadikan Arab Saudi lebih menghormati HAM dan menciptakan perdamaian di kawasan. Jika tidak, maka langkah yang diambil MBS pada hakikatnya hanya untuk melanggengkan jalannya untuk menjadi orang nomor wahid di Arab Saudi. Tak lebih dan tak kurang dari itu.
Zuhairi Misrawi intelektual muda Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta