Jakarta, Teritorial.Com – Fenomena “Geopolitics of Energy” menurut Dr. Frank Umbach seorang pakar di NATO School mengatakan: “the united states is isolated from the world’s oil trade choke points because of its lengthy shipping lanes and diverse array of suppliers China and Japan, however don’t have the same luxury. Any disruption to trade in the Strait of Hormuz of the waterways near the Indonesian Archipelago would cut swiftly and deeply into those countries’ energy supplies”.
Mencermati proyek ambisius China’s polar silkroad six economic corridors Belt and Road initiative, khusus pada koridor-4. Terutama China – Indo China Peninsula Corridor (CICPEC) yang menyentuh Indonesia tidak dapat dilepaskan dari masalah energy security. Dalam konteks Laut China Selatan (LCS) Amerika Serikat (AS) mengestimasikan bahwa wilayah perairan itu memiliki cadangan minyak sebesar 11 billion barrel, sementara China sendiri memiliki estimasi sebesar 125 billion barrel. Untuk cadangan gas estimasi AS adalah 190 trillion cubic dan estimasi China 500 trillion cubic.
Tidak mengherankan bila ketegangan di LCS yang melibatkan banyak negara di kawasan regional, bahkan dari luar kawasan terus meningkat karena faktor cadangan energi yang sangat besar ini.
Sama halnya dengan konflik di Timur Tengah (middle east) dan Teluk Persia (Persian Gulf). Sepintas bila kita mengamati – geopolitik energi telah mengakibatkan berbagai dimensi konflik seperti Syrian Conflict, Kurdish – Turkey Pipe Line dan yang paling menonjol adalah Rivalitas Energi antara Iran dan Saudi Arabia khususnya pada peristiwa serangan baru-baru ini, “Recent Major Attacks on its oil infra structure” Abqaiq dan Khurais.
Demikian pula dengan kebutuhan energi Cina yang begitu besar dalam satu dekade belakangan ini yang secara langsung maupun tidak langsung telah memberikan dampak terhadap masalah keamanan di kawasan Timur Tengah. China’s Rising Energy – Security interlinkages with Greater Middle East. Terkait dengan itu, Turki dan Rusia telah memperbaiki hubungan bilateral kedua negara khususnya dalam urusan energi. Sebaliknya Rivalitas Uni Eropa dan Rusia terus meningkat di East Mediterranean Region yang kaya minyak.
Dewasa ini, determinant factor of global energy dapat dikelompokkan pada 4 pemain utama, yakni AS yang sedang menikmati kelimpahan berkat shale oil and gas revolutions – sementara China mendominasi rare earth elements of technology yang mensuplai 85% kebutuhan global battery production Raw Material Technology dunia yang mana peluang bahan baku dapat diambil dari Indonesia, seperti Nikkel – Mangan untuk lithium production yang dibuat oleh China. Berikutnya adalah kemampuan produksi Saudi Arabia dan ambisi Iran di bidang minyak dan gas.
Peran keempat negara ini sangat berpengaruh kepada global supply energy fossil, bahkan besar kemungkinan Global Power Struggle between the US and China akan memberikan dampak Geo-Economic dan Geo-Political kepada ASEAN termasuk Indonesia.
Energi Untuk Kebutuhan Militer
Tidak dapat dihindari bahwa kebutuhan bahan bakar minyak (Fuel) merupakan keperluan mutlak untuk latihan – manuver – memelihara kemampuan militer dan alutsista untuk mendukung operasi militer dan tactical power system. Belum lagi untuk mendukung berbagai instalasi operasional militer. Kebutuhan pasokan energi untuk militer dengan jumlah dan waktu yang tepat merupakan “A necessary component of national security”. Alutsista (alat utama sistem senjata) yang modern tentu saja memerlukan energi fosil yang intensif. Oleh karena itu, hal ini menjadi tantangan utama negara untuk mencari solusi energi antara limitasi supply energi dengan pemenuhan kebutuhan “national security forces”.
Operational Energy untuk kebutuhan bahan bakar minyak (oil) diperuntukkan untuk ships – air craft – combat vehicles dan tactical power generator. Hal inilah yang menjadi prioritas untuk penggunaan bahan bakar. Sedangkan untuk keperluan instalasi sudah saatnya melakukan penggantian dengan renewable energy. Operational Energy Strategy ditujukan untuk meningkatkan future war fighting capability – identify and reduce logistics and operational risks also enhance mission effectiveness of the current force capabilities.
Dengan demikian suatu negara perlu mempersiapkan kebijakan to improve the energy efficiency and effectiveness of military forces capabilities.
Energy Efficiency
Perlu dipahami bahwa dalam geopolitik energi – energi adalah komoditas strategis dan bagi militer energi adalah mutlak untuk suatu operasi militer. Oleh karena itu sangat diperlukan konsultasi kebijakan politik untuk menentukan “offers continuum” bagi perencanaan dan kegiatan militer. Ada keperluan mendesak untuk memanfaatkan kepedulian dan melakukan efisiensi penggunaan energi bagi militer dan juga ikut berkontribusi dalam “critical energy infra structure protection”.
Untuk menunjang efisiensi meningkatkan kepedulian terhadap energy security diharapkan pengambil kebijakan militer mengaktifkan analisa strategis dan konsultasi dengan sektor lain untuk memulai mengelola science cooperation keperluan energi untuk infra struktur militer non alutsista dengan mengembangkan hybrid energy bersama private sectors dan International Organizations.
Smart Energy Defence Capability
Dengan kondisi Energi Global dari fosil cenderung menurun, maka perlu pemikiran ke depan dari negara untuk merumuskan strategi – kebijakan mengurangi fossil fuel consumption for Army – Navy and Force in camps/installations dengan melakukan perencanaan kerja sama daya energi bersama private sectors untuk suatu project energy membangun smart energy capabilities (hybrid energy) untuk memenuhi kebutuhan instalasi militer.
Tantangan suatu negara kelak di tengah krisis energi (oil) adalah tetap harus memenuhi fuel demand of force operations namun harus mereduksi inefficient power consumption and distribution installations (camps) and inefficient equipment and infra structure, kalau tidak maka dangerous expensive supply chains will occurred. Have gotta have culture changed
Penulis: Letnan Jenderal (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin
*Tulisan ini telah terbit di Nusantaranews.id, edisi 30 Oktober 2019, dengan judul “Tantangan Militer Menghadapi Energy Security”