Indonesia dan “Cyber Radicalization” (Bagian 1)

0

Awalnya internet diciptakan untuk memudahkan komunikasi antar kalangan akademik dan militer yang terhubung dalam jaringan The Advanced Research Projects Agency Network (ARPANET) pada tahun 1969 (Golose, 2008). Seiring dengan perkembangan Teknologi, Informasi dan Komunikasi (TIK), internet dapat digunakan secara bebas sebagai layanan publik untuk berkomunikasi. Namun, hal tersebut juga mengalami pergeseran fungsi, internet juga digunakan sebagai media dalam melakukan tindak kriminal, salah satunya adalah aksi terorisme. Aksi teror yang dilaksanakan dengan instrumen internet disepakati sebagai tindakan cyber terrorism. Cyber terrorism merupakan ancaman bagi pertahanan dan keamanan negara karena mampu melakukan perusakan (destruction), pengubahan (alteration), dan akuisisi dan retransmisi (acquisition dan retransmission) pada objek nyata maupun jaringan cyber (Denning, 2009).

Menurut Dorothy E. Denning, frasa cyber terrorism pertama kali tercipta pada tahun 1982 oleh Barry Collin yang menekankan definisinya pada situasi ketika bertemunya physic world (dunia fisik) dan cyberspace (dunia maya), maka saat kejahatan atau tindak teror terjadi pada situasi tersebut dikatakan sebagai cyber terrorism. Collin menegaskan bahwa pada cyber warfare (peperangan siber) masa depan akan melibatkan teroris yang menggunakan cyberspace untuk melakukan penyerangan terhadap infrastruktur penting. Dengan pesatnya perkembangan teknologi saat ini, sangat memungkinkan untuk terjadinya serangan hanya melalui sekali tekan tombol di komputer untuk merusak dan meledakkan infrastruktur yang memakan korban jiwa, kerugian materil dan dampak disruptive pada stabilitas negara (Wilson, 2009).

Terkait dengan proses berdiri dan berjalannya suatu organisasi terorisme, cenderung tidak bisa dilepaskan dari perkembangan teknologi khususnya internet. Telah banyak terjadi kejahatan terorisme didalam cyberspace, titik awalnya pada tahun 1998 dimana setengah dari tiga puluh organisasi teroris yang ditetapkan oleh U.S Antiterrorism and Effective Death Penalty Act of 1996 menggunakan situs internet untuk melakukan tindak terorisme (Golose, 2015).

Pemanfaatan cyberspace dalam melakukan aksi teror merupakan ancaman yang nyata dan baru bagi beberapa negara (Lewis, 2002). Skenario terburuk dari hal tersebut adalah ketika suatu negara tidak hanya akan mengambil langkah yang sudah dikuasai mayoritas negara, yaitu pendekatan tradisional; militer menghadapi militer atau negara menghadapi negara. Namun musuh akan memiliki pola baru yang belum pernah terjadi sebelumnya, yaitu pemanfaatan non-state actor yang memicu peperangan asimetris, salah satunya adalah memanfaatkan kelompok teroris Teroris yang melakukan aksi di cyberspace dan mendapatkan dukungan dari suatu negara akan menjadi ancaman global. Negara yang diuntungkan dalam konteks ini adalah negara-negara yang memilki kemampuan teknologi yang unggul (didominasi negara-negara maju) dan mau secara serius memanfaatkan potensi yang terdapat di cyberspace sebagai elemen pertahanan dan keamanan negara (Lubis, 2017).

Menariknya, selain melakukan aksi-aksi teror, jaringan teroris memanfaatkan cyberspace sebagai media dalam menyebarkan paham-paham radikal atau yang disebut dengan radikalisasi.Terlepas dari banyaknya hal positif dari Internet, namun internet dengan segala fitur dan kebebebasan aksesnya (khususnya di negara demokrasi) menyediakan peluang untuk terjadi atau setidaknya mendukung radikalisasi secara efektif dan efisien. Adapun peluang tersebut mengacu pada penelitian Von Bher, Anais Reding, dan Edward Gribbon mengenai “radikalisasi di era digital” yang dielaborasi dengan analisa penulis, sebagai berikut (Kilcullen, 2006):

  1. Internet yang menghubungkan masyarakat tanpa mengenal batas teritorial negara membuka peluang untuk menyebarkan dan menanamkan ideologi dan pemahaman radikal pada seluruh pengguna internet di dunia.
  2. Internet sebagai “echo-chamber”, dimana internet menyediakan akses dengan mudah untuk memeperoleh beragam informasi, termasuk informasi mengenai terorisme. Informasi yang diperoleh tersebut akan terus berkembang dan menyebar ke media lainnya.
  3. Internet menjadi akselerator radikalisasi. Pengguna internet yang memiliki pemahaman yang mengarahkan ke ideologi radikal dan ekstrem cenderung mendapat keteguhan hati untuk bergabung dengan jaringan teroris setelah mendapat materi-materi radikal di internet.
  4. Internet memberikan jaminan keamanan yang lebih tinggi ketimbang radikalisasi di dunia nyata. Mengingat pengajaran ideologi radikal dapat dilakukan tanpa harus melakukan pertemuan langung. Hal ini akan memberi jaminan kerahasiaan pada identitas dan lokasi.

Dengan segala bentuk keuntungan yang disediakan internet dalam konteks radikalisasi di cyberspace, maka penanganan yang dilakukan pemerintah juga perlu berada ditataran cyberspace. Menariknya, bagi negara-negara demokrasi yang memilki tuntutuan untuk menjamin kebebasan berekspresi dan berserikat mengalami dilema ketika mengimplementasikan program counter-cyber radicalization atau upaya melawan radikalisasi di cyberspace. Negara tersebut tidak bisa secara brutal melakukan pemblokiran pada situs web dan media sosial mengingat akan melanggar beberapa hak warga negaranya. Selain itu, penilaian “teroris” dan “radikal” merupakan subjektivitas dari penilainya. Sehingga diperlukan proses penyaringan situs web dan akun media sosial secara sangat selektif. Pemerintah memerlukan cara kreatif untuk melakukan counter-cyber radicalization tanpa melanggar hak-hak warga negaranya.

Rizky Reza Lubis – Analis Siber dan Media Kementerian Pertahanan RI,  Pemerhati Diplomasi Pertahanan dan Keamanan Maritim Indonesia

Referensi:

  • Golose, Petrus R., 2008, Seputar Kejahatan Hacking: Teori dan Studi Kasus, Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Kepolisian Indonesia.
  •  Denning, Dorothy E., 2009, Terror’s Web: How the Internet Is Transforming Terrorism, Handbook on Internet Crime, New York: Willan Publishing.
  • Wilson, Clay, 2003 Computer Attack and Cyber Terrorism: Vulnerabilities and Policy Issues for CongressFocus on Terrorism, Vol. 9. No. 4.
  • Golose, Petrus R., 2015, Invasi terorisme ke cyberspace, Jakarta: YPKIK/Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian.
  • Lubis, Rizky Reza, 2017, Potensi Pengguna Internet Indonesia dalam Counter-Cyber Radicalization, Jurnal Pertahanan dan Bela Negara, Vol. 7 No, 2.
  • Lewis, James A., 2002, Assessing the Risks of Cyber Terrorism, Cyber War and Other Cyber Threats, Washington, DC: Center for Strategic & International Studies.
  • Kilcullen, David J.,  28 September 2006, Three Pillars of Counterinsurgency. Pidato pada the U.S Government Counterinsurgency Conference, Washington D.C.
  •  Bher, Von, et. al., 2013, Radicalization in the Digital Era, Santa Monica: RAND Corporation.
Share.

Comments are closed.