Industri Pertahanan Mengiringi Kebijakan Politik Luar Negeri AS

0

Lawatan Menhan James N.Mattis ke Asia Tenggara minggu terakhir Januari lalu, layak untuk menjadi bahan introspeksi tentang perilaku Amerika Serikat yang sesungguhnya. Yang tersiar ke publik, kunjungan itu terkait dengan konflik di Laut China Selatan (LCS) dan Mattis tengah merajut komitmen kawan-kawan dekatnya. Adakah aspek lain yang menyertainya?

Dengan alasan-alasan yang masuk akal, Washington terus menerus mempertahankan nuansa ketegangan di LCS. Seiring dengan kondisi tersebut, alutsista pun ditawarkan, termasuk kepada Vietnam yang didatangi sesudah mengunjungi Jakarta.

Tampaknya, bukan pula tidak direncanakan jika lawatan Mattis itu bersamaan dengan penyelenggaraan Pameran Dirgantara Singapura, 19-24 Februari 2018. Dalam pameran itu Amerika Serikat menjadi peserta dengan menampilkan berbagai Alutsista terbanyak dibandingkan peserta lainnya. Ikut hadir dalam kesempatan itu para pejabat kementerian pertahanan, perdagangan dan kementerian luar negeri Amerika Serikat.

Peran Industri Pertahanan

Presiden Dwight D.Eisenhower pernah memperingatkan kepada bangsanya tentang bahaya ancaman industri pertahanan, perusahaan produk peralatan militer dan angkatan bersenjata terhadap pemerintahan yang demokratis.

Pidato pada 17 Januari 1961 itu merupakan pesan perpisahan yang diucapkan di Gedung Putih. Peringatan Jenderal Perang Dunia ke II itu kini menjadi kenyataan karena pengaruh kompleks industri pertahanan terhadap politik luar negeri AS makin membesar dari waktu ke waktu.

Eisenhower ketika itu risau dengan biaya pacuan senjata dengan Uni Soviet , karena sumber-sumber pendanaan diambil dari biaya pembangunan rumah sakit dan sekolah.

Peringatan Eisenhower, yang kemudian digantikan John F.Kennedy, tidak dipedulikan. Malahan dibawah pemerintahan Lyndon.B.Johnson, yang menggantikan Kennedy, Amerika Serikat terlibat dalam perang berkepanjangan di Vietnam yang menguras biaya sebanyak US$ 173 miliar atau setara US$ 770 miliar pada tahun 2003 dan sedikitnya 58.220 tentara AS tewas dan 303.644 lainnya luka-luka.

Selesai perang Vietnam, terus berlanjut konflik yang melibatkan AS secara langsung maupun tidak langsung. Keterlibatan itu membentang dari konflik di Ethiophia sampai Irak, Afghanistan, dengan proxy war atau menempatkan pasukan. Biasanya setelah perang usai, tak semua tentara AS pulang.

Dalam beberapa waktu terakhir, Washington dengan berbagai cara mencoba menggulingkan Presiden Suriah Bashar Al Assad dengan mendukung tentara anti pemerintah maupun terlibat langsung. Dikabarkan AS sudah mengirimkan senjata senilai US$ 1 juta miliar dengan menurunkan muatan di Saudi Arabia, Jordan dan Turki.

Memelihara Ketegangan

Washington juga memanfaatkan ketegangan permanen di Semenanjung Korea dan di Selat Taiwan serta kini di LCS. Ia menjadi eksportir Alutsista untuk Taiwan, Korea Selatan dan Jepang.

Yang menarik, Taiwan mengeluarkan pernyataan yang langka. Dikatakan, membeli senjata buatan AS membantu perekonomian Amerika Serikat. Mendorong perekonomian lokal dari beberapa negara bagian, dimana produsen-produsen senjata seperti Raytheon, Lockheed Martin dan Boeing bermukim.

Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe pernah menyatakan negaranya perlu mengimpor senjata lebih banyak dalam upaya membantu menambah lapangan kerja di Amerika Serikat.

Tokyo membeli misil jelajah Tomahawk dari Raytheon dalam jumlah yang tidak dimumkan. Namun diketahui harganya lebih dari US$1 juta per unit. Lockheed Martin memperoleh rezeki dari peningkatan jumlah sistem missil Terminal High-Altitude Area Defense (THAAD), oleh Pentagon di Korea Selatan.

Pada akhirnya, negara-negara ASEAN kiranya sudah amat bijaksana dalam menanggapi perkembangan terorisme dan ketegangan di LCS. Indonesia dinilai paling beruntung sebab memiliki ruang manuver yang lebih luas berkat politik luar negeri yang bebas aktif. Itulah hebatnya pemikiran dan pandangan ke depan para pendiri NKRI.

SAF Pengamat Politik Internasional

Share.

Comments are closed.