Jakarta, Teritorial.Com – Puluhan ribu jam kerja dihabiskan dan belasan triliun rupiah, yang berasal dari pemerintah maupun non pemerintah, dibelanjakan. Semuanya ditujukan untuk mensukseskan penyelenggaraan Pilkada serentak 2018 di 171 daerah di seluruh Indonesia pada Rabu, 27 Juli 2018.
Hajatan politik di atas merupakan realisasi dari pelaksanaan sistem politik yang demokratis. Dalam mana rakyat memilih calon bupati/walikota/gubernur dan para wakilnya, setelah sebelumnya sekalian pasangan itu ditetapkan partai-partai pengusung.
Sistem politik yang demokratis sebenarnya sasaran antara sebab tujuan akhir adalah kondisi bangsa Indonesia yang sejahtera lahir batin, gemah ripah loh jinawi. Tambahan lagi, sistem politik yang demokratis hanya merupakan salah satu instrumen untuk mencapai tujuan akhir tersebut. Ia perlu dilengkapi sistem hukum, ekonomi dan lainnya.
Tidak Seimbang
Indonesia mengalami ketidakseimbangan sistem. Sistem politik lebih maju bahkan disebut kebablasan. Sistem hukum tengah disempurnakan, tetapi sistem ekonominya bersifat liberal karena mayoritas peran pemerintah diambil pasar (swasta nasional atau asing) yang punya agenda sendiri.
Harus diakui bahwa kendali pemerintah dewasa ini terhadap perilaku swasta nasional dan asing itu melemah karena kebijaksanaan yang tak sesuai dengan UUD’45 ditambah penyimpangan yang dilakukan para oknum yang hobinya memperkaya diri.
Perkembangan yang berbeda terjadi di Singapura. Pemerintah mendorong negara lain agar membuka peluang investasi seluas-luasnya, termasuk pada sektor perbankan dan telekomunikasi, tetapi mereka memberlakukan ketentuan yang ketat dan selektif terhadap investor asing di negaranya. Terhadap rakyat, pemerintah pemerintah memberlakukan kebijaksanaan yang berbau sosialisme.
Apa manfaat dari Pilkada serentak ?
Selain terkait penyaluran aspirasi politik dan penghematan biaya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, penyelenggaraan Pilkada serentak akan menjadi mesin perekonomian Indonesia. Beberapa provinsi yang menyelenggarakan pilkada merupakan wilayah mesin pendorong perekonomian nasional. Misalnya, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Bali.
Dalam seminar nasional Political Economy Outlook 2018: Masa Depan Consumer Banking di Era Disruption di Jakarta beberapa waktu lalu, Menkeu menegaskan masyarakat dan kalangan pengusaha hendaknya tetap optimistis menatap tahun politik pada 2018 dan 2019. Dengan demikian, diharapkan akan memberikan dampak positif terhadap perekonomian nasional.
Sementara dosen FE-UI Faisal Basri menambahkan, Pilkada serentak bisa menjadi pendorong perekonomian, tapi menurut dia, pemerintah harus menggenjot industri manufaktur yang setiap tahun sering mengalami perlambatan dibandingkan dengan industri lainnya.
Misalnya industri jasa pertumbuhannya mencapai 8% atau lebih tinggi dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB). ”Ada empat sektor yang bagus, makanan dan minuman, herbal, optik dan komputer, perlengkapan kelistrikan, dan terakhir transportasi, ini yang harus didorong kreditnya.
Roda perekonomian nasional sangat mungkin bergerak pada tahun ini. Komisi Pemilihan Umum (KPU) menggelontorkan lebih dari Rp 11,9 triliun, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di atas Rp 2,9 triliun dan pengamanan TNI-Polri dapat melampaui Rp 339,6 miliar. Ditambah lagi dengan pengeluaran, partai-partai, para calon dan donatur yang nampak murah hati.
Beban Berat dan Kualitas Calon
Kemauan para calon untuk menjadi bupati, walikota, gubernur atau wakilnya pantas dipuji. Bukankah jika mereka terpilih maka kehidupan pribadinya dirampas untuk kegiatan dinas? Dia menghadapi banyak masalah. Bicara harus tertata. Tingkah laku disorot sepanjang waktu. Bukan tak mungkin bila dikelilingi kaum munafik.
Kelak bila terpilih para kepala daerah (kabupaten/kota/provinsi) menghadapi masalah kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah, pengangguran, kekacauan dalam penggunaan Dana Desa, infrastruktur yang tidak memadai dan kemerosotan kualitas lingkungan serta kerukunan beragama. Di samping meluasnya penggunaan narkotika, kemerosotan moral dan kejahatan di kalangan remaja akibat sempitnya lapangan kerja.
Sejauh ini pesan kampanye para calon lumayan menyejukkan. Mereka berjanji akan mengatasi berbagai permasalahan di atas. Tak sungkan pula, dengan senyum ramah, berkata akan mendahulukan kepentingan hak-hak rakyat.
Hambatan Dari Mana-Mana
Sesungguhnya tidak mudah untuk mewujudkan janji-janji serupa itu sebab banyak faktor penghalang. Para donatur dan simpatisan pada waktunya akan menuntut. Konon anggota Dewan kerap menghendaki pembangunan diprioritaskan pada daerah konstituennya. Perbedaan partai kerapkali juga menyulitkan koordinasi diantara bupati/walikota atau antara gubernur dengan bupati/walikota.
Hambatan kelancaran pembangunan bisa pula berasal para pejabat. Menurut Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo pada Oktober tahun lalu, sudah 77 kepala daerah terkena Operasi Tangkap Tangan KPK dan 300 lebih terkena masalah.
Data paling mutakhir mengungkapkan pada 2018 ini sepuluh kepala daerah terkena status korupsi di KPK, beberapa diantaranya terjaring OTT KPK, terakhir Bupati Bandung Barat Abu Bakar. Sejumlah pejabat yang terkena masalah masih mencalonkan diri dalam Pilkada serentak kali ini.
Ujung Tombak
Para calon yang terpilih dalam Pilkada sesungguhnya merupakan ujung tombak kemajuan bangsa.Merekalah yang bersama-sama menyusun gambar Indonesia yang indah, bangsa Indonesia yang gemah ripah loh jinawi.
Negara-negara maju sesungguhnya terwujud karena pembangunan daerahnya berhasil. Para kepala daerahnya bersungguh-sungguh mensejahterakan rakyat. Kumpulan provinsi, negara bagian atau prefektur yang ‘sehat’ membuat China, Jerman atau Jepang maju.
Yang menarik, salah satu pendorong kemajuan itu adalah persaingan antara satu daerah dengan daerah lain. Jerman maju karena persaingan, karakter dan mampu memanfaatkan potensi daerah.
Sejumlah bupati dan walikota di Indonesia telah berhasil memajukan daerahnya. Indeks pembangunan manusianya meningkat jika diukur dari harapan hidup, tingkat pendidikan dan penghasilan. Mereka inilah yang seharusnya menjadi contoh, kendati hambatannya tidak ringan.
Penulis: Sjarifuddin Hamid Pemimpin Redaksi Teritorial.Com