Jalan Terjal Trump dan Netanyahu Menuju Yerusalem

0

Dalam teori politik praktis, kata-kata itu sangat murah (words are cheap) tetapi perbuatan membutuhkan ongkos yang cukup tinggi (actions can be very costly). Tidak bisa disangkal bahwa ada gap yang cukup jauh antara declaration dan action, antara pernyataan politik dan aksi. Dalam aspek apapun, tidak mudah untuk ide-ide dan janji kampanye dikonversi menjadi aksi, terutama ketika janji tersebut berkaitan dengan banyak pihak. Tulisan ini mencoba menjawab, apakah dengan mudah janji-janji politik dan statemen Donal Trump tentang pemindahan Ibu Kota Israel ke Jerussalem terwujud?

 Kemesraan Trump dan Netanyahu

Sudah menjadi rahasia umum bahwa pandangan politik Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu lebih cenderung sejalan dengan Trump, Presiden Amerika Serikat yang berasal dari Partai Republik, dibanding dengan beberapa presiden Amerika dari partai Demokrat seperti Obama. Keduanya nampak semakin mesra saat ini.  Netanyahu dalam diskurusus Yahudi termasuk kelompok Eretz Yisrael Hashlema, yaitu kelompok kanan yang memiliki pandangan bahwa seluruh wilayah Yerusalem merupakan kepemilikan bangsa Yahudi sepenuhnya. Dengan demikian, langkah-langkah Netanyahu sebenarnya sudah terdesain dari awal bagaimana menganeksasi seluruh wilayah Yerusalem secara perlahan. Salah satunya adalah dengan terus membangun pemukimam baru di wilayah tersebut untuk terus mengikis wilayah Palestina.

Sementara Trump merupakan politisi yang didukung oleh kelompok sayap kanan right wing di Amerika yang cenderung mengikuti pandangan politik konservatif. Pada saat kampanye, Donald Trump menguasai sepenuhnya gerakan politik konservatif Amerika dan mendorongnya ke arah kemenangan, dimana salah satu daya tariknya bagi mereka adalah sikapnya yang tegas terhadap konflik Israel-Palestina. Dalam kampanyenya, Trump menyatakan bahwa dirinya merupakan teman Israel. Cara inilah yang digunakan oleh Trump untuk memperkuat lobinya terhadap kelompok Yahudi di Amerika, dan terbukti, secara mengejutkan mampu mendongkrak suaranya dalam pemilihan presiden. Inilah yang kemudian dianggap sebagai janji kampanye Trump yang berusaha untuk dipenuhi saat ini.

Oleh karena itu, bagi Netanyahu, iklim politik Amerika saat ini dianggap tepat untuk menciptakan momen mengasyikkan bagi bangsa Israel. Kalau melihat ke belakang, setidaknya ada dua momentum besar dalam sejarah konflik Israel-Palestina di tahun 2017 ini. Pertama, tahun 2017 ini ditandai dengan 100 tahun deklarasi Balfour, yang menjadi cikal-bakal berdirinya Negara Israel dan 50 tahun setelah berhasilnya aneksasi sebagian besar wilayah Palestina oleh Israel. Deklarasi Balfour pada November 1917 M. merupakan pernyataan yang dikeluarkan oleh pemerintah Inggris pada saat berlangsungnya Perang Dunia I yang memberikan dukungan didirikannya negara untuk “tanah air” bagi orang Yahudi di Palestina. Saat itu, wilayah Palestina masih merupakan bagian dari wilayah Turki Utsmani dengan populasi minoritas Yahudi.

Tahun 1967, terjadi peristiwa Six Day War (Perang Enam Hari) antara Israel dan koalisi Palestina dan Negara Arab seperti Mesir, Suriah dan Yordania. Pasca perang ini, Israel kemudian menduduki (occupation) Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Dataran Tiggi Golan. Perang ini cukup melelahkan bagi kedua pihak, namun endingnya sangat menguntungkan pihak Israel yang semakin memperkuat okupasi di wilayah Palestina. Dalam pandangan Israel, tidak dikenal istilah occupation atau pendudukan. Warga Israel tidak mengenal diskursus ini karena secara teologis mereka menganggap wilayah yang dikuasai saat ini merupakan haknya sejak awal.

Kedua peristiwa tersebut sangat bersejarah bagi Israel sekaligus memilukan bagi pihak Palestina. Saat ini, nampaknya ada upaya yang cukup kuat untuk menciptakan sebuah momentum serupa dalam sejarah konflik Israel Palestina. Langkah politik untuk memindahkan Ibu Kota Israel ke Yerusalem melalui lisan Donald Trump tidak bisa dipungkiri akan menjadi pencapaian laur bisa bagi Zionis Israel, apalagi telah menjadi janji politik Trump yang harus direalisasikan. Lantas apakah dengan mudah keputusan tersebut bisa direalisasikan?

Level Institusi dan Grassroots

Membaca masa depan konflik Israel-Palestina dalam konteks pernyataan Trump tentang pemindahan Ibu Kota Israel ke Yerusalem tidak bisa berhenti hanya pada pelaku utama atau kedua belah pihak yang berkonflik, tetapi harus melihat aktor-aktor lain yang terkait dan berpengaruh terhadap konflik tersebut. Pihak-pihak yang terkait dengan masa depan dan resolusi konflik Israel-Palestina dapat dipetakan menjadi dua kategori yaitu level institusi dan grassroots.

Pada level institusi, pengakuan Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel tidak bisa dilaksanakan begitu saja karena harus melalui prosedur hokum internasional yang diproses dalam mekanisme pengambilan keputusan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Prosuder pengambilan keputusan di PBB untuk mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel tentunya melibatkan banyak negara. Ketika pengambilan keputusan tersebut dilaksanakan, meskipun Trump mengeluarkan ancaman kepada negara-negara yang menolak kebijakannya, buktinya mayoritas bangsa di dunia menolaknya. Dalam forum Majelis Umum PBB (Kamis, 21/12) 128 negara menolak keputusan Trump, 9 mendukung dan 35 abstain dalam voting.

Masih pada level institusi. Liga Arab, yang beranggotakan negara-negara Arab di Timur Tengah seluruhnya menolak keputusan Trump meskipun banyak mendapatkan bantuan finansial dari Amerika Serikat. Lebih dahsyat lagi, negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam OKI  dalam sidang darurat di Istambul Turki 13 Desember 2017 juga menolak dan mengecam keputusan sepihak Trump soal Yerusalem.

Pada level grassroots, kebijakan pemindahan Ibu Kota Israel ke Yerusalen juga mendapatkan perlawanan people power, baik dalam bentuk demonstrasi turun ke jalan maupun suara netizen di media sosial. Bukan hanya di negara-negara Islam, demonstrasi terus terjadi di berbagai penjuru dunia termasuk di beberapa negara Eropa. Para pemimpin dunia juga tentunya sangat terpengaruh untuk menolak kebijakan tersebut karena begitu kuatnya tekanan publik di negaranya. Derasnya protes arus bawah ini merupakan tembok besar bagi Israel dan Trump untuk merealisasikan pemindahan Ibu Kota Israel ke Yerusalem.

Namun, bukan berarti upaya untuk mencapai tujuan menjadikan Yerusalem sebagai Ibu Kota berhenti begitu saja dengan adanya penolakan dari berbagai pihak. Ini pastinya merupakan jalan terjal bagi Trump dan Netanyahu. Tapi, Israel dengan dukungan Trump bisa saja memakasakan diri dengan mengambil langkah militer untuk menduduki Yerusalem, seperti yang sering dilakukannya sejak berdirinya negara Yahudi tersebut.

Dr. Mulawarman Hannase, MA.Hum 

Dosen Pascasarjana Institute PTIQ Jakarta, Direktur Pusat Studi Arab dan Timur Tengah (PSATT)

Share.

Comments are closed.