Kasus Xinjiang Di Tengah Hubungan AS-Cina

0

Xinjiang, Teritorial.Com – Televisi BBC London setidaknya sejak Oktober 2018 berulangkali menyiarkan hasil investigasi wartawannya tentang kompleks kamp rahasia yang memenjarakan ribuan kaum muslim suku Uyghur di kota Dabancheng, provinsi Xinjiang, China. Laporan itu dilengkapi wawancara dengan sejumlah pihak yang mengaku suami atau anggota keluarganya ditahan ditempat tersebut. Bahkan seorang ibu serta beberapa anaknya yang berhasil melarikan diri ke luar negeri, dengan airmata berlinang turut memberi kesaksian.

Di media sosial, tak lama kemudian muncul foto-foto penyiksaan terhadap anak dan pria muslim suku Uyghur dan anak-anak yang menangisi orang tuanya.  Dolkun Isa, Presiden Kongres Uighur Dunia serta aktivis HAM lainnya, mendesak PBB menekan Cina karena telah melanggar Hak-hak Asasi Manusia termasuk penahanan terhadap sejuta anggota suku Uyghur di provinsi Xinjiang.
Titik Api

Provinsi Xianjiang telah menjadi titik api. Kedubes Cina di Jakarta dalam siaran persnya mengungkapkan, telah berlangsung tindakan kekerasan dan teror sebanyak ribuan kali di Tiongkok, termasuk kerusuhan tanggal 5 Juli 2009 di Urumqi yang mengakibatkan 197 korban jiwa dan lebih dari 1700 orang teluka; serangan teror di stasiun kereta api Kunming pada tanggal 1 Maret 2014 yang mengakibatkan 31 orang tewas dan 141 orang terluka. Serangan kekerasan dan teror di Urumqi pada 22 Mei 2014, di Shanshan pada 26 Juni 2013, di Shache pada 28 Juli 2014, di Baicheng pada 18 September 2015.
Sekalian aksi tersebut disebabkan pengaruh ekstrimisme pihak luar. Barangkali atas dalih menjaga kestabilan, pemerintah Cina berupaya mencegah dan memadamkan ‘api’ di Xinjiang

Beda Uyghur Dengan Hui

Suku Uyghur merupakan salah satu dari sekitar 55 suku minoritas di Cina, sementara lima suku mayoritas adalah Han, Man, Hui, Menggu, Zhang. Suku Han yang paling banyak dengan jumlah sekitar hampir 1,15 milyar orang atau 91% dari seluruh penduduk Cina. Suku inilah yang menjadi pilar republik Cina.
Umat Islam umumnya tinggal di daerah-daerah yang berbatasan dengan Asia Tengah, Tibet dan Mongolia, yaitu Xinjiang, Ningxia, Gansu dan Qinghai yang dikenal sebagai “Sabuk Quran”.

Warga suku Uyghur selain di Xinjiang juga tinggal di Uzbekistan, Kyrgystan, Turki dan Kazakhstan. Mereka juga menetap di Jerman, Belgia, Afghanistan, Norwegia, Belanda, Swedia, Rusia, Saudi Arabia, Amerika Serikat dan Kanada. Di Cina sendiri jumlah sanggota suku Uyghur sekitar 10 juta jiwa lebih.
Suku Uyghur umumnya beragama Islam dan selama ratusan tahun berhasil mempertahankan identitasnya sendiri termasuk dengan memiliki bahasa yang mirip bahasa Turki dan aksara sendiri. Selain Uyghur, anggota suku Hui yang jumlahnya lebih dari 12 juta jiwa juga menganut agama Islam tapi tidak ditekan. Apa penyebabnya?

Anggota suku Hui mayoritas tinggal di daerah otonom Ningxia, namun mereka tak begitu mempedulikan status itu. Kemungkinan karena mereka tersebar di berbagai kota besar di seluruh Cina dan punya hubungan baik dengan pemerintah.Mereka inilah yang memperoleh kelonggaran untuk pergi Haji atau Umroh, belajar di Universitas Al Azhar, Kairo serta leluasa mempraktekan ajaran agama Islam di Cina. Suku Han menganggap suku Hui penganut Islam yang baik. Suku Uyghur yang kebanyakan tinggal di Xinjiang mendapat perlakuan berbeda. Dipaksa untuk menanggalkan atribut keislaman dan bersikap lebih sekuler. Salah satu alasan dari sikap pemerintah pusat tersebut adalah provinsi Xianjiang letaknya berbatasan dengan negara lain, sebagaimana juga Tibet.

Hubungan AS-Cina

Pemberitaan televisi BBC dan Medsos tentang suku Uyghur berlangsung di tengah perang dagang AS-Cina. Washington al. menuntut Beijing agar menaikkan nilai tukar Yuan dan memberi lebih banyak produk Amerika Serikat. AS mengancam akan menaikkan bea masuk sebanyak 25% atas barang-barang yang diimpor dari Cina senilai US$267 miliar, sedangkan sebelumnya US$ 260 miliar dan paling awal US$50 miliar.

Presiden Trump memberi batas waktu pelaksanaan sanksi hingga Februari dengan tambahan pesan agar pemerintah Cina tidak mendorong pencurian properti intelektual dan memaksa perusahaan-perusahaan Amerika Serikat memberi teknologi tinggi jika ingin masuk ke pasar domestik Cina. Salah satu unit dianggap bertanggung jawab melakukan pencurian adalah Unit 61398 milik Tentara Pembebasan Rakyat yang berlokasi di Distrik Pudong, Shanghai.

Kebijaksanaan Donald Trump yang menaikkan tarif bea masuk dinilai memicu konflik AS-Cina dalam bentuk perang dagang. Dalihnya, Amerika Serikat bertujuan menegakkan keadilan setelah sejak lama membiarkan keadaan tidak berimbang dan menguntungkan Cina. Meskipun sejumlah akademisi menyatakan, defisit disebabkan Washington terlalu banyak menghabiskan uang untuk industri militer dan operasional pasukan.

Dunia berharap Cina memenuhi janji pada Februari nanti, sebagaimana isi pertemuan Trump dan Xi Jinping di Argentina November lalu. Pada pengenaan dua sanksi AS sebelumnya, Cina selalu membalas dengan persentase nilai yang sama. Aksi saling balas ini melemahkan kedua negara, juga negara-negara lain yang memiliki hubungan bisnis dan investasi dengan kedua negara. Apakah sikap keras Washington merupakan bentuk melemahkan Cina yang kekuatannya mulai mengkhawatirkan? Apakah eksploitasi berita terhadap perlakuan suku Uyghur juga merupakan bagian pelemahan itu?

Pertanyaan yang terakhir memerlukan renungan sebab dapat membangkitkan semangat persaudaraan muslim di seluruh dunia. Sebagaimana Barat pada akhir dekade 1970-an mengingatkan, ekspansi Uni Soviet (Rusia) ke Afghanistan bisa merambah ke Mekkah, Saudi Arabia. Imbauan yang menyebabkan ummat Islam dari seluruh dunia membanjiri Afghanistan lewat Pakistan.

Penulis: Sjarifuddin Hamid. Pemimpin Redaksi Teritorial.Com

Share.

Comments are closed.