Kepentingan Australia dalam Persengketaan Laut Cina Selatan

0

Terlepas dari persengketaan wilayah teritorial yang melibatkan enam negara di Laut Cina Selatan (Tiongkok, Filipina, Malaysia, Brunei, Vietnam, dan Taiwan), aspek-aspek penting yang terdapat di Laut Cina Selatan serta dampak yang diakibatkan persengketaan tersebut telah mengundang kehadiran pihak-pihak non-claimant states untuk melibatkan diri. Keterlibatan negara-negara tersebut berdasarkan kepentingan nasional masing-masing dan situasi politik kawasan yang telah berubah sehingga memaksa negara-negara tersebut menjadi bagian dari dinamika isu Laut Cina Selatan.

Salah satu negara non-claimant states yang mulai melibatkan diri secara aktif semenjak tindakan asertif Tiongkok di Laut Cina Selatan adalah Australia. Australia memiliki kepentingan yang signifikan di Laut Cina Selatan, baik secara ekonomi (dalam konteks freedom of trade and navigation) maupun secara geopolitik, dimana Amerika Serikat (AS) telah memberikan jaminan sebagai “rules-based order” di Kawasan Asia Pasifik terhadap Australia. Sebagai sekutu dari AS, Asutralia merasa perdamaian yang tercipta di Kawasan Asia Pasifik merupakan hasil dari keterlibatan Barat (khususnya AS) dan sekutunya. Hal ini dinyatakan oleh Professor Jonathan Odom dari Asia-Pacific Center for Security Studies (2017):

“I’d say part of the reason there hasn’t been a conflict in the Asia-Pacific region is because we’ve been able to provide that kind of security insurance, and as a result you see the Asia-Pacific region has flourished economically over the past few decades”.

Pernyataan tersebut dapat dilihat sebagai penjelasan mengenai sikap Australia yang cenderung menjadi “deputy sheriff” di Kawasan Asia Pasifik. Perlu dipahami untuk menjaga perdamaian yang dimaksud tersebut (atau menjalankan tugasnya), Australia telah melaksanakan operasi airborne surveillance sendiri sejak tahun 1980 di Laut Cina Selatan dan Samudera India, yang disebut Operation Gateway. Operasi patroli tersebut terdiri dari pesawat P-3 Orion yang beberapa diantaranya ketika ketegangan di Laut Cina Selatan meningkat telah mendapat peringatan dari Tiongkok.[ii]

Patroli P3-Oreon Australian (ABC News, 2014)

Ketika secara spesifik berbicara mengenai kepentingan Australia di Laut Cina Selatan, hal ini tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Australia di Asia Pasfik dan bagaimana Australia memanajemen hubungannya dengan negara-negara Asia Tenggara. Sedangkan negara-negara Asia Tenggara sendiri mempertimbangkan dengan serius bahwa Australia sebagai elemen keamanan yang krusial dalam konteks sumber daya dan energi (Drysdale, 2017). Berdasarkan peran sebagai “deputy sheriff”  dan tidak berposisikan sebagai negara yang terlibat dalam persengketaan, dapat dipahami bahwa Laut Cina Selatan bukanlah kepentingan yang utama bagi Australia, namun lebih ke arah menunjukkan peran di Kawasan. Ketimbang melakukan keterlibatan pada konflik secara langsung, Australia menggunakan “permainan peran” yang cukup baik pada situasi de-eskalasi di Laut Cina Selatan. Karena, secara keseluruhan objektif yang diinginkan tiap negara adalah stabilitas kawasan dengan tidak adanya penggunaan instrumen militer untuk menghindari situasi ataupun insiden yang tidak diharapkan.

Sedangkan dalam menghadapi rivalitas great powers (AS vs Tiongkok) di Asia Pasifik yang menjadikan Laut Cina Selatan sebagai Pivot Area dalam mengembangkan hegemoni, Australia memainkan perannya terhadap kedua pihak. Terhadap Tiongkok, Austarlia mengekspresikan perhatiannya terhadap Tiongkok yang menggunakan pulau-pulau buatan untuk tujuan militer, sedangkan terhadap AS, Australia berfokus pada pendekatan AS yang terlalu agresif menggunakan kekuatan militer dalam merespon Tiongkok. Secara sederhana terlihat Australia sedang menggunakan strategi hedging dengan AS dan Tiongkok.

Selama meningkatnya ketegangan terkait Laut Cina Selatan, adapun pilihan rasional bagi Australia adalah pendekatan diplomatis (protes diplomatik), hal tersebut dilakukan Australia cukup relevan mengingat Tiongkok  sendiri belum secara jelas memberikan batasan pada navigasi laut dan udara yang melewati fitur-fitur yang diklaim di Laut Cina Selatan dan apabila itu dilakukan Tiongkok, maka dengan pertimbangan hukum “benar atau salah” dari klaim Tiongkok akan lebih relevan apabila menggunakan protes diplomatik ketimbang melibatkan militer di area persengeketaan  dengan situasi hukum yang rumit dan hal tersebut tentu akan mempersulit posisi Australia.

Namun, secara keseluruhan tindakan Australia yang terlihat di Kawasan adalah mengikuti arahan AS untuk menjadi “deputy sheriff” di Asia Pasifik. Hal ini ditunjukkan dengan mempromosikan gagasan perjanjian tingkat strategis dan operasional untuk menciptakan safety zones serta berusaha melakukan pembatasan pada area-area tertenutu di wilayah yang disengketakan. Selama belum memberikan ancaman serius bagi kawasan, Australia tetap akan menggunakan pendekatan diplomatis; khususnya diplomasi pertahanan yang terlihat dari beberapa kali Australia mengikuti latihan dan ptroli bersama (maritim) dengan negara-negara Asia tenggara.

Rizky Reza Lubis – Alumnus Pascasarjana Universitas Pertahanan, Pemerhati Diplomasi Pertahanan dan Keamanan Maritim Indonesia

Referensi:

Share.

Comments are closed.