Jakarta, Teritorial.Com – Masa pandemi COVID-19 secara signifikan berdampak pada beberapa sektor. Khususnya pada persoalan yang sangat sensitif dari manusia, yaitu “urusan perut”. Ini terlihat dari bagaimana masyarakat telah mengalami penurunan pendapatan dalam memenuhi kebutuhan jasmani. Pada akhirnya, ketahanan pangan mulai dipertanyakan.
Urbanisasi masyarakat desa ke perkotaan kini menjadi pertimbangan tersendiri; bagi para tenaga kerja yang baru menyelesaikan pendidikannya di tingkat menengah, maupun perguruan tinggi. Kondisi pandemi seperti saat ini memaksa mereka untuk menemukan ide dan kreativitas dalam menjalani keseharian di desa. Banyaknya masyarakat perkotaan yang sebelumnya memiliki pekerjaan di sektor formal maupun sektor non-formal, kini memilih untuk kembali ke kampung halaman (pedesaan).
Asumsinya adalah di desa masih memiliki banyak kerabat; yang dapat membantu keberlangsungan hidup mereka yang menjadi korban PHK, maupun berhentinya aktivitas ekonomi. Sebagian dari mereka yang merasa memiliki kemampuan untuk bercocok tanam, melakukan upaya pembaruan dalam dunia pertanian. Baik dari segi produksi, maupun distribusi. Fenomena bercocok tanam dengan metode hydroponic kini menjadi alternatif yang dapat dijalani dalam rangka menciptakan ketahanan pangan.
Melakukan penjualan hasil panen melalui media sosial maupun platform e-commerce banyak dilakukan oleh generasi milenial yang terjun di dunia pertanian. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menjaga ketahanan pangan di sektor pertanian. Di pedesaan dengan ketersediaan lahan pertanian, dapat dengan mudah masyarakat melakukan upaya mempertahankan hidup. Dengan menanam padi dan sayur-sayuran, masyarakat pedesaan dapat memenuhi kebutuhan pokok pangan untuk keluarga dan kerabat. Dengan begitu, masyarakat pedesaan yang berprofesi sebagai petani merupakan kekuatan pangan suatu negara. Yang dalam masa pandemi seperti saat ini, secara pemenuhan kebutuhan pangan mandiri belum memiliki dampak atas pembatasan sosial.
Ketahanan Pangan Ketahanan pangan merupakan salah satu persoalan ekonomi kita saat ini, khususnya ketersediaan pangan yang menurun karena keterbatasan produksi maupun distribusi. Kondisi ini dipengaruhi oleh rendahnya aktivitas masyarakat pada sektor ekonomi. Baik pertanian, perikanan, maupun industri. Indonesia memiliki potensi agraris yang cukup besar dengan berbagai sumber daya alam yang melimpah. Namun, nyata bahwa Indonesia masih belum mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri.
Dengan melihat angka impor barang konsumsi mengalami kenaikan tahunan, yang mencapai 10,66 persen/yoy. Pangan merupakan persoalan yang menjadi perhatian para ilmuwan sejak dahulu. Pada tahun 1798, ahli ekonomi klasik Thomas Robert Malthus (1766-1834), mengajukan teori kependudukan. Ia meramalkan bahwa pertumbuhan penduduk berlangsung menurut deret ukur, sedangkan persediaan makanan bertambah seperti deret hitung. (Rusli, 2012).
Artinya, bahwa suatu saat manusia di bumi akan mengalami kekurangan pangan. Terlepas banyaknya pertentangan bahwa teori tersebut tidak relevan dengan adanya perkembangan di bidang teknologi yang dipicu oleh revolusi industri. Namun saat ini, teori tersebut mulai dirasakan kebenaranya.
Pertumbuhan penduduk di Indonesia sangatlah tinggi. Data terakhir hasil sensus penduduk tahun 2010 menunjukkan jumlah penduduk mencapai 237 juta jiwa; yang mereka terdiri dari 49,79 persen tinggal di daerah perkotaan, dan 50,21 persen berada di daerah pedesaan. Dengan laju pertumbuhan mencapai 1,49 persen per tahun, maka diperkirakan saat ini mencapai 273 juta.
Persoalan pangan nasional sangatlah kompleks. Dari proporsi pertumbuhan penduduk yang begitu cepat seiring dengan ketidakcukupan produksi bahan pangan; fluktuasi harga yang tajam, alih fungsi lahan pangan ke peruntukan yang lain, serta aturan dan kelembagaan yang masih tumpang tindih. Terjadinya krisis pangan di Indonesia, lantaran secara politik pembangunan pertanian yang berkelanjutan dan memihak rakyat kecil belum menjadi prioritas. Padahal sektor ini merupakan alternatif terakhir untuk meningkatkan kesejahteraan para petani. Sehingga perlu adanya pembaharuan pada sektor ekologi di pedesaan.
Masa Depan Ekologi di Pedesaan
Ekologi menjadi topik diskursus lingkungan yang terus berkembang seiring perubahan yang terjadi. Munculnya keinginan untuk menyatukannya dalam satu bingkai sosiologi lingkungan (environment sociology), yang memusatkan kajian pada adanya keterkaitan antara lingkungan dan perilaku sosial manusia. Seperti halnya yang dituliskan Mol pada 1995, yang mengaitkan kontribusi sosial lingkungan terkonsentrasi pada pertanyaan; tentang bagaimana praktik-praktik sosial, produksi, dan konsumsi dapat sejalan dan menjamin keberlanjutan. (Kris van Koppen, 2000).
Adaptasi ragam perilaku sosial seperti konflik dan integrasi berkaitan dengan perubahan kondisi lingkungan, serta pergeseran nilai-nilai sosial. Yang mana dapat secara langsung memberikan dampak terhadap keberlangsungan lingkungan, khususnya di pedesaan. Yang dewasa ini, cenderung mendapat perlakuan yang represif dalam pengalihfungsian lahan pertanian. Pengalihfungsian lahan pertanian tersebut, akan memberikan perubahan lingkungan seperti keanekaragaman hayati, kebijakan kehutanan, sumber daya air, dan lain sebagainya. Yang selanjutnya akan mempengaruhi komunitas, terutama kaum miskin pedesaan yang sering termarginalkan.
Ekologi sebagai muara sosiologi lingkungan, akan terus mencari bentuknya untuk kemaslahatan umat manusia, terciptanya keberlangsungan alam agar tetap lestari; dan mampu memberikan kontribusi kesejahteraan ekonomi untuk masing-masing individu dan kontribusi terhadap capaian ekonomi suatu negara. Jika negara tidak menginginkan persoalan besar lantaran krisis pangan datang lebih cepat, maka perlu meningkatkan produktivitas pertanian. Dengan mengupayakan ketersediaan lahan pertanian untuk memproduksi bahan pangan pokok, khususnya beras, yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat..
Penulis: Fatkur Huda
Sumber – https://ibtimes.id/ketahanan-pangan-dan-ekologi-pedesaan/