Menyadari akan tantangan politik luar negeri Indonesia yang kian kompleks dengan adanya Indo-Pasifik sebagai perubahan struktur kawasan, telah menyedot perhatian mantan Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II.
Seoarang politikus sekaligus pakar politik luar negeri yang kini banyak berkecimpung di dunia bisnis mengungkapkan bahwa sebagai arsitektur kawasan Indo-Pasifik tentunya memerlukan dasar fondasi geopolitik yang kuat. Hal tersebut berdampak domino dengan setiap perilaku negara (state Behavior) karena yang harus diperhatikan yakni kemampuan negara dalam mengidentifikasi setiap tantangan dan peluang yang pada umumnya berlangsung di kawasan.
Dalam diskusI panel bertajuk “Indo-Pacific as a Regional Architecture” yang diselenggarakan oleh Foreign Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) in Jakarta kamis (7/2/2018), berpesan bahwa perubahan Asia-Pasifik kemudian menjadi Indo-Pasifik tidak cukup hanya sebatas pergantian istilah penamaan saja. Amerika Serikat (AS) sebagai promotornya tentu telah mempertimbangkan hal tersebut dalam berbagai aspek.
Perluasan aktor dengan masuknya India dan penekanan lebih atas eksistensinya di Asia secara luas menggambarkan pentingnya akan perimbangan kekuasaan (Balancing power) dimana AS tidak membiarkan Tiongkok berada pada posisi dominan di Asia. Penilaian terhadap fenomena kebangkitan Tiongkok baginya juga menjadi dasar akan pentingnya berbagai organisasi regional di sepanjang Pasifik Barat termasuk East Asia Summit (EAS) sebagai bagian dari pembangunan stabilitas keamanan kawasan.
“Yang terpenting untuk saat ini adalah kita Indonesia harus mencoba untuk berfikir beyond geography. Karena jika Indo-Pasifik hanya dipahami sebatas konsep geografis, dan mengesampingkan unsur arsitektur kawasan maka disaat itulah kita telah meninggalkan aspek geopolitik sebagia basis utama yang didalamnya tentu menyimpan berbagai unsur kepentingan nasional setiap negara yang berkepentingan”, tegasnya saat sesi diskusi berlangsung.
Sebagai Mantan Menlu, Marty tegas memperingatkan pemerintah Indonesia saat ini untuk segera menentukan posisi guna mengambil kesempatan dalam disukursus Indo-Pasifik sebagai bagian dari prioritas kebijakan luar negeri. “Building Block” yang ditawarkan melalui konsep “Free And Open Indo-Pacific Region” merupakan kesempatan emas bagi Indonesia untuk memainkan peran penting sebagai negara yang juga merupakan buffer zone menandakan titik pertemuan antara samudera Pasifik dan Hindia.
Memanfaatkan Bonus Geografis Indonesia Sebagai Basis Geopolitik
Sebagai archipelagic state, Indonesia harus pandai dalam memanfaatkan bonus geografis sebagai tujuan utama dalam menjembatani kepentingan antara Pasifik dan Hindia. Secara teknis misalnya Indonesia dapat memanfaatkan pelabuhan-pelabuhan Internasional sebagai basis utama kapal-kapal yang menggunakan akses selat Malaka untuk menuju Pasifik atau sebaliknya.
Dalam keterlibatan organisasi regional contohnya, pemerintah harus melihat Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) sebagai “kendaraan” utama yang menghantarkan pada upaya Indonesia dalam meningkatkan kerja sama kawasan yang inklusif sejalan dengan konsep yang disebeutkan sebelumnya yakni “Free & Open Indo-Pacific Region”.
Selain itu peningkatan kerja sama dengan “stake holder” Indo-Pasifik seperti AS, Australia, Jepang bahkan India harus kembali ditingkatkan karena dapat dipastikan Indonesia menempati posisi sentral sebagai negara maritim penghubung kepentingan para stake holders tersebut dalam dinamika politik yang terjadi selanjutnya.
Pada hari Selasa, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi memprakarsai sebuah pertemuan antara negara-negara anggota Asean untuk membahas lebih lanjut usaha tersebut, yang menyoroti kebutuhan untuk merespon perubahan geopolitik dan geo-ekonomi di kawasan.
Adapun East Asia Summit (EAS) yang merupakan forum tahunan yang diselenggarakan oleh para pemimpin dari 18 negara, termasuk AS, India dan Tiongkok. Forum tersebut membahas kekhawatiran mendasar yang tampaknya mendorong fokus Indo-Pasifik, yang dapat memicu persaingan di antara dua great power tersebut.
Marty percaya bahwa Indonesia harus menjalankan kepemimpinan intelektual dan harus benar-benar dapat memperhitungkan tantangan dan peluang yang tercipta dibalik diskursus Indo-Pasifik. “Karena bagi saya pribadi orang-orang membicarakan Indo-Pasifik, tapi mereka kehilangan argumen geopolitik dan juga lupa mengatasi masalah umum yang mereka hadapi”, ungkap Marty.
Marty mencatat setidaknya tiga masalah yang menjadi landasan utama dalam meyikapi setiap perkembangan geopolitik di kawasan yaitu: deficit trust, territorial disputes dan managing change. Atas dasar itulah Diplomat RI harus dapat mengusung sebuah mekanisme yang lebih baik dalam merespon kemungkinan terjadinya tantangan dan krisis.
“ASEAN-EAS lebih membahas mengenai manajemen krisis, karena hal tersebut mengingat akan ketidastabilan yang disebabkan adanya persaingan strategis antara AS dan Tiongkok”, jelas Marty.
Disamping itu Indonesia melalui Duta Besar di sejumlah negara yang bersinggungan langsung dengan Indo-Pasifik harus benar-benar sensitif, responsif dan juga efektif dalam menanggapi isu-isu di kawasan. Menurut Marty, ini bisa dilakukan di tingkat duta besar dengan pertemuan mingguan untuk membahas isu-isu regional dan global.
Dr.Marty Natalegawa, M.Phil, B.Sc Mantan Menteri Luar Negeri RI Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II.