Mencegah Politisasi Polri

0

Kita mensyukuri capaian-capaian reformasi institusi keamanan. Mulai dari pemisahan setiap institusi— Polri menjadi alat negara bidang keamanan dan TNI menjadi alat negara sektor pertahanan—sampai dihapuskannya “fungsi kekaryaan”, yaitu penempatan anggota aktif badan keamanan tersebut pada jabatan-jabatan sipil kementerian ataupun lembaga pemerintah non-kementerian.

Sebagai alat negara, kedua institusi tersebut tunduk di bawah otoritas sipil. Wewenang otoritas sipil terhadap dua alat negara tersebut tak boleh diterapkan berdasarkan kepentingan partisan pemerintahan yang berkuasa. Hal ini untuk menghindari apa yang disebut “instrumentalisasi” lembaga keamanan negara untuk maksud politik jangka pendek penguasa atau singkatnya disebut “politisasi”.

Sayangnya, perjalanan dua dasawarsa reformasi memperlihatkan berulang kembalinya upaya elite-elite sipil yang cenderung mengarah pada politisasi alat negara tersebut. Mulai dari era pemerintahan BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, hingga Joko Widodo.

Yang membuat kita bersyukur adalah turbulensi politik sipil-militer selama masa-masa pemerintahan pasca-1998 itu tidak sampai menimbulkan interupsi politik berupa kudeta militer.

Tulisan ini ingin mengingatkan pemerintah dan DPR tentang tanda-tanda yang dapat mengarah pada kecenderungan politisasi tersebut. Politisasi lembaga kepolisian yang dapat terjadi sebagai implikasi politik dari penempatan petinggi kepolisian di jabatan-jabatan pemerintahan yang sebenarnya banyak yang tidak memiliki hubungan langsung dengan bidang keamanan.

Menyubordinasi KPK
Terpilihnya Irjen Firli Bahuri sebagai ketua Komisi Pemberantasan Korupsi untuk periode 2019-2024 baru-baru ini, yaitu pada 13 September 2019, adalah sebuah keputusan pemerintah yang didukung DPR yang terus mendapat kritik masyarakat sipil akibat panitia seleksi calon pimpinan KPK yang diragukan ataupun revisi UU KPK yang ditolak.

Pasca-pengangkatan tersebut, pada 17 September 2019, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Syafruddin langsung menyambut baik disahkannya UU KPK. Sosok yang dijadikan menteri saat masih menjabat Wakil Kepala Polri tersebut mengatakan akan segera melaksanakan salah satu poin revisi tersebut, yaitu pengubahan status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN).

Ini dikritik oleh masyarakat sipil sebagai salah satu upaya menggerogoti independensi KPK.

Upaya politisasi peran petinggi polisi di pucuk pimpinan KPK juga terlihat dengan dibuatnya Peraturan Kapolri Nomor 4 Tahun 2017 tentang Penugasan Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia di Luar Struktur Organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dengan mengutip peraturan ini, Polri secara terbuka mengatakan bahwa Irjen Firli tidak harus mundur sebagai anggota Polri selama menjabat sebagai ketua KPK.

Dengan nada menyindir, sebagian kalangan menilainya sebagai upaya menyubordinasi KPK di bawah Polri bahkan menjadikan KPK sebagai “markas Trunojoyo” kedua.

Contoh lain dari kecenderungan politisasi yang juga mengarah pada pelemahan KPK adalah upaya Pansel KPK “menggunakan” legitimasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) guna memperkuat stigmatisasi berbasis rumor tentang adanya “Taliban” di KPK.

Stigma ini kuat mengarah pada Novel Baswedan yang kini berjanggut dan berpeci meskipun bagi siapa saja yang mengikuti sepak terjangnya akan mengerti bahwa penampilan fisik itu tidak mengurangi integritasnya dalam mengusut korupsi yang melibatkan sektor politik dan penegak hukum.

Stigma ini terus berembus kencang meskipun sosok yang menjadi korban penyerangan air keras pada April 2017 ini mendapat pembelaan personal dan profesional dari penyidik KPK lainnya yang berbeda agama. Di titik ini, stigmatisasi ini “berhasil” menutupi kegagalan negara dalam mengusut keterlibatan oknum kepolisian yang mengintimidasi Novel dan sejumlah anggota KPK lainnya, sekaligus merugikan kepentingan mereka sebagai korban.

Politisasi institusi Pemerintah
Kasus Firli yang cenderung mengarah pada pelemahan KPK hanyalah satu dari sekian keputusan pemerintah dan DPR yang menempatkan petinggi Polri, baik aktif maupun yang kemudian menjadi pensiun karena usia ataupun alasan lainnya, untuk menduduki jabatan pada setidaknya sepuluh lembaga pemerintahan—yang sebenarnya tidak harus diduduki oleh seorang berlatar belakang anggota Polri (aktif).

Jabatan tersebut antara lain Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Komisaris Jenderal Syafruddin, Inspektur Jenderal Kementerian Perindustrian Komjen Setyo Wasisto, Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Heru Winarko, Sekretaris Utama Lembaga Ketahanan Nasional Komjen Dr Drs H Mochamad Iriawan, Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Irjen Ronny Sompie, hingga Direktur Utama Perum Bulog Komjen Budi Waseso yang kemudian menjadi Ketua Kwartir Nasional Pramuka.

Tentu bisa dimengerti jika mereka ditempatkan pada lembaga yang mau tidak mau berhubungan dengan urusan keamanan, seperti Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Jenderal (Pol) Budi Gunawan, Wakil Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Komjen Dharma Pongrekun, atau Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Suhardi Alius.

Ini semua juga tidak berarti kredibilitas semua petinggi kepolisian tersebut lantas dipertanyakan. Sosok seperti Suhardi Alius di BNPT sampai Heru Winarko di BNN jelas merupakan orang-orang berintegritas dan dikenal dekat dengan KPK, institusi yang kerap bersinggungan dengan Polri.

Amnesty International pernah mengirimkan surat kepada kepolisian untuk meminta data jumlah perwira aktif kepolisian lainnya yang ditempatkan di kementerian atau lembaga. Namun, data tidak bisa diberikan karena alasan status informasi itu masuk kategori “rahasia”.

Ironisnya, permintaan data yang sama kepada Markas Besar TNI telah diterima secara responsif. TNI memberikan data terkait jumlah personel aktif yang ditempatkan di kementerian atau lembaga, yaitu sebanyak 3.823 orang, terdiri dari 265 panglima tinggi, 697 kolonel, dan 2.861 kolonel ke bawah. Tertutupnya kepolisian dalam memberikan data tersebut patut dipertanyakan.

Politisasi Hukum
Selanjutnya, pemerintah dan DPR perlu diingatkan bahwa kecenderungan ini memungkinkan lahirnya situasi di mana dominannya keberadaan jenderal-jenderal polisi di kementerian dan lembaga tersebut rentan “dipolitisasi”. Misalnya, untuk memuluskan kepentingan partisan pemerintah dan bukan untuk kepentingan kepolisian sebagai alat negara bidang keamanan, termasuk kepolisian sebagai pelindung dan pengayom masyarakat (to serve and to protect).

Sebagai contoh, upaya mulus Polda Jatim untuk mencabut paspor pembela HAM, Veronica Koman, yang direspons dengan cepat oleh Ronny Sompie, yang merupakan seorang mantan petinggi Polri. Mereka juga menerbitkan red notice untuk mempersekusi pembela HAM seperti Veronica Koman melalui penuntutan pidana. Jajaran kepolisian dan imigrasi tampak gesit memproses pencabutan paspor Veronica meski sebenarnya itu keliru.

Undang-undang hanya membolehkan pencabutan paspor pada seseorang yang oleh putusan berkekuatan hukum tetap terbukti bersalah atas kejahatan yang hukumannya 5 tahun penjara lebih. Jika pun sebatas penarikan administratif—bukan pencabutan—langkah ini tetap berisiko menghilangkan kewarganegaraan Veronica Koman. Jika itu terjadi, Indonesia bisa dinilai telah melakukan pelanggaran serius HAM.

Politisasi tersebut lebih jauh dapat berimplikasi pada berkurangnya mekanisme kontrol dari otoritas sipil dan keseimbangan antarlembaga keamanan, hukum, dan juga pertahanan. Elite-elite sipil harus peka bahwa keputusan-keputusan ini bisa menimbulkan “kecemburuan” antarinstansi yang akhirnya merugikan masyarakat.

Keseluruhan uraian di atas membawa kesimpulan-kesimpulan telah adanya tanda-tanda politisasi Polri yang berimplikasi pada subordinasi KPK di bawah kepolisian. Tidak perlu heran jika banyak kalangan menuding elite otoritas sipil dan kepolisian bertanggung jawab atas pelemahan kewenangan KPK sebagai penegak hukum di sektor pemberantasan KKN, termasuk yang juga seharusnya independen lewat pengalihan status pegawai KPK—yang seharusnya indenpenden—kini menjadi ASN.

Kesimpulan lainnya adalah bahwa upaya pembatasan wewenang lembaga antirasuah ini juga diuntungkan oleh infrastruktur pemerintahan yang ada, di mana telah terdapat cukup banyak petinggi polisi di kementerian atau lembaga pemerintah non-kementerian tertentu yang ikut memungkinkan terjadinya politisasi.

Politisasi juga rentan dialami oleh lembaga pemerintahan lain yang membidangi urusan imigrasi, bahkan berjalan paralel dengan politisasi hukum yang memanfaatkan alur koneksi keberadaan petinggi Polri, sebagaimana terlihat pada kasus Veronica Koman. Bukan mustahil politisasi semacam ini terjadi dalam lembaga yang mengurus usaha logistik, perindustrian, hingga narkotika yang sangat kompleks.

Dominannya peran kepolisian dalam perpolitikan pemerintahan Jokowi sangat tak lepas dari minimnya kontrol dari lembaga negara yang seharusnya mengawasi, yang cenderung lebih memperlihatkan fungsi sebagai juru bicara ketimbang pengawas kepolisian.

Akhirnya, jika ini semua dibiarkan terus berlanjut, ia dapat memundurkan kemajuan dari reformasi sektor keamanan di tubuh Polri ataupun lembaga pemerintahan lain. Ia juga bisa menyia-nyiakan seluruh kerja keras bersama semua komponen bangsa, termasuk polisi-polisi pemikir kepolisian yang bersusah payah membangun independensi Polri sejak tahun 1998.

Usman Hamid – Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera dan Direktur Amnesty International Indonesia

*Tulisan ini telah terbit pada Kompas edisi 27 September 2019

Share.

Comments are closed.