Mendefinisikan Kepentingan AS di Laut Cina Selatan melalui Kunjungan Menteri Pertahanan AS ke Indonesia

0

Pendahuluan

Tulisan ini akan membahas kepentingan Amerika Serikat (AS) dalam persengketaan Laut Cina Selatan dimana setiap kunjungan kenegaraan AS terhadap negara-negara Asia Pasifik terdapat kecenderungan memilki korelasi terhadap kebijakan AS di Laut Cina Selatan. Terlepas dari kepentingan AS lainnya, penulis hanya akan memfokuskan pembahasan dalam persengkataan Laut Cina Selatan dalam lingkup kunjungan Menteri Pertahanan AS James Norman ‘Jim’ Mattis ke Indonesia pada 22-23 Januari 2018.

Terkait kunjungan Jim Mattis tersebut, juru bicara Kementerian Luar Negeri RI, Arrmanatha Nasir mengatakan tujuan utama kunjungan tersebut adalah kerja sama pertahanan antar-negara. Secara garis besar, sebelumnya Indonesia telah menjalin beragam kerja sama strategis dengan AS. Terlebih, pada 26 Oktober 2015 Indonesia dan AS telah menandatangani Joint Statement in Comprehensive Defense Cooperation di Washington. Joint statement tersebut menciptakan ruang agar bentuk dan cangkupan kerja sama pertahanan kedua negara dapat lebih luas lagi, khususnya dalam hal alutsista. Namun, apabila melihat perkembangan isu keamanan dan konstelasi kawasan Asia Pasifik serta beberapa kebijakan AS (dalam masa pemerintahan Donald Trump) cenderung berbeda dengan pemerintah sebelumnya, maka sudah sewajarnya perlu mendefinisikan kembali kepentingan AS terhadap Asia Pasifik, khususnya Indonesia. Dalam pendefinisiannya, dapat dilihat dari gestur kebijakan luar negeri AS terhadap Indonesia. Dimana hal tersebut dapat tergambarkan melalui agenda kunjungan kenegaraan, seperti kunjungan Menteri Pertahanan AS James Norman ‘Jim’ Mattis pada 22-23 Januari 2018.

Pembahasan

Sebelumnya pada Oktober 2017, Menteri Pertahanan RI dan AS telah melakukan pertemuan dalam kegiatan Asean Defense Minister Meeting – Plus (ADMM-Plus) di Filipina. Namun, pertemuan tersebut merupakan forum diplomasi multilateral sehingga sulit untuk mengungkapakan maksud antar-kedua negara secara spesifik. Maka, kunjungan Menteri pertahanan AS ke Indonesia sebagai yang pertama kali semenjak Donald Trump dilantik menjadi presiden AS tentu memilki tujuan spesifik dalam mengemukakan kepentingan negaranya, khususnya dalam sektor pertahanan.

Menteri Pertahanan RI Ryamizard Ryacudu (2018) dalam sambutannya merespon kunjungan Menteri Pertahanan AS Jim Mattis tersebut dengan memaparkan perhatian Indonesia terhadap prioritas tantangan nyata bagi pertahanan AS, yaitu: mengimbangi pengaruh kekuatan Rusia dan Tiongkok di kawasan dalam pendekatan “regional balance of power”, mengantisipasi langkah agresi Korea Utara dan Iran, serta strategi bersama dalam menghadapi ISIS di kawasan. Secara keseluruhan kunjungan tersebut bersifat diplomasi pertahanan (meningkatkan confidence building measures). Sehingga tidak akan terlalu banyak hal-hal yang bersifat senstitif yang mampu memprovokasi pihak manapun. Berdasarkan siaran pers yang dikeluarkan Kementerian Pertahanan RI pada 23 Januari 2018, hal yang menjadi pembahasan dominan dalam pertemuan tersebut adalah visi Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia, kerja sama bilateral dan multilateral dalam Patroli Terkoordinasi Trilateral dan Our Eyes, Persetujuan Keamanan Informasi Militer (GSOMIA), pengadaan alutsista serta kebijakan maritim.

Terkait dengan kebijakan maritim, menariknya pada tanggal 17 Januari 2018, Kementerian Luar Negeri Tiongkok menuduh kapal perang AS memasuki wilayah perairannya tanpa izin dan mengatakan akan mengambil tindakan yang diperlukan guna memastikan kedaulatannya terlindung. Kunjungan delegasi AS ke Indonesia tersebut dapat diterjemahkan sebagai sinyal akan adanya pergerakan AS semakin mendekatkan diri ke Asia Tenggara (Indonesia sebagai honest broker) dalam konteks persengketaan Laut Cina Selatan. Hal tersebut membuka kemungkinan untuk masuknya babak baru rivalitas great powers (AS vs Tiongkok) di Asia Pasifik, sehingga AS membutuhkan hubungan interdependensi (bahkan apabila memungkinkan dependensi) oleh negara-negara vital di Asia Pasifik, termasuk Indonesia.

Keterlibatan AS dalam dinamika konstelasi politik di Kawasan Asia telah terjadi dalam sejarah yang cukup panjang. Namun, semenjak memasuki era kepemimpinan Barrack Obama, AS secara spesifik memfokuskan pada Kawasan Asia Pasifik atau tepatnya dinamika persengketaan Laut Cina Selatan.  Keterlibatan AS dalam dinamika persengketaan Laut Cina Selatan ditandai dengan strategi “Rebalance to Asia” pada tahun 2011. Aspek penting dari strategi tersebut adalah hubungan keamanan AS dengan negara-negara Asia Tenggara, yang dilakukan melalui beberapa upaya, termasuk melalui pendekatan bilateral (CFR, 2017).

Strategi Rebalance to Asia tersebut merupakan respon AS atas kebangkitan Tiongkok (Peaceful Rise of China) yang diiringi dengan tindakan-tindakan asertif Tiongkok dalam menegaskan klaim nine-dashed line-nya. Faktor-faktor yang memungkinkan dan tidak memungkinkannya Tiongkok berdiri sebagai rival AS di Kawasan Asia Pasifik masih dapat diperdebatkan, tetapi Peaceful rise of China juga tidak bisa diabaikan. Barry Buzan dan Ole Waever (2003) dalam bukunya yang berjudul “Regions and Powers: The Structure of International Security” mengkategorikan Tiongkok sebagai great power yang berada satu tingkat dibawah AS. Tiongkok digolongkan demikian karena dinilai memiliki potensi ekonomi, militer, dan politik yang mampu menyaingi AS sebagai super power.

Menariknya, AS bukan salah satu negara yang melakukan klaim di Laut Cina Selatan, namun kebijakan AS telah sangat jelas dan bersifat publik terkait Laut Cina Selatan; pejabat-pejabat senior AS telah beberapa kali mengeluarkan pernyataan publik, pernyataan representatif tersebut dikeluarkan oleh sekretaris negara AS, John Kerry dan mantan sekretaris negara, Hillary Clinton. Adapun kebijakan tersebut tergambarkan dengan jelas oleh Kerry pada US-ASEAN Ministerial Meeting di Bandar Seri Bengawan, Brunei pada 1 Juli 2013, sebagai berikut (AMM, 2017):

“As a Pacific nation, and the resident power, the United States has a national interest in the maintenance of peace and stability, respect for international law, unimpeded lawful commerce, and freedom of navigation in the South China Sea. As we have said many times before, while we do not take a position on a competing territorial claim over land features, we have a strong interest in the manner in which the disputes of the South China Sea are addressed and in the conduct of the parties. We very much hope to see progress soon on a substantive code of conduct in order to help ensure stability in this vital region”.

Pernyataan tersebut merupakan puncak dari sinyal AS terhadap ASEAN dan Tiongkok bahwa AS akan tetap menjadi “global sheriff” dengan melibatkan diri dalam setiap persoalan di Laut Cina Selatan. Pada setiap diplomasi publik yang dilakukan AS, kerap kali menyatakan bahwa AS memiliki prinsip-prinsip yang menjadian acuan AS dalam strateginya, sebagai berikut (Chairudin, 2015):

  1. Peaceful resolution of disputes: AS mengutamakan pada penyelesaian sengketa dengan cara-cara yang damai
  2. Peace and Stability: Sebagai negara yang memiliki hegemoni di kawasan Asia Pasifik, AS akan menjaga stabilitas dan keamanan kawasan tersebut.
  3. Freedom of navigations: AS akan tetap memelihara kebebasan dalam bernavigasi di Laut Cina Selatan yang merupakan Sea Lanes of Communications (SLOC) bagi dunia.
  4. Neutrality in disputes: AS tidak menyatakan keberpihakan terkait klaim kepemilikan fitur-fitur di Laut Cina Selatan
  5. Respect of international principles: AS menekankan pada pentingnya mengikuti hukum laut internasional; UNCLOS 1982.

Terlepas dari pernyataan diplomasi publik dan pernyataan normatif AS yang dipublikasikan AS, menurut analisa penulis terdapat dua prinsip utama terkait keterlibatan AS dalam dinamika sengketa Laut Cina Selatan yang perlu mendapat perhatian lebih, yaitu; akses dan stabilitas. Dalam hal akses, AS menegaskan pentingnya untuk menjaga freedom of navigation di Laut Cina Selatan mengingat tingginya intensitas perdagangan intra-regional dan internasional yang melalui Laut Cina Selatan. Lebih dari lima triliun USD dari perdagangan dunia melewati Laut Cina Selatan setiap tahunnya (Kata Data, 2016). Secara sederhana, apabila terjadi suatu kondisi yang mengharuskan Laut Cina Selatan tidak dapat dilalui oleh kapal komersil, maka akan dapat menghentikan ekonomi dunia secara seketika. Selain itu, akses yang bebas hambatan di Laut Cina Selatan akan mendukung proyeksi kekuatan militer AS di seluruh dunia, khususnya Asia Timur, karena Laut Cina Selatan merupakan penghubung antara Barat dan Timur.

Terkait stabilitas, kawasan yang tidak stabil, khususnya pada pivot area akan berdampak pada investasi internasional. Selain itu, kondisi yang tidak stabil akan memungkinkan terjadinya pergeseran kepentingan negara yang mengakibatkan perubahan pada konstelasi politik negara-negara Asia Pasifik yang memiliki hubungan interdependensi dengan AS.

Pertimbangan pada kepentingan AS tersebut merupakan Indikasi-indikasi dari adanya rivalitas antara AS dan Tiongkok dalam memperebutkan Asia Pasifik dengan menjadikan Laut Cina Selatan sebagai pivot area (Lubis, 2017). Secara spesifik kebijakan Rebalance to Asia yang dilakukan AS terkait Laut Cina Selatan terlihat jelas pada keseriusan AS dalam mengangkat pentingnya isu keamanan maritim di Kawasan Asia Pasifik yang ditandai dengan dirilisnya sebuah dokumen pada tahun 2015 oleh Departemen Strategi Pertahanannya yang berjudul “Asia Pasific: Maritime Security Strategy”, melalui dokumen tersebut AS menyatakan kehadirannya di Laut Cina Selatan yang merupakan upaya pecegahan konflik dengan menekankan pentingnya sikap patuh terhadap hukum laut internasional (U.S. Departement of Defense, 2015), meskipun AS sendiri tidak meratifikasi UNCLOS 1982.

AS menyadari pentingnya untuk menaruh perhatian serius pada tindakan-tindakan asertif Tiongkok di Laut Cina Selatan yang melibatkan instrument militer, sehingga beberapa kebijakan AS juga menunjukkan pada penciptaan efek deterrence dan pada persiapan skenario terburuk; perang terbuka. AS melakukan peningkatan anggaran pertahanan dengan mengalokasikan sebesar $51 miliar pada dana operasional luar negeri yang difokuskan pada Asia Pasifik. Peningkatan alokasi anggaran tersebut cenderung didominasi untuk kepentingan Angkatan Laut yang berupa kapal perang dan personil militer. Penambahan tersebut telah diproyeksikan akan terus berlanjut hingga tahun 2020 (U.S. Departement of Defense, 2015). Aplikasi peningkatan anggaran tersebut terlihat dengan penempatan personil militer (air defense) AS di beberapa titik yang diprediksikan akan membendung mobilisasi militer Tiongkok di Laut Cina Selatan, sebagai berikut:

Militer AS pada masa kebijakan Rebalance to Asia
(Sumber: M, Nakir (2016), Kebijakan Pertahanan RI dalam Menghadapi Konflik Laut Cina Selatan, Slide Paparan Seminar Akhir Pendidikan Pasis SESKOAU Angkatan Ke-53)

Data pada peta di Gambar tersebut menunjukkan AS mempersiapkan pangkalan militer di beberapa wilayah strategis negara-negara yang mengepung Laut Cina Selatan. Selain itu terdapat juga beberapa pangkalan militer yang tidak tetap. Penempatan personil militer ini berkaitan dengan reklamasi yang dilakukan Tiongkok di beberapa pulau di Laut Cina Selatan. Dimana semenjak reklamasi yang dilakukan Tiongkok, AS terus memproyeksikan militernya dan melakukan penambahan personil militer, seperti di Teluk Darwin yang diestimasikan meningkat hingga 2500 personil militer (Mahnken, 2017).

Bahkan, AS juga memfokuskan pada hubungan dengan mitra strategisnya di Asia Pasifik, yaitu Filipina, Jepang, Australia dan Korea Selatan. Hal ini diwujudkan melalui the Rim of the Pacific Exercise (RIMPAC) yang dicetuskan oleh AS. RIMPAC merupakan latihan gabungan bersama (dalam sektor keamanan dan pertahanan maritim) yang diadakan setiap dua tahun sekali di Kepulauan Hawai dengan jumlah peserta yang terus meningkat (TNI AL, 2017).

Hal tersebut menarik untuk menjadi perhatian, dimana kehadiran AS yang merupakan reaksi atas tindakan-tindakan asertif Tiongkok di Laut Cina Selatan telah menunjukkan bahwa konflik Laut Cina Selatan tidak hanya permasalahan saling klaim teritorial antara Tiongkok dengan lima negara lainnya, namun kepada persoalan yang lebih global lagi, yaitu rivalitas great powers. Dampak dari persaingan ini akan bersifat global dimana yang paling merasakan adalah negara-negara small power di kawasan Asia Pasifik yang kemungkinan besar akan menjadi instrument proxy war AS dan Tiongkok (Nakir, 2016).

Sedangkan Indonesia dengan “politik bebas-aktif” berada dipertengahan antara AS dan Tiongkok dalam isu persengketaan Laut Cina Selatan. Sehingga sangat wajar apabila negara-negara tersebut melakukan pendekatan dan beruapaya menciptakan dependensi terhadap negara yang berpengaruh dalam persengketaan Laut Cina Selatan untuk memudahkan dalam penguasaan Asia Pasifik. Karena bagaimanapun juga Indonesia merupakan honest broker dalam persengketaan Laut Cina Selatan sekaligus natural leader bagi ASEAN (Pedrason dalam Lubis, 2017). Maka, kunjungan Menteri Pertahanan AS pada 22-23 Januari 2018 ini dapat dipahami sebagai bagian dari strategi Rebalance to Asia oleh AS, dimana salah satu kunci dari strategi tersebut adalah mengikat negara-negara Asia dalam sektor pertahanan dan keamanan melalui hubungan bilateral.

Hal tesebut ditandai dengan isu yang diangkat dalam pertemuan antar-menteri pertahanan AS dan RI merupakan isu strategis dalam mengantisipasi pergerakan Tiongkok di Laut Cina Selatan, seperti kerja sama bilateral dan multilateral dalam Patroli Terkoordinasi Trilateral, Persetujuan Keamanan Informasi Militer (GSOMIA), pengadaan alutsista serta beberapa kebijakan maritim. Selain itu, dalam kunjungan Menteri Pertahanannya, AS juga menaruh perhatian dalam kerja sama pengadaan alutsista dengan Indonesia. Hal tersebut akan menghasilkan CBM dan interoprabilitas, namun perlu diperhatikan pula tingkat dependensi Indonesia terhadap AS dalam modernisasi alutsista jangan sampai merubah standing position Indonesia yang “bebas-aktif” dalam kebijakan luar negerinya.

Selain itu, dalam pertemuan tersebut juga dibahas mengenai upaya pencabutan larangan masuk ke AS bagi anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI (Kompas, 2018). Hal ini merupakan indikator pendekatan diplomasi yang lembut namun cukup krusial bagi AS karena berkaitan dengan isu pelanggaran HAM, dimana selama ini dalam kebijakannya untuk menekan negara-negara tertentu (termasuk Indonesia) menjadikan HAM sebagai instrumen politik luar negerinya, maka apabila larangan tersebut dicabut tidak menutup kemungkinan AS sedang mengharapkan dukungan besar Indonesia dalam kebijakan pertahanannya.

Pentutup

Bagi AS, pembahasan-pembahasan dalam pertemuan tersebut pada dasarnya diharapkan menjadi diplomasi pertahanan AS yang efektif dan mampu menjadi embrio bagi kerja sama pertahanan yang lebih luas agar mampu mempertahankan hegemoninya di Asia Pasifik dan menjauhkan Indonesia dari Tiongkok. Dilain pihak, pertemuan tersebut merupakan kesempatan untuk menyampaikan beberapa posisi Indonesia terhadap isu-isu yang penting yang mengemuka saat ini. Misalnya regional arsitektur, yang terkait dengan Indo – Pasifik serta proyeksi Visi Poros Maritim Dunia. Adapun rencana kerja sama praktis yang disinggung diharapkan dapat memberikan keuntungan yang proposional di kedua negara karena bagaimanapun juga meski AS merupakan negara super power, untuk konteks tertentu khususnya persengeketaan Laut Cina Selatan, AS membutuhkan Indonesia yang memilki posisi sebagai honest broker dan natural leader di ASEAN. Sehingga Indonesia perlu memanfaatkan hal tersebut dalam meningkatkan bargain position.

Rizky Reza Lubis – Pemerhati isu diplomasi pertahanan dan keamanan maritim Indonesia

*Sebagian tulisan ini disadur dari penelitian Rizky Reza Lubis, S.IP,  M.Si (Han) dibawah supervisi Laksamana Muda TNI Dr. Amarulla Octavian, S.T., M.Sc., D.E.S.D. dan Dr. G. Ambar Wulan, M.Hum dengan judul “Diplomasi Pertahanan Indonesia melalui ADMM-Plus on Maritime Security dalam Mereduksi Rivalitas Great Powers di Laut Cina Selatan” di Universitas Pertahanan Indonesia, 2017.

Referensi:

  • Council on Foreign Relations (CFR), The Rebalance to Asia, http://www.cfr.org/asia-and-pacific/rebalance-asia/p37516?cid=ppc-Google-grant-AsiaInfographic diakses pada 18 Maret 2017
  • Buzan, B., & Waever, O. (2003).Regions and powers: the structure of international security (Vol. 91). Cambridge University Press.
  • AMM, 2017, S. Mission to ASEAN, Remarks at the U.S. – ASEAN Ministerial Meeting, https://asean.usmission.gov/remarks-at-the-u-s-asean-ministerial-meeting/ diakses pada 18 Maret 2017
  • Chairudin, Nur M., (2015), Kebijakan Hard dan Soft Power Amerika Serikat terhadap Penyelesaian Konflik Di Laut Cina Selatan Tahun 2009-2013, eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Vol. 3 No. 4. Hal. 797-806
  • Kata Data, 13 Juli 2016, Kenapa Laut Cina Selatan Diperebutkan? di
  • http://katadata.co.id/infografik/2016/07/13/kenapa-laut-cina-selatan-diperebutkan diakses pada 18 Januari 2018,
  • Lubis, Rizky Reza, (2017), Diplomasi Pertahanan Indonesia Melalui ADMM-Plus dalam Mereduksi Rivalitas Great Powers di Laut Cina Selatan, Bogor: Univesitas Pertahanan Indonesia.
  • S. Departement of Defense, Dokumen Asia-Pacific Maritime Security Strategy, 15 Februari 2015.
  • Mahnken, 2012, Asia in The Balance: Transforming US Military Strategy in Asia, Wahington: APOAI
  • TNI AL, RIMPAC http://www.tnial.mil.id/News/OperasiLatihan/tabid/80/articleType/ArticleView/articleId/21162/Default.aspx diakses pada 18 Maret 2017
  • Kompas, 23 Janauri 2018, Ryamizard: Menhan AS Akan Cabut Larangan Masuk AS Bagi Anggota Kopassus,  http://www.tribunnews.com/nasional/2018/01/23/ryamizard-menhan-as-akan-cabut-larangan-masuk-as-bagi-anggota-kopassus diakses pada 23 Januari 2018
  • M, Nakir, (2016), Kebijakan Pertahanan RI dalam Menghadapi Konflik Laut Cina Selatan, Slide Paparan Seminar Akhir Pendidikan Pasis SESKOAU Angkatan Ke-53
  • Ryacudu, Ryamizard, 23 Januari 2018, Sambutan Pembukaan Dalam Pertemuan Bilateral Dengan Menhan As, Gen Rtd Jim Matti, Jakarta.
  • Kementerian Pertahanan RI, 23 Januari 2018, Siaran Pers: Kunjungan Menhan AS Upaya untuk Pererat Hubungan Bilateral Pertahanan RI-AS, Nomor Surat: SP/03/11/2018/KOM/PUBLIK.
Share.

Comments are closed.