Menguatkan Pendidikan Karakter Lewat Revitalisasi Permainan Tradisional

0

Jakarta, Teritorial.Com – Pendidikan dan kebudayaan merupakan proses kreatif yang tak dapat dipisahkan, ibarat dua sisi dari keping uang yang sama. Fungsi pendidikan bukan semata-mata sebagai transfer of knowledge tetapi juga transfer of culture dan value. Untuk mencapai tujuan itu, sebagaimana disebutkan oleh pendiri Taman Siswa sekaligus tokoh pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara, maka pendidikan harus dijadikan sebagai wadah untuk ‘memanusiakan manusia’. Caranya? Melalui penguatan olah pikir (kognitif), olah rasa (afektif), dan olahraga (psikomotorik) yang terintegrasi guna memajukan kebudayaan (peradaban) sebuah bangsa. Sebab itu, pendidikan tidak boleh tercerabut dari akar dan jati diri bangsanya.

Salah satu media pembelajaran yang dapat diupayakan dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa sebagaimana dirintis Ki Hajar Dewantara dan kini dicita-citakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) serta Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, yakni melalui permainan tradisional.

Selaras dengan itu, beberapa waktu lalu, Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud, Hilmar Farid, menekankan pentingnya permainan tradisional diperkenalkan kembali ke generasi milenial. Pasalnya, permainan tradisional mampu meningkatkan karakter dan kreativitas peserta anak di setiap permainannya. “Dengan mengangkat ini kembali juga pasti akan mengangkat lagi value-nya (nilai). Karena banyak dari permainan ini mengajarkan soal kerjasama tim, soal etika di dalam masyarakat. (Permainan tradisional) baik diperkenalkan kepada anak-anak di sekolah-sekolah,” katanya (Senin, 17 Desember 2018).

Permainan tradisional sebagai bagian dari unsur kebudayaan yang mampu memberi pengaruh terhadap perkembangan karakter dan kehidupan sosial peserta didik, memang perlu direvitalisasi (dihidupkan kembali) di lingkungan pendidikan, khususnya di sekolah TK hingga SMA.

Tergeser oleh Permainan Virtual

Pendidikan karakter melalui revitalisasi permainan tradisional di sekolah sejatinya berorientasi ganda. Ke dalam, proses revitalisasi harus membantu peserta didik menemu-kenali kekhasan potensi diri sekaligus kemampuan untuk menempatkan keistimewaan itu dalam konteks kebersamaan. Ke luar, revitalisasi permainan tradisional harus memberikan wahana kepada anak didik untuk mengenali dan mengembangkan kebudayaan sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem perilaku bersama dalam membentuk lingkungan sosial yang dapat menentukan apakah disposisi karakter seseorang berkembang menjadi lebih baik atau lebih buruk.

Hanya saja, di zaman sekarang tantangannya adalah generasi bangsa lebih tertarik bermain melalui dunia virtual yang terkoneksi lewat internet ataupun playstation. Petak umpet, kelereng, egrang, lompat tali, layangan, gelasing, gatrik, pletekon, rangku alu, engklek, gobak sodor, dan meriam bambu merupakan beberapa permainan rakyat dari 2600 permainan tradisional Indonesia yang biasanya sering dimainkan anak-anak (generasi 1990-an ke atas), mulai terlupakan seiring munculnya era internet dan ponsel pintar. Sekarang di lingkungan rumah ataupun sekolah sudah jarang sekali anak-anak yang bermain nuansa tempo dulu itu.

Keberadaan permainan tradisional mulai tergerus dengan permainan digital

Keberadaan permainan tradisional tersisihkan dengan adanya permainan modern, seperti video game dan virtual game lainnya. Kehadiran teknologi pada permainan, di satu pihak mungkin dapat menstimulasi perkembangan kognitif anak, namun di sisi lain, permainan ini dapat mengerdilkan potensi anak untuk berkembang pada aspek lain, dan bukan tidak mungkin justru menggiring anak untuk mengasingkan diri dari lingkungannya, bahkan cenderung bertindak agresif.

Temuan data dari Yayasan Sahabat Kapas menyebutkan bahwa kecanduan anak-anak pada game online sudah seperti kecanduan seseorang kepada narkotika, karena ketika ingin bermain dan tidak punya uang, anak akan melakukan segala cara, termasuk berbuat tindakan kriminal. Berdasarkan data dari yayasan tersebut, dalam enam bulan terakhir ini, di Surakarta ada tujuh anak yang melakukan pencurian demi bisa bermain game online.

Selain itu, permainan digital lebih banyak dimainkan secara statis, anak bermain dalam keadaan pasif. Mereka duduk dan diam, yang bekerja hanya jari-jemarinya. Hal ini menyebabkan anak menjadi tidak peduli pada lingkungan yang akan mempengaruhi interaksi sosial anak. Akibatnya, anak berkembang menjadi pribadi yang pemalu, penyendiri, malas, dan individual. Renggani (2012) dalam penelitiannya berjudul “Menetralkan Kecanduan Games” menemukan dampak video games pada aktivitas otak dan kesehatan perilaku manusia, yakni adanya penurunan pengendalian emosi dan aktivitas.

Tak heran, Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organisation (WHO) memasukkan kecanduan game ke dalam daftar penyakit gangguan mental dalam laporan International Classification of Diseases edisi 11 (ICD-11), 18 Juni 2018 lalu. Sejumlah negara pun akhirnya melakukan langkah-langkah pencegahan dan pembatasan terhadap permainan game online/digital tersebut. Korea Selatan misalnya melarang akses game online oleh anak-anak berusia di bawah 16 tahun di antara tengah malam hingga pukul 6 pagi.

Sekolah sebagai wadah sosialisasi dan lembaga yang cukup strategis, selayaknya turut berkontribusi dalam menanggulangi dampak negatif dari penggunaan teknologi khususnya game online. Sekolah perlu membatasi penggunaan media gadget di tangan para peserta didik, paling tidak selama berada di sekolah guna mengendalikan pengaruh negatif permainan online. Selain itu, sekolah juga harus menghadirkan permainan penggantinya berupa permainan tradisional, sebagai sarana pembentukan karakter sekaligus solusi dari kecanduan permainan di dunia maya.

Beberapa permainan tradisional yang diyakini mampu menjadi media pendidikan karakter peserta didik kini terlupakan.

Revitalisasi Permainan Tradisional di Sekolah

Di balik banyaknya dampak negatif yang telah ditimbulkan oleh permainan digital yang memiliki kesan modern ini, para pemangku kebijakan perlu merevitalisasi permainan tradisional khususnya di dunia pendidikan. Sebab, permainan tradisional selain merupakan salah satu warisan yang menjadi identitas bangsa yang perlu dipelihara di tengah arus teknologi, juga bisa mengajarkan anak-anak bersikap sportif, saling menghargai, ketelitian, kerjasama, serta bertanggung jawab.

I Wayan Tarna (2015) dalam studinya yang berjudul “Peranan Permainan Tradisional dalam Pendidikan” memaparkan bahwa permainan tradisional dapat meningkatkan berbagai aspek perkembangan anak: (1) aspek motorik yang dapat melatih daya tahan, daya lentur, sensori-motorik, motorik kasar, dan motorik halus; (2) aspek kognitif yang dapat mengembangkan imajinasi, kreativitas, problem solving, strategi, antisipatif dan pemahaman kontekstual; (3) aspek emosi mampu mengasah empati, pengendalian diri dan katarsis emosional; dan (4) aspek bahasa dapat mengembangkan pemahaman konsep-konsep nilai.

Pada permainan pecah piring, misalnya, terdapat beberapa nilai yang terbangun. Sebab, dalam permainan itu setiap peserta dituntut bekerja sama dengan kelompok, saling menghargai sesama anggota tim, dan tidak curang bermain. Lalu pada permainan seperti lompat tali, engkle, dan gobag sodor, selain baik untuk kesehatan fisik, juga efektif memupuk kebersamaan dan kerjasama. Sementara permainan egrang, gundu, dan petak umpet, bisa menguji konsentrasi dan ketepatan.

Lantas, bagaimana permainan tradisional tersebut dapat direvitalisasi dan diaktualisasi sebagai media pendidikan karakter di sekolah?

Pertama, diintegrasikan dalam setiap pokok bahasan pada masing-masing mata pelajaran. Permainan tradisional misalnya bisa diselipkan dalam kurikulum muatan kearifan lokal ataupun kurikulum olahraga. Berkaitan dengan ini, pemerintah hendaknya menyediakan bahan ajar dan pedoman permainan tradisional bagi tenaga pendidik. Di samping itu, sekolah juga menyediakan peralatan dan tanah lapang (cukup luas) sebagai penunjang aktivitas permainan tradisional.

Kedua, dikembangkan melalui kegiatan ekstrakurikuler. Bengkel permainan tradisional bisa menjadi salah satu model kegiatan ekstrakurikuler bagi peserta didik dengan memfokuskan rasa ingin tahu, kreatif, cinta tanah air sebagai nilai-nilai yang akan dikembangkan. Di bengkel ini anak diberi kebebasan untuk bereksplorasi ide dan berkreativitas dengan permainan tradisional.

Ketiga, sekolah perlu merevitalisasi permainan tradisional dengan mengadakan perlombaan: baik perlombaan siswa antar-kelas, antar-sekolah, maupun antar-tenaga pendidik. Momentum peringatan hari-hari besar nasional, dies natalis sekolah, dan festival permainan anak, bisa dijadikan media untuk mengadakan perlombaan tersebut.

Pada akhirnya, revitalisasi permainan tradisional sebagai wadah pembentuk karakter harus segera dikaji lebih lanjut untuk diterapkan di sekolah-sekolah. Namun di tengah era digital saat ini dan adanya gap emosional bagi generasi milenial terhadap permainan tradisional, maka pengaktaulisasiannya perlu memanfaatkan sentuhan teknologi dan kreativitas lain.

Penulis : Zainal C Airlangga Alumnus Ilmu Sejarah FIB Universitas Indonesia 

Share.

Comments are closed.