Jakarta, Teritorial.com – Kehadiran Menteri Pertahanan RI Ryamizard Ryacudu saat memenuhi undangan pertemuan bilateral oleh Menteri Pertahanan Amerika Serikat (AS) James N. Mattis saat menyaksikan upacara serah terima jabatan U.S Pacific Command (U.S PACOM) dari Laksamana Harry Binkley Harris Jr. kepada Laksamana Phil Davidson yang kemudian dilanjutkan dengan upacara pergantian nama dari U.S.PACOM menjadi U.S Indo-Pacific Selasa, (29/5/2018) tentu menuai beragam pertanyaan tentang bagaimana kebijakan Politik Luar Negeri (Polugri) Indonesia dalam merespon dinamikan politik internasional yang berlangsung di kawasan.
Memenuhi undangan langsung dari Menhan AS tentunya bukanlah sesuatu hal yang terjadi secara kebetulan. Banyak pertimbangan terhadap aspek strategis mengenai pentingnya kehadiran Menhan RI menjadi tamu kerhormatan dalam upacara sertijab yang kemudian dilanjutkan dengan pertemuan bilateral membahas isu-isu keamanan yang berkembang di kawasan. Bagi Indonesia AS merupakan partner strategis dalam memerangan terorisme, dan dalam forum mulitilateral ASEAN, posisi AS menjadi sangat penting ketika yang dihadapi adalah soal bagaimana menghadapi klaim sepihak Cina atas teritorial perairan LCS.
Namun jika ditelusuri lebih jauh, apakah perubahan nama penyebutan Asia-Pasifik yang kemudian berganti menjadi Indo-Pasifik cukup berarti bagi Indonesia, atau sebaliknya Indonesialah yang sebanarnya berarti penting bagi AS ?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka perlu pemahaman mengenai apa yang dimaksud dengan Indo-Pasifik. Presiden AS Donal J. Trump jauh sebelumnya telah mengeluarkan pernyataan yang dirilis dalam National Security Strategy (NSS) AS untuk Asia pada November 2017 bahwa Asia-Pasifik telah usang, adapun Indo-Pasifik selebihnya akan menjadi prototype integrasi kawasan membuka keleluasan setiap negara melalui platform kerja sama yang didukung dengan keterbukaan akses strategis yang menghubungan antara Samudera Pasifik dan Hindia.
Donal Trump: You Say “AsiaPacific,” I Say “IndoPacific”
Polarisasi perilaku Cina yang kerap kali menunjukan sikap kontraproduktif terhadap kepentingan AS di Asia, pada dasarnya merupakan tujuan utama AS mengawali Indo-Pasifik. Fenomena kebangkita Cina, menjadi tekanan politik tersendiri bagi pengambil keputusan di negeri Paman Sam tersebut. Kebuntuan Rebalance of Asia di era Obama, mendorong Trump guna menjadi Indo-Pasifik sebagai sarana guna menjadikan AS kembali mempertahankan superioritas atas Cina melalui perluasan cakupan geografis dengan masuknya Samudera Hindia sekaligus India yang selama ini menjadi simbol kekuatan dominan atas Samudera Hindia.
Kembali pada pertimbangan Kebangkitan Cina di era kontemporer saat ini, adalah soal realisasi mega proyek “One Belt One Roots” (OBOR). Dalam mega proyek tersebut, Cina bersusah memwujudkan jalur terintegrasi yang menghubungkan akses laut yang membentang mulai dari LCS, selat malaka, samudra Hindia, Pakistan, Teluk Persia, Terusan Suez hingga menuju perairan Eropa pada zona maritim dan Zona menghubungan daratan Cina dengan Asia tengah yang melintasi Myenmar, Pakistan, Khazakstan, Samarkhan, Istambul, Moscow, kemudian Dursburg dan bertemu dengan jalur darat di Pelabuhan Venice.
Menjadi potensi ancaman yang berdampak besar bagi hegemoni AS jika mega proyek ekonomi Cina menuju ekspansi global yang terbesar di sepanjang abad ke 21 tersebut benar-benar terwujud. Penggabungan dua geografis samudera ke dalam satu tatanan dibawah kendali hegemoni AS dimana India sebagai Proxy dari kepentingan status quo menjadi hal yang penting guna membendung ekspansi ekonomi global Cina melalui OBOR. Bisa dikatakan bahwa Indo-Pasifik tidak benar-benar berada dalam upaya secara menyeluruh melakukan marginalisasi terhadap Cina, lantaran batasan yang diwujudkan sifatnya lebih terstruktur dimana AS melalui India mampu menghadirkan balancing power terhadap pengaruh kuat Cina di sepanjang negara-negara yang masuk dalam renstra pembangunan OBOR.
Kemudian penekanan AS terhadap Indo-Pasifik juga tentang bagaimana memberikan akses geografis dengan menjadikan wilayah perairan tersebut menganut konsep freedom of navigation dan over flight yang berdasarkan pada hukum laut internasional yang diatur dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982. Dengan melakukan penggabungan Pasifik dan Hindia dalam mekasnisme yang serupa, hal tersebut selanjutnya menjadi tekanan tersendiri dari dunia internasional terhadap laim sepihak atas perairan LCS bagi Cina.
Polugri Indonesia Mendayung Diantara Dua Karang
Baik OBOR maupun Indo-Pasifik keduanya berujung pada penekananterhadap aspek goegrafis, hal tersebut menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindari begi dua negara superpower tersebut. Dalam sudut pandang geopolitik, maka dominasi kekuasaan suatu negara akan berbanding lurus dengan seberapa besar kemampuan negara tersebut dalam menguasa wilayah geografis guna melakukan kontrol serta pemanfaatan yang menunjang bagi kepentingan strategis dari negara tersebut. Hal ini yang menjadi alasan mengapa Indonesia secara geografis berada pada posisi vital bagi pertaurangan geopolitik AS-Cina.
Dalam prespektif Cina, geografis Indonesia khususnya selat Malaka merupakan “pintu gerbang” akses utama zona maritim OBOR untuk selanjutnya melintasi sejumlah titik-titik penghubung pelabuhan-pelabuhan yang tersebar dipersisir Samudera Hindia hingga Timur Tengah dan Afrika. Sebaliknya konsep Indo-pasifik juga menempatkan penekanan dasar dimana lagi-lagi geografis Indonesia menempati posisi strategis yang menjadi titik pertemuan antara Samudera Hindia dan Pasifik.
Disamping faktor geografis, kelebihan yang dimiliki Indonesia adalah perihal kepemimpinan kultural Indonesia dalam ASEAN. Dengan ini semua beranggapan bahwa secara otomatis ASEAN akan menjadi mitra pendukung utama kebijakan global baik AS maupun Cina, setelah Indonesia menunjukan keberpihakannya. Dalam pagelaran KTT ASEAN-India di Rasthrapati Bhawan, India Kamis (25/1/2018) lalu, Presiden Jokowi mengungkapkan konsep kawasan Indo-Pasifik. Dalam pernyataan yang kemduian dikutip oleh Reuters, Jokowi mengatakan akan kepercayaannya melalui mekanisme yang dipimpin ASEAN dan melalui kemitraan ASEAN-India guna mewujudkan kawasan Indo-Pasifik yang damai, stabil dan sejahtera dapat tercapai.
Pernyataan tersebut kian dipertegas dalam KTT ASEAN Ke-32 ASEAN yang digelar di The Acacia Room, Hotel Shang-La, Singapura, pada Sabtu (28/4/2018). Kembali dalam forum tersebut, Indonesia mengusung gagasan kerja sama Indo Pasifik, sebagaimana pengembangan kerangka kerja sama Indo-Pasifik harus berdasarkan prinsip-prinsip terbuka, inklusif, transparan dan mengedepankan kerja sama serta persahabatan. Konsep kerja sama Indo-Pasifik harus tetap mengedepankan sentralitas ASEAN. Dapat disimpulkan bahwa Indonesia berada pada kubuh AS untuk menyemarakan konsep Indo-Pasifik tersebut. Namun dalam kesempatan lain, pemerintah Indonesia secara lantang turut memberikan dukungannya terhadap pelaksanaan OBOR, dan bergabung dengan Cina.
Dengan demikian kemana arah Polugri Indonesia ditengah persangan strategis AS-Cina menjadi sesuatu hal yang sulit untuk dijelaskan. Pertanyaannya adalah apakah Polugri Bebas Aktif menjadi alasan Indonesia guna mengakomodir keduanya juga belum menemui jawaban yang pasti. Argumentasi ditangah para pengambi keputusan tidak lain adalah bahwa baik AS maupun Cina keduanya memiliki cengkraman pengaruh yang sangat kuat bagi Indonesia. Adapun dalam kondisi apapun Indonesia diharapkan tetap harus dapat bermain “dua kaki” guna menunjukan inisiatif baik terhadap kedua negara superpower tersebut. Kemudian apakah hanya dengan berharap bahwa kedua konsep tersebut pada akhirnya akan membawa hal positif bagi keamanan kawasan nampaknya terlalu naif. AS sebagai negara hegemon akan terus berupaya mempertahankan eksistensi, namun disisi lain, Cina hadir sebagai konsekuensi logis atas keinginan guna berada pada posisi yang setara dengan AS.
Tentunya apa yang dapat dipetik dari konsekuensi ini adalah tentang bagaimana Indonesia dapat memainkan peran penting sekaligus mengambil keuntungan strategis ditengah persaingan AS-Cina. Selain itu aspek pertibangan ekonomis juga tidak luput dari bagaimana cara diplomsi Indonesia melihat serta membaca setiap kondisi yang kemungkinan besar akan membuka peluang bagi Indonesia untuk dapat berperan aktif, atau jsutru malah sebaliknya. Akibat ketiadaan sikap keberpihakan tertentu akan berdampak negatif bagi Indonesia yang tidak lain hanya akan menjadi “alat” kepentingan bagi kedua negara superpower tersebut.
Penulis: Sony Iriawan Alumnus Universitas Pertahanan, Pemerhati studi geopolitik Kawasan dan Keamanan Internasional