Jakarta, Teritorial.com – Satrio Wahono Magister Filsafat UI dan Pengajar Filsafat Pancasila di Universitas Pancasila
SEIRING rangkaian peristiwa teror belakangan ini yang terjadi mulai dari penyanderaan aparat penegak hukum oleh narapidana teroris di Mako Brimob Kelapa Dua, aksi bom bunuh diri di gereja di Surabaya hingga meledaknya bom di rumah susun Sidoarjo dan sebagainya membuat upaya pemberantasan terorisme kian mendapatkan urgensinya.
Setelah cukup lama terlena dengan persepsi kesuksesan polisi menggulung sejumlah aksi teror, rangkaian aksi teror terbaru di atas—yang kian tereskalasi karena melibatkan pula anak kecil menjadi semacam wakeup call (alarm keras) bahwa terorisme masih jauh dari padam di bumi Nusantara ini. Tak kurang dari pemerintah dan DPR sampai harus mengebut pembahasan revisi UU Terorisme yang akhirnya disahkan pada Kamis 24 Mei 2018.
Di sisi lain, di luar upaya konkret untuk merapatkan barisan pertahanan bangsa melawan terorisme, ikhtiar untuk menelaah hakikat terorisme juga tak kalah penting. Dengan kata lain, kita harus berupaya menelisik ontologi terorisme atau mencari hakikat tentang realitas terorisme mengingat ontologi adalah salah satu cabang filsafat yang membahas apa yang ada (being) sebagaimana terkandung dalam pengertian etimologisnya: ilmu (logos) tentang ontik atau pengada.
Idealis-Materialis
Dalam ranah ontologi, terdapat dua aliran besar. Pertama, idealisme yang menyatakan bahwa Realitas yang hakiki adalah Ide, yang dalam hal ini bisa disederhanakan sebagai Ide Absolut yang memiliki berbagai nama seperti Nan Ada atau Tuhan. Kedua, materialisme yang berdalil bahwa realitas yang hakiki adalah materi yang kemudian menyusun dirinya sendiri guna membentuk realitas sebagaimana yang kita kenal saat ini. Alhasil penganut materialisme ini biasanya tidak meyakini keberadaan Tuhan sebagai pencipta realitas.
Dari kerangka di atas, kita bisa berargumen bahwa pangkal utama ontologi terorisme adalah pandangan tentang tatanan Ilahi (Ide Absolut) di muka bumi sebagai hal yang ideal untuk menggantikan tatanan dunia masa kini yang penuh kerusakan, pemberhalaan terhadap materi, dan berkubang dosa. Karena itu muncullah cita-cita untuk menggantikan sistem politik yang ada dengan sistem politik baru berbasiskan nilai-nilai teologis (agama) yang diklaim para penganutnya sebagai yang paling benar.
Selanjutnya, akibat dari keinginan untuk mengimplementasikan cita-cita idealisme itu secara konkret dalam bentuk gerakan, diperlukan pengenalan terhadap realitas materi berupa telaah terhadap kondisi sosial-budaya masyarakat yang ingin diubah.
Artinya tercakup pula pengakuan terhadap materi beserta hukum-hukum universalnya sebagai realitas dalam rangka mengejawantahkan kesadaran materialistis ini ke dalam gerakan praksis yang konkret untuk mengubah keadaan yang diidealkan.
Dengan kata lain, ontologi terorisme adalah racikan antara idealisme dengan materialisme di mana idealisme adalah bahan (ingredient) pokoknya. Langkah selanjutnya dari ontologi ini adalah perumusan satu format teologi yang kian mengeraskan cita-cita perombakan tatanan sekuler yang rusak.
Ringkasnya, ontologi perlu menubuh menjadi teologi guna memberikan orientasi yang lebih pasti bagi satu gerakan, dalam hal ini gerakan terorisme. Merujuk pada Ilyasin, Abzar, dan Kamaluddin (Teroris dan Agama, Prenada, 2017), teologi yang dianut mayoritas pelaku aksi teror adalah teologi eksklusif yang meyakini kebenaran hanya ada pada kelompok mereka hingga menafikan mereka yang memiliki keyakinan lain (the Other), baik mereka yang beragama lain (antaragama) maupun di dalam satu agama dengan varian teologis yang berbeda (intraagama).
Kalangan Atas-Eksakta
Konsekuensi lebih jauh dari ontologi idealis-materialis dalam gerakan terorisme berbasiskan teologi eksklusif adalah fakta bahwa terorisme tidak lagi dominan dilakukan atau dianut oleh mereka yang datang dari kalangan marginal, tertindas, kelas bawah, dan miskin.
Penelitian antropolog Diego dan Steffen Hertog sebagaimana dikutip Bagus Laksana dalam Seminar “Membuka Cakrawala Toleransi” (22 September 2017) menunjukkan kenyataan mengejutkan bahwa gerakan radikal sekarang ini lebih menggoda mereka yang berlatar pendidikan universitas dan ilmu eksakta, terutama teknik.
Mengapa demikian? Karena para insinyur atau mereka yang berlatar belakang eksakta itu berdasarkan fitrah ilmunya memang berorientasi pada ontologi materialisme dari segi disiplin akademik.
Alhasil mereka sukses secara profesi dan finansial, tapi tidak memiliki ketahanan untuk bersikap terhadap ambiguitas dan kompromi. Justru mereka terobsesi pada keteraturan, presisi, dan kepastian sehingga teologi yang eksklusif, kaku, tapi memberikan kepastian lebih cocok bagi mereka.
Dan argumen ini mendapatkan validitasnya tatkala kita melihat bahwa pelaku bom bunuh diri sekeluarga di Surabaya adalah mereka yang mapan secara ekonomi dan berlatar belakang pendidikan eksakta. Lantas bagaimana kita mencegah kian menyebarluasnya ontologi idealis-materialis terorisme yang kemudian mewujud menjadi teologi eksklusif? Caranya adalah dengan menyebarluaskan pula pola pikir kritis semaksimal mungkin ke khalayak luas.
Sudah saatnya mata pelajaran-mata pelajaran atau mata kuliah mata kuliah yang merangsang pemikiran kritis seperti etika, filsafat, dan dasar-dasar logika diberikan minimal sedari SMA dan lebih khusus lagi di jurusan jurusan eksakta perguruan tinggi.
Tambahan lagi, penyisipan item-item HOTS (higher order thinking skills) dalam soal-soal ujian tidak semata-mata soal hafalan juga akan merangsang pemikiran kritis sejak dini. Berbekal solusi berbasiskan ontologi terorisme ini, semoga bumi pertiwi tidak akan menangis lagi karena aksi-aksi pelaku gerakan terorisme yang keji.