Terorisme telah terjadi sepanjang sejarah kehidupan hubungan antar manusia dan terus berkembang sesuai dengan perubahan zaman. Adapun jika kita mempelajari tentang terorisme, terdapat berbagai definisi terorisme oleh para pakar dan oleh beberapa negara tergantung perspektif masing-masing dalam melihat tentang aksi terorisme tersebut. Di banyak negara dan oleh banyak pakar, terorisme tidak dipandang terbatas hanya sebagai suatu tindak pidana saja, akan tetapi lebih luas mencakup dimensi politik dan sosial. Definisi dalam kamus spionase, terorisme diartikan sebagai: pengguna kekuatan atau kekerasan yang tidak sah untuk mengintimidasi, memaksa, melawan dan bahkan membunuh orang, masyarakat, pemerintah, untuk kepentingan politik atau tujuan sosial lainnya (Becket, 1986). Demikian pula Brian Jenkins dalam Hendropriyono (2009), menyatakan bahwa terorisme adalah..the use of threaten use of force designed to bring about political change,.. (penggunaan atau ancaman penggunaan kekerasan, yang bertujuan untuk mencapai terjadinya perubahan politik). US Federal Buerau of Investigation (FBI) menyatakan bahwa terorisme adalah penggunaan kekerasan tidak sah atau kekerasan atas seseorang atau harta untuk mengintimidasi sebuah pemerintah, penduduk sipil elemen-elemen untuk mencapai tujuan sosial atau politik (Jainuri dkk, 2003).
Definisi-definisi ini bukan tanpa dasar, akan tetapi sudah melalui berbagai penelitian, seperti termuat dalam sebuah laporan hasil penelitian yang diberi judul The Sociology and Psychology of Terorism: who become a Terorrist and why?, yang mana mereka sampai pada kesimpulan bahwa kelompok teroris memiliki 5 ciri, yakni: separatis-nasionalis, fundamentalis-religius, religius baru, revolusioner sosial dan teroris sayap kanan. Klasifikasi kelompok ini didasarkan pada asumsi bahwa kelompok-kelompok teroris dapat dikategorikan menurut latar belakang politik dan ideology (Hudson, 1999). Demikian pula hasil penelitian Jenderal (Purn) Prof.Dr. A.M Hendropriyono (2009) dalam disertasi program doktornya yang ditulis dalam bukunya yang berjudul Terorisme: Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam yang menyatakan bahwa “jika terorisme diibaratkan sebagai sebuah pohon, maka para teroris hanya merupakan daun-daun dari pohon tersebut, batang dan ranting-ranting pohon tersebut merupakan organisasinya, serta filsafat atau ideologinya adalah akarnya”, sementara ketidakadilan global dan kemiskinan adalah pupuk yang menyuburkan pohon terorisme. Artinya bahwa akar dari terorisme kontemporer adalah adanya ideologi yang tentunya memiliki tujuan politik. Namun untuk konteks Indonesia saat ini, terorisme diartikan sebagai tindak pidana saja sebagaimana diamanatkan dalam UU nomor 15 tahun 2003 tentang tindak pidana terorisme.
Latar Belakang Lahirnya UU NO.15 Tahun 2003
Jika kita menengok ke belakang, sebenarnya proses lahirnya UU No.15 Tahun 2003 tentang tindak pidana terorisme dapat dikatakan mendadak dan tergesa-gesa diakibatkan kejadian teror Bom Bali tahun 2002 dan beberapa kejadian bom sebelumnya, sehingga bersifat darurat.
Pasca tragedi 11 September 2001 Indonesia sendiri belum menganggap aksi pemboman yang terjadi di dalam negeri sebagai aksi terorisme tetapi masih dianggap sebagai aksi separatis/pengacau keamanan seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan sebagainya. Pemerintah Indonesia baru menganggap adanya aksi Terorisme di Indonesia, setelah terjadinya Tragedi Bom Bali I, tanggal 12 Oktober 2002 yang merupakan tindakan teror, menimbulkan korban sipil terbesar sepanjang sejarah Indonesia, yaitu menewaskan 202 orang dan melukai lebih dari 200 orang. Hal ini terbukti pasca tragedi Bom Bali I, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2002, yang pada tanggal 4 April 2003 kemudian disahkan menjadi Undang-Undang RI Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Undang-Undang ini dikeluarkan mengingat peraturan yang ada yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) belum memadai untuk menjerat pelaku teror tersebut. Sementara efek teror yang ditimbulkan oleh tragedi di Bali dirasakan begitu besar dampaknya bagi negara dan bangsa Indonesia, sehingga saat itu pemerintah berkewajiban untuk secepatnya mengusut tuntas aksi teror tersebut dengan memidanakan pelaku dan aktor intelektual dibalik peristiwa tersebut. Oleh karena prioritas utama pemerintah saat itu adalah menyiapkan perangkat hukum yang mengatur tentang tindak pidana terorisme untuk melaksanakan penegakan hukum, sehingga ruang lingkup undang-undang yang dibuat masih terbatas pada menangani terorisme setelah terjadinya teror yang dianggap sebagai tindakan kriminal, dan dikecualikan dari tindak pidana yang bermotif politik sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 5 Undang-Undang RI Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Hal itu ditunjukkan pula dari judul undang-undangnya yaitu Undang-undang tentang “tindak pidana” terorisme.
Namun seperti dijelaskan diatas dan dengan melihat perkembangan terorisme saat ini, aksi teror yang ada tidak bermotif kriminal murni tetapi bertujuan politik, seperti kehadiran kelompok Al-Qaeda, ISIS dan sejenisnya, dimana menurut berbagai penelitian, mereka secara jelas memiliki tujuan politik yaitu ingin mendirikan negara versi mereka atau ingin mengganti sistem dan ideologi negara. Artinya beberapa aksi terorisme yang terjadi saat ini merupakan bagian dari strategi perang suatu kelompok dalam rangka makar, separatisme atau ingin membentuk negara versi mereka sehingga sudah mengancam eksistensi, kedaulatan serta keutuhan bangsa dan negara (contoh yg dilakukan ISIS di Timur Tengah dan Marawi Philipina saat ini). Pertanyaannya adalah apakah terorisme dengan tipe seperti ini bisa diatasi hanya dengan paradigma criminal justice/Hanya kepolisian saja yang menghadapi? Apakah kepolisian sanggup sendirian menanganinya?. Contohnya, aksi kelompok yang berafiliasi dengan ISIS di Marawi, apakah aparat kepolisian sendirian yang menghadapi? Tidak! Melainkan ada kerjasama yang baik antara militer, kepolisian dan Intelijen, karena mereka sudah merupakan pergerakan yang bermotif ideologi dan politik dan mereka memiliki kemampuan perekrutan, pelatihan, dan mobilisasi pasukan-pasukan yang memiliki kemampuan baik perang kota, gerilya maupun perang hutan serta kemampuan intelijen yang mengancam eksistensi negara (Bahkan untuk kasus Marawi, operasi militer akhirnya digelar untuk memberantas kelompok tersebut). Oleh karena itu menurut penulis, sudah selayaknya diperlukan penyempurnaan dalam pendekatan penanganannya yaitu semula hanya dari perspektif penegakan hukum (criminal justice approach) saja, menjadi pendekatan keamanan nasional (national security approach).
Dimana Posisi TNI?
Penanganan terorisme di hampir seluruh negara selalu melibatkan aktor keamanan nasional baik militer, kepolisian, Intelijen maupun lainnya, contohnya di USA yang tertera dalam National Security Strategy of US. Demikian pula India membentuk The National Counter Terrorism Centre yang mengkoordinir, memadukan dan menggunakan aktor aktor keamanan nasional termasuk militer dalam penanganan terorisme tergantung jenis dan skala aksi dari kelompok teror yang dihadapi. Keterlibatan militer juga terjadi di banyak negara seperti Rusia, Turki, Pakistan, Inggris dll. Di Indonesia sebenarnya, militer juga diijinkan terlibat, sebagaimana dituangkan dalam Pasal 7 ayat (2) UU TNI, namun permasalahannya tidak ada undang-undang turunan yang mengatur seperti apa perannya, dan untuk saat ini sulit juga membuat peraturan turunannya, karena bisa berbenturan dengan undang-undang lain tentang terorisme yaitu UU No. 15 Tahun 2003. Menurut hemat penulis, tugas TNI dalam hal terorisme sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang TNI ini, seharusnya diadopsi oleh UU tentang terorisme yang ada, untuk memperjelas posisi TNI dalam pemberantasan terorisme itu, seperti apa?.
Dengan tidak diatur apa saja peran TNI dalam undang-undang terorisme akan mengakibatkan pertama, presiden sebagai pengguna TNI memiliki kesulitan dalam menentukan kapan TNI harus dilibatkan dan kapan tidak boleh. Kedua, karena TNI tidak tahu kapan dan dalam hal apa saja keterlibatannya, maka akan berpengaruh pada aspek mempersiapkan jenis kemampuan apa saja yang harus dimiliki dan jenis latihan apa saja yang harus dilaksanakan TNI dalam hal pemberantasan terorisme, sementara dari segi undang-undang, TNI diperintahkan harus siap mengatasi aksi terorisme. Ketiga, kondisi ini berpotensi menimbulkan gesekan antara TNI dan Polri, karena TNI akan menterjemahkan sendiri perannya dalam pemberantasan terorisme karena sesuai dengan undang-undang, TNI juga memiliki wewenang untuk itu. Disisi lain Polri akan menjalankan tugas penegakan hukum terhadap aksi terorisme sesuai dengan penilaian bahwa teror tersebut baru sebatas tindak pidana. Kondisi ini tentunya tidak baik, karena pada ujungnya justru bangsa kita tidak bisa menanggulangi permasalahan terorisme secara efektif. Dengan kata lain dengan adanya ketidakjelasan ruang gerak TNI dalam pemberantasan terorisme ini akan berdampak buruk bagi pemberantasan terorisme itu sendiri.
Jika melihat tugas dan tanggungjawab TNI, sebenarnya kita sudah bisa tahu dimana saja TNI bisa terlibat dalam pemberantasan terorisme. UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI pasal 6 menyatakan “ Fungsi TNI adalah penangkal terhadap setiap bentuk ancaman militer dan ancaman bersenjata dari luar dan dalam negeri terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa, dan penindak terhadap setiap bentuk ancaman sebagaimana disebutkan di atas”. Adapun tugas pokok TNI (pasal 7) adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Artinya bahwa suatu tindakan yang sudah mengancam kedaulatan dan keutuhan negara, atau dalam teori keamanan nasional (national security theory) termasuk dalam “ancaman mutlak” terhadap suatu negara, maka Militer akan menghadapinya. Dengan kata lain kelompok teror yang sudah dikategorikan mengancam dan bertujuan makar, separatisme, mengganti ideologi dan bentuk negara atau sudah dalam skala mengancam dan membahayakan eksistensi bernegara, maka TNI bisa diturunkan, dan hal itu sesuai juga dengan bunyi pasal 7 ayat (2) dimana salah satu tugas pokok TNI dalam OMSP adalah mengatasi aksi terorisme. Contohnya TNI yang menangani aksi pembajakan pesawat garuda Indonesia yang dikenal sebagai peristiwa Wolya, pembebasan sandera kapal Sinar Kudus, TNI juga terlibat dalam memburu kelompok Santoso di Poso.
TNI juga bisa dilibatkan dalam pencegahan, deteksi dini atau penangkalan. Hal itu sesuai dengan doktrin pertahanan kita, dimana dalam doktrin pertahanan kita disebutkan strategi menghadapi setiap ancaman adalah dengan memadukan seluruh kekuatan bangsa, baik kekuatan militer maupun nirmiliter. Keberadaan komando-komando kewilayahan salah satunya untuk tugas itu, dan kenyataannya sudah terbukti efektif dalam menangkal ancaman- ancaman yang muncul. Oleh karena itu TNI bisa juga dilibatkan dalam hal pencegahan, deteksi dini atau penangkalan dalam hal penanggulangan terorisme dengan memanfaatkan komando kewilayahan.
Revisi UU Terorisme
Saat ini sedang dilaksanakan revisi terhadap UU No.15 Tahun 2003 tentang tindak pidana terorisme. Menurut hemat penulis, substansi revisi UU ini sebaiknya tidak berbicara hanya tindak pidana saja, akan tetapi menyangkut penanggulangan terorisme secara keseluruhan, mulai dari aksi tindak pidananya, pencegahan, penangkalan, penanganan korban, rehabilitasi pelaku, hak asasi, sampai pada terorisme yang sudah mengancam kedaulatan negara. Oleh karena selayaknya Undang-undangnya berjudul “UU tentang penanggulangan aksi Terorisme” (sebagaimana usulan Panglima TNI). UU ini harus mengatur secara jelas tentang pembagian kewenangan seperti, kapan dan situasi apa polisi sebagai leading sector dan komponen lain sebatas membantu. Dalam kondisi, situasi kapan dan bagaimana TNI bisa terlibat dalam penindakan, apa saja yang boleh dilakukan TNI, BIN dan instansi lain. Misalnya TNI dan BIN hanya dibatasi untuk penindakan dalam kondisi tertentu, melaksanakan deteksi dini dan pencegahan, atau hal lain. Demikian pula dengan kewenangan/peran stakeholder lain seperti kementerian agama, kementerian sosial dll harus diperjelas dalam revisi UU terorisme agar penanggulangan terorisme bersifat holistik dan komprehensif. Menurut penulis, memasukan peran TNI dalam UU penanggulangan terorisme sangatlah tepat, karena disamping alasan diatas, juga sekaligus akan memperjelas batasan/koridor tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme, yang juga merupakan salah satu tugas TNI sebagaimana diamanatkan dalam UU TNI.
Urgensinya Keberadaan Dewan Keamanan Nasional (DKN)
Mengikuti alur pikir diatas, dan seandainya UU sudah direvisi seperti usulan diatas, maka akan timbul pertanyaan, kapan dan pada situasi apa suatu kelompok teroris sudah dianggap mengancam kepentingan mutlak (mengancam kedaulatan dan keselamatan negara) sehingga TNI harus sebagai penindak atau ikut terlibat dalam penindakan? siapa yang mempunyai otoritas menilai kondisi tersebut?. TNI dalam hal ini tidak memiliki wewenang menentukan kondisi tersebut. Di dalam UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI disebutkan TNI dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Artinya bahwa TNI hanya sebagai pelaksana dari keputusan yang diambil oleh negara dalam hal ini presiden. Di negara-negara lain seperti Rusia, Amerika Serikat, Turki, Pakistan,Korea Selatan, Iran, Jepang, India dan banyak negara lain ada yang namanya National Security Council (Dewan Keamanan Nasional/DKN). Lembaga ini adalah lembaga sipil yang diketuai oleh presiden, memiliki anggota tetap dan tidak tetap yaitu para menteri terkait, termasuk Panglima/Chairman of the Join chiefs of staff Military, Kepala Kepolisian dan Kepala Intelijen (Al-Rodhan, 2008). DKN berfungsi semacam penasihat presiden di bidang keamanan nasional. Dewan ini yang kesehariannya dijalankan oleh Sektretariat Jenderal-nya akan menilai, mengkaji, menganalisis dan merekomendasikan masalah keamanan nasional dari berbagai aspek, dan pada ujungnya presiden sebagai ketua dewan keamanan akan mengambil keputusan “politik” terkait suatu isu keamanan nasional. Lembaga ini juga membantu presiden dalam menilai, mengkaji dan merekomendasikan status keadaan bahaya/darurat (darurat sipil, darurat militer keadaan perang). Seperti kita ketahui bersama, bahwa sampai saat ini belum ada lembaga di Indonesia yang secara undang-undang memiliki tugas dan fungsi mengkaji, menilai dan merekomendasikan kepada presiden mengenai keadaan bahaya/status darurat, dimana presiden sesuai dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 Tentang Penetapan Keadaan Bahaya, memiliki wewenang untuk menetapkan kondisi tersebut.
Menurut penulis, keberadaan DKN akan membuat penanganan masalah keamanan nasional menjadi lebih terintegrasi, terkoordinasi, terkontrol, efektif dan efisien. Contohnya, DKN akan mengacu kepada undang-undang terorisme dan undang undang lainnya untuk membuat kriteria atau parameter kondisi apa saja dan situasi apa saja TNI bisa diturunkan, sehingga keputusan menggunakan TNI atau tidak dalam penanggulangan suatu kelompok teroris atau suatu aksi terorisme akan diambil presiden melalui proses kajian dan pertimbangan DKN terlebih dahulu berdasarkan analisa dan pertimbangan yang kompehensif berdasarkan kriteria tersebut. Oleh karena itu dengan adanya DKN, kita tidak akan mendengar TNI secara sepihak mengklaim bahwa suatu aksi terorisme sudah mengancam keamanan dan keselamatan bangsa dan negara dan merasa berhak menindak, atau sebaliknya Polri merasa aksi terorisme tersebut hanya kriminal murni saja, dengan kata lain tidak akan terjadi tarik menarik kepentingan berdasarkan ego sektoral. Demikian juga dalam hal masalah keamanan lain termasuk penetapan keadaan bahaya/darurat, dimana dengan adanya DKN, presiden memiliki lembaga yang secara profesional menilai dan mengkaji suatu keadaan kondisi keamanan dan bisa memberikan rekomendasi yang lebih kredibel kepada presiden.
Pada tahun 1954 Indonesia sebenarnya pernah memiliki DKN yang membantu presiden dalam isu-isu yang berhubungan dengan keamanan nasional. Sebenarnya, dengan melihat potensi ancaman terhadap negara saat ini yang sudah bersifat asimetris dan kompleks, sudah selayaknya pemerintah memikirkan dan mempertimbangkan dibentuknya lagi DKN agar penanganan masalah keamanan nasional bisa lebih tepat, terarah, terintegrasi dan terkontrol dengan baik, apalagi pembentukan DKN sebenarnya sudah masuk dalam RPJMN 2015-2019 pemerintahan yang sekarang. Dalam RPJMN 2015-2019 dikatakan bahwa program pemerintahan sekarang adalah melaksanakan Reformasi Sektor Keamanan (RSK) dengan meredefinisi konsep keamanan nasional baik pada aspek hukum maupun institusionalnya, dengan sasaran terbangunnya sistem keamanan nasional yang terintegrasi, dan salah satu strategi yang akan dilaksanakan dalam RPJMN tersebut adalah pembentukan Dewan Keamanan Nasional (Kementerian PPN, 2015).
Penulis: Kolonel Tek. B.D.O Siagian, S.E, M.Si (Han).
Anjak. Bid. Polkam Depsisnas Setjen Wantannas
AAU, Sekkau, Seskoau, dan S2 Universitas Pertahanan Indonesia
Referensi:
- Al-Rodhan, Nayef R.F, 2008, “The Three Pillars of Sustainable National Security in a Transnational World”, Transaction Publisher, London.
- Bappenas, Kementerian PPN, “Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019”, Buku 2, Jakarta
- Deolankar, Dr. Shailendra (2016) Reexamining India’s Counter Terrorism Strategy, Global Journal of Political Science and Administration Vol 4, No.5, pp.1-8, December 2016
- Hendropriyono, A.M, 2009, Terorisme Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam, Kompas Media Nusantara, Jakarta
- Henry S.A. Becket,The Dictionary of Espionage, New York:Stein and Day Publisher, 1986
- Hudson, Rex A, 1999, “The Sociology and Psychology of Terorism: who become a Terorrist and why?”, The Library of Congress USA
- Jainuri, Ahmad, Zainuddun Maliki, dkk, Terorisme & Fundamentalisme Agama: Sebuah Tafsir Sosial, Bayumedia Publishing, Malang, 2003
- Undang Undang Republik Indonesia No.34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, Jakarta
- Undang-Undang RI Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Jakarta