Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan
Jakarta, Teritorial.com – Mencermati pemberitaan freedomnews.id pada 24 Mei 2023 dengan judul “Dua Belas Tokoh Jawa Barat Silaturahmi Dengan Pangdam III Siliwangi”, perlu kita sedikit meluangkan waktu menelaah arti berita tersebut.
Khususnya dalam rangka melihat arah demokrasi kita ke depan. Sebab, 12 orang tersebut adalah tokoh-tokoh oposisi garis keras.
Setelah reformasi 1998, pertemuan aktifis dengan tentara resmi ini, kelihatannya baru pertama kali terjadi.
Pertemuan ini sepertinya merupakan bagian lanjut dari rangkaian pernyataan awal yang diutarakan Mayjen Kunto Arief Wibowo, Pangdam Siliwangi April lalu di Kompas Online. Dia menulis “Etika Menuju 2024”.
Tulisan itu, dengan pendekatan ilmu komunikasi, terkesan sangat galak, karena memberikan “warning” kepada pemerintah dan elit politik dalam 3 hal, yakni pertama, ketiadaan “gate-keeping”, kedua, provokasi perlu terapi dan ketiga potensi curang. Meski mengklaim sebatas urusan Siliwangi (Jabar/Banten), tapi tulisan Kunto telah dibicarakan secara nasional.
Ketiadaan “gate-keeping” dalam alam digital dan media sosial saat ini, menurut Kunto karena sekarang semua orang telah menjadi penyebar berita. Di masa lalu media tradisionallah penyebar dan sekaligus penanggung jawab berita.
Dengan bebasnya saat ini menyebarkan berita, maka tingkat literasi menjadi instrumen kemampuan menyaring berita. Hal ini menjadi tantangan besar. Sebab, tingkat literasi rakyat kita masih sangat rendah. Hasutan-hasutan di masyarakat akan menjadi momok ke depan.
Kemudian Kunto menegaskan perlu “terapi” untuk mengendalikan provokasi. Terapi dalam bahas militer dapat berarti segala upaya penangkalan dini. Tapi bisa juga “coercive action”.
Terakhir, Kunto memberikan peringatan untuk tidak bermain curang dalam pemilu.
Isu curang itu ternyata sangat sensitif. Pemilu Jujur, adil dan bebas/rahasia sulit dilakukan. Sekarang, main curang berarti bisa pada fase pra pemilu, saat pemilu dan paska pemilu. Kecurangan pra pemilu bisa dilakukan dengan upaya-upaya penyingkiran kandidat capres secara jahat, misalnya.
Diakhir pemilu dengan rekayasa IT. Di saat pemilu dengan menggerakkan aparatur negara dan birokrasi. Kunto kelihatannya telah mencium hal itu.
Menurut Kunto, tentara siap untuk mengambil langkah dini jika negara mengalami ancaman perpecahan.
Tulisan Kunto tersebut di atas adalah jelas-jelas menunjukkan pikirannya sebagian jenderal militer tentang politik kita saat ini. Dalam era demokrasi, biasanya militer menjaga jarak dari tulisan yang dianggap ranah sipil.
Namun, tentu saja kita tidak bisa langsung menghakimi hal itu sebagai intervensi militer pada politik sipil. Atau jika intervensi maka itu merupakan keburukan? Mengapa?
Setelah 25 tahun berakhirnya politik militer di Indonesia pada 1998 lalu, militer sudah jelas menarik diri pada urusan politik. Namun, mereka tentu saja bukan hidup dialam hampa tanpa melihat apa yang terjadi ketika pemerintahan sipil berkuasa dan kita mengklaim Indonesia sudah menjadi salah satu negara demokratis terbesar di dunia.
Pertama, orang-orang purnawirawan yang telah menjadi jenderal-jenderal era Orde Baru berkuasa masih banyak yang masih hidup. Mereka ini mampu mengkomparasi apa yang dahulu dimaksudkan oleh niat demokrasi sesungguhnya.
Misalnya, dengan memisahkan polisi dan TNI, berarti polisi tidak mempunyai kekuatan “combatan”. Namun, saat ini terkesan malah polisi justru melakukan praktek yang sama seperti yang dituduhkan mahasiswa tahun 1998 pada militer, mempunyai pasukan kombatan dengan senjata canggih dan melakukan dwi fungsi politik.
Dahulu, semua jabatan sipil, baik di kementerian, lembaga negara, pemerintah daerah dan lembaga lainnya menjadi sasaran tentara untuk berkarya.
Saat ini, polisi melakukan hal yang hampir sama. Itu yang dimaksudkan sebagai dwi fungsi, di mana TNI sudah meninggalkannya sejak reformasi 1998.
Kedua, tuduhan yang menghinakan peranan militer dalam pemerintahan Orde Baru, saat ini sudah dapat dibandingkan dari sisi baik-buruknya pembangunan nasional. Dahulu tuduhan eksplorasi besar-besaran kekayaan alam dan kemiskinan rakyat dikambinghitamkan pada militer.
Tentara dituduh sebagai biang kerok pembabatan hutan, misalnya. Namun, 25 tahun reformasi tanpa keterlibatan militer, justru eksploitasi kekayaan alam semakin liar, kemiskinan semakin parah dan kesenjangan sosial semakin besar.
Akhirnya fakta-fakta ini akan mengkoreksi kepercayaan diri militer yang selama ini banyak mengalah. Misalnya, kenapa militer minta MK memperpanjang usia pengabdian/pensiun dua tahun saja di tolak? Sedangkan masa pejabat pimpinan KPK dan MK dikabulkan? Ketidakadilan seperti ini akan membuat refleksi tentara melihat otoritas sipil berbuat seenak maunya saja.
Ketiga, Kunto dan kawan-kawan yang mulai mengkritik elit-elit sipil adalah perwira tinggi dengan latar belakang pendidikan dan keluarga yang terhormat.
Sebagai anak mantan panglima TNI/Polisi (ABRI) dan wakil presiden, Kunto pastinya mempunyai kemampuan ekstra di atas rata-rata perwira lainnya dalam memahami politik.
Sebagai militer dia mungkin tunduk pada profesionalisme, namun sebagai anak tokoh bangsa, dia pastinya mempunyai preferensi politik yang inherent atau melekat pada dirinya sebagai manusia.
Jika preferensi politik Kunto mirip Napoleon Bonaparte maka seperti yang terjadi di Prancis dulu, Napoleon menyekap semua anggota parlemen selama berbulan-bulan tidak boleh keluar gedung, demi menghasilkan Undang-undang Dasar mereka.
Jika preferensi politik Kunto seperti Suharto maka Kunto mengantisipasi perang saudara karena kebanyakan propaganda dan provokasi. Jika terjadi seperti tahun 1965, maka Kunto akan bergerak seperti Suharto, mengambil alih kekuasaan.
Belum jelas ke arah mana pilihan atau sikap politik Kunto pastinya. Hanya saja, pertemuan politik Kunto dan tokoh-tokoh oposisi di Jawa Barat (Radhar Tri Baskoro, dkk) disebutkan diawal, tentu cukup mengisyaratkan kemungkinan adanya intervensi militer dalam politik kita ke depan, setidaknya di Jawa Barat.
Persoalannya, apakah adanya intervensi militer itu sebuah kejahatan? Dalam demokrasi sesungguhnya itu adalah kejahatan. Tetapi, jika kejahatan justru terjadi atas nama demokrasi maka moralitas militer untuk melakukan intervensi politik akan mendapatkan support moral dari rakyat. Dan ke mana rakyat berpihak menunjukkan virtue atau kebajikan itu berlangsung.
Sejatinya, musuh besar yang dirasakan bangsa saat ini adalah kejahatan otoritas rezim sipil dan kaum cukong yang sedang berlangsung, memperalat kekuasaan mereka untuk terus tetap berkuasa. Ini pastinya akan membawa keterpecahan bangsa. Akan ada situasi genting di depan.
Penutup
Kegelisahan militer yang disuarakan Mayjen Kunto Arif, Panglima Daerah Militer Siliwangi, yang disampaikan melalui tulisannya April lalu di Kompas Online adalah kesadaran politik seorang perwira tinggi “berdarah biru”.
Sebagai anak mantan Wakil Presiden dan Panglima ABRI (TNI/Polri), secara inherent/melekat, kemampuan berpikir politik Kunto tentu di atas kemampuan sejawatnya. Dan Kunto pasti mempunyai preferensi politik dan kepercayaan diri yang besar untuk menilai situasi.
Jika kejahatan bernegara dilakukan terus menerus atas nama demokrasi sipil, seperti merajalelanya korupsi, dan juga upaya merusak demokrasi dengan menunda ataupun mengatur capres yang boleh berkompetisi dalam pemilu 2024 maka klaim superioritas sipil atas militer selama 25 tahun telah mengalami kegagalan etik. Intervensi militer tentu saja bukan dianggap sebagai sebuah kejahatan, melainkan akan dirindukan rakyatnya.
Pemilu 2024 harus menjadi kerja keras elit-elit sipil meyakinkan militer bahwa demokrasi akan berjalan baik. Tidak ada kecurangan pemilu dan tidak terlalu banyak provokasi. Dan tentu militer tidak boleh disingkirkan dari keberadaan negara. Semoga Indonesia selamat dari tantangan yang disampaikan Mayjen Kunto tersebut.***
Penulis aktif di Sabang Merauke Circle.