Jakarta, Teritorial.Com – Kemenangan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 17 April 2019 lalu menyisakan kekhawatiran yang mendalam bagi masa depan demokrasi Indonesia. Peristiwa kerusuhan yang sempat melanda ibukota pasca putusan resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadi tantangan bagi kehidupan berdemokrasi di negeri ini yang baru dua puluh satu tahun. Akibatnya, terjadi polarisasi politik, sosial, dan budaya terjadi pada level elit hingga masyarakat. Jika dibiarkan, potensi perpecahan atau disintegrasi bangsa bisa saja muncul dan menjadi ancaman bagi tegaknya NKRI yang kita cintai ini.
Prosedural atau Substansial?
Dua puluh satu tahun bukanlah tanda bahwa demokrasi kita sudah berjalan efektif, di mana demokrasi substansial menjadi prioritas. Namun, dua puluh satu tahun demokrasi kita, terutama pasca pilpres kali ini, menyadarkan kita bahwa implementasi demokrasi di Indonesia masih fragile. Demokrasi yang terjadi baru sebatas prosedural, yaitu bahwa kita mampu melaksanakan prosesnya dengan baik, contohnya seperti pemilu atau pilkada berjalan rutin lima tahun sekali, serta adanya perangkat demokrasi, seperti eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Kemudian, mengapa baru sebatas prosedural, bukannya substansial? Penulis merasa bangsa ini mampu dengan baik menyelenggarakan pesta rakyat ini dengan sangat luar biasa baiknya. Sejak 1999, pelaksanaan pemilu berjalan relatif tanpa hambatan berarti. Ditambah dengan pilkada, yang juga menggunakan sistem demokrasi langsung, praktis prosedur menjalankan pemilihan umum sudah dapat dilakukan dengan optimal.
Semua perangkat yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan sebuah pemilihan politik berskala besar sudah disiapkan, mulai dari kesiapan aturan, penyelenggaran, sampai pada pesertanya. Namun, ada yang kurang dalam pelaksanaan pemilu macam itu. Demokrasi tidak hanya soal prosedural belaka. Pemilu bukan hanya sekedar dilakukan, seperti rakyat mencoblos dan wakil rakyat dicoblos. Demokrasi harus dilakukan secara substansial, yaitu dengan menerima hasilnya dengan baik.
Demokrasi tidak diukur dari seberapa bagusnya instrumen yang disiapkan, namun dari seberapa bagusnya peserta yang ambil bagian untuk menyikapi hasilnya. Jangan melihat demokrasi sebagai sebuah hal yang tangible, namun intagible. Kaum demokrat sejati adalah mereka yang menempatkan kepentingan bangsa, negara, dan orang lain, di atas kepentingannya sendiri. Bukankah demokrasi pertama kali muncul karena kelaliman dari penguasa otoriter yang hanya mementingkan kepentingannya sendiri. Demokrasi menjadi anti-tesis dari egoisme. Demokrasi adalah sintesis yang berpihak pada apa yang terbaik bagi kepentingan orang banyak.
Penulis menyadari bahwa demokrasi adalah alat untuk membawa sebuah bangsa menuju kesejahteraan. Jika demokrasi saja hanyalah alat, apalagi pemilu. Ekses dari pemilu adalah kesejahteraan bangsa dan negara, bukan konflik horisontal. Pemilu hanya kendaraan yang mengantar sang pemimpin terpilih untuk menerapkan kebijakan-kebijakan yang nantinya akan membawa kaum yang dipimpinnya sesuai dengan cita-cita luhur bangsa tersebut ketika awal berdiri. Penulis yakin, setiap negara pasti bercita-cita untuk memakmurkan dan mensejahterakan rakyat di dalamnya.
Tidak ada yang ingin sebaliknya. Bahkan, konflik dan perang bisa terjadi karena pihak-pihak yang bertikai sama-sama ingin membawa kesejahteraan pada bangsanya, hanya caranya saja yang berbeda. Begitu pula di Indonesia. Tidak ada niatan dari kedua kandidat untuk menghancurkan bangsa ini hanya agar dapat dipilih sebagai pemimpin negara. Jika hancur, negara apa yang mau dipimpin? Percuma menjadi presiden jika masyarakat yang dipimpinnya berkelahi sendiri, sehingga negara pecah.
Rekonsiliasi Elit dan Individu
Masifnya perbedaan antara kubu 01 versus 02 dalam pilpres tahun lalu membuat perlunya terjadi pada tingkatan elit politik, maupun di akar rumput. Para elit harus mendorong terjadinya rekonsiliasi pada level tersebut untuk meredakan ketegangan yang mungkin saja tampak di parlemen atau badan-badan politik lainnya. Konflik atau pertentangan di masa lalu harus ditinggalkan dan dimaafkan. “Perang” bisa saja terjadi, namun dalam konteks negosiasi di meja perundingan. Rekonsiliasi di tingkat atas, yang diinisiasi oleh para elit politik, membuat permusuhan di tingkat grassroot dengan sendirinya berkurang. Rekonsiliasi individu biasanya terjadi ketika pada tataran atas, perdamaian sudah bisa dicapai.
Masyarakat akan terus berkonflik jika pemimpinnya tetap melakukannya. Sebuah ajakan untuk saling memaafkan dari elit dapat menyembuhkan luka akibat proses eleksi yang tidak dimenangkan. Rekonsiliasi individu lebih mudah tercapai karena budaya politik Indonesia yang plural dan inklusif membuat proses kembali mengikat semangat kebangsaan relatif cepat. Sekalipun, memang kehidupan berdemokrasi masyarakat di tingkat bawah juga diuji dari peristiwa pilpres kemarin, namun penulis berpendapat bahwa konstruksi kebangsaan dan ke-Indonesia-an kita bagaimanapun akan menihilkan semua upaya-upaya kebencian antar-sesama anak bangsa. Inklusifisme bangsa kita yang terbiasa dengan perbedaan adalah modal utama rekonsiliasi di tingkat individu. Kultur demokrasi substansial menekankan pada apa yang kita bisa berikan untuk sesuatu yang lebih besar daripada diri kita sendiri.
Suasana kebatinan itu adalah arus sungai yang deras, yang akan mengantarkan bangsa ini pada semangat kebangsaan yang baru. Oleh karena itu, yang terpenting dalam mengembangkan kultur demokrasi adalah kemampuan pemerintah dalam menyikapi fragmentasi sebagai konsekuensi demokrasi. Ketika fragmentasi masih berada dalam tataran pemerkayaan nilai demokrasi, maka negara tidak perlu mengintervensi. Akan tetapi, jika fragmentasi mengarah pada anarki atau semangat disintegrasi, barulah negara perlu untuk melakukan intervensi. Integrasi dalam kehidupan bernegara akan terwujud jika pemerintah memiliki kemampuan menguasai wilayah yang ada di bawah kekuasaan yuridisnya, termasuk menguasai sikap rakyat, yang digambarkan sebagai loyalitas, kepatuhan, dan kesediaan untuk menempatkan urusan-urusan nasional di atas urusan-urusan lokal.
Fragmentasi politik dalam proses demokrasi tidak akan menganggu integrasi bangsa jika spektrum politik memiliki semangat dan mekanisme yang menjamin terwujudnya integrasi horisontal (antara komponen bersaing), pada saat yang sama integrasi vertikal (antara pemerintah dengan komponen-komponen yang bersaing dalam masyarakat). Melalui rekonsiliasi, maka fragmentasi politik dalam demokrasi akan dijalankan dalam semangat tingkah laku integratif, yang menjunjung tinggi kepentingan bersama di atas kepentingan kelompok atau parokial. Pasca pilpres kondisi kebangsaan dan ke-Indonesia-an kita justru akan semakin baik. Kerusuhan tahun lalu hanyalah riak-riak kecil yang biasa terjadi dalam perjalanan demokrasi.
Pemerintah juga sudah mengatasinya dengan sangat baik, sampai berhasil menangkap dalangnya. Bisa jadi inilah tanda dari Tuhan bahwa demokrasi kita mulai menuju ke arah demokrasi substansial di mana masyarakat mulai mengerti apa esensi demokrasi, bukan hanya mengerti caranya. Karena itulah, penulis berharap seluruh insan bangsa akan bahu-membahu bersama mengejar impian kesejahteraan bagi seluruh anak bangsa. Sekalipun beberapa anak bangsa memang sepertinya punya kepentingan pribadi sendiri-sendiri, tidak akan menjadi masalah karena setiap bangsa yang besar pasti menemui tantangan maha besar pula. Bangsa besar ini tidak akan berhenti di sini. Justru akan semakin besar karena sudah belajar memaafkan.
Penulis: Jerry Indrawan M.Si (Han) Akademisi serta Direktur Pusat Studi Kemanusian dan Pembangunan