Jakarta, Teritorial.Com – Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus melemah. Kurs US$1 setara Rp 14.725 di pasar spot pada Jumat , 31/8/2018. Disebut terus melemah karena kurs pada Januari 2018 di posisi Rp 13.300 dan di bulan Maret Rp 13.800 untuk US$1. Rupiah diperkirakan melampaui batas psikologis Rp 15.000 pada akhir tahun ini. Perkiraan ini didasarkan kepada pernyataan lembaga pemeringkat Standard and Poor’s (S&P) yang menyebut rupiah akan berpotensi melemah hingga Rp 15.000 per US$1. Itu berarti mendekati kurs pada Mei 1998 yang mencapai Rp 16.650.
Kalangan perbankan mempunyai perhitungan sendiri dalam menentukan kurs . Mereka menetapkan kurs jauh lebih lemah yakni Rp 15.600 untuk harga beli dan harga jual sampai Rp 14.900 untuk US$l. Penetapan tersebut tampaknya didasarkan kepada kekhawatiran rupiah akan terus melorot, melebihi batas psikologis. Terlebih diketahui S&P sebenarnya mengungkapkan perkiraan yang moderat.
Memperhitungkan Dampak
Pelemahan rupiah telah melampaui prediksi para pejabat dan ekonom yang menyusun APBN 2018-2019 yang menetapkan Rp 13.400 per US$1. Selisih yang begitu besar antara kurs di APBN dengan kenyataan, menyebabkan harga-harga barang dan jasa makin mahal, serta menekan pembayaran pokok utang dan bunga luar negeri yang jatuh tempo pada 2018 yakni Rp 390 triliun, sedangkan tahun depan Rp 420 triliun, ungkap Kementerian Keuangan beberapa waktu lalu.
Pemerintah diperkirakan dapat membayar pokok utang dan bunganya, namun mengingat penambahan akibat perubahan kurs itu maka anggaran pada pos-pos yang lain akan tersedot. Alternatif lain, pemerintah menerbitkan lagi Surat Berharga Negara yang terdiri Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dengan tingkat sukubunga yang tinggi.
Pemerintah dapat juga mencari dukungan dari Malaysia, Jepang, Korea Selatan dan China sebagaimana Turki mendapat bantuan dari Qatar. Singapura tak bisa diharapkan sebab ketika krisis tahun 1998 itu, PM Lee Kuan Yew hanya memberi nasehat. Sekalian kebijaksanaan di atas merupakan pilihan karena penerimaan dari sektor pajak tak seperti yang diharapkan. Malahan sampai saat ini kurang Rp 664 triliun dari target yang ditetapkan pemerintah yakni Rp 1.894,7 triliun.
Seperti Tahun 1997- 1998?
Kondisi saat ini berbeda dengan kemerosotan rupiah dalam konteks krisis keuangan Asia yang dimulai bulan Agustus tahun 1997. Ketika itu spekulan matauang George Soros, Yahudi kelahiran Hongaria yang memiliki Quantum Fund, berspekulasi US$1 milyar untuk baht. Julian Robertson dari Tiger Fund melakukan hal yang sama malahan sebanyak US$3 miliar.
Bank Sentral Thailand, menurut Soros, salah menanggapi perilaku pengelola dana dengan akibat baht terjun bebas. Diapun menggoreng rupiah dan ternyata menyebabkan perekonomian Indonesia amblas sampai dibawah titik nol. Kurs rupiah terhadap dolar AS mencapai Rp 16.650/US$1. Berbeda dengan PM Mahathir yang mengecamnya, kedatangan Soros ke Indonesia beberapa tahun kemudian disambut dengan tangan terbuka. Soros menyangkal menjadi penyebab Krisis Keuangan Asia.
Dia menyatakan Bank Sentral Thailand salah menanggapi dan tidak memahami posisi yang diambil pengelola investasi (hedge fund). Namun apapun yang dikatakannya, spekulasinya menyebabkan dampak berantai. PerekonomianThailand, Korea Selatan, Indonesia, Malaysia, Hong Kong, China dan Jepang amblas. Terjadi pergantian pemerintahan diThailand , Indonesia dan Korea Selatan.
Pemenang Nobel Ekonomi tahun 2008 Paul Krugman menyatakan, perekonomian Indonesia runtuh seperti rumah pasir di pantai yang lenyap terkena ombak karena dibangun bukan atas dasar produktifitas, melainkan investasi asing dan pinjaman luar negeri. Swasta membiayai proyeknya, yang return-nya rupiah, dengan pinjaman jangka pendek dan tak mampu membayar pinjaman ketika jatuh tempo.
Selain kelemahan di atas, depresiasi rupiah, 34%, dengan segala dampaknya membuka jalan bagi keruntuhan pemerintahan Presiden Soeharto yang dinilai otoriter. Penandatanganan Letter of Intent dengan IMF ternyata tidak membantu. Aspek lain yang menyebabkan perekonomian runtuh, menurut kalangan perbankan domestik, adalah para pelaku kepentingan panik dalam menghadapi permainan Soros. Apalagi kemudian harga-harga kebutuhan pokok melambung disertai pertarungan politik membangkitkan berbagai kerusuhan.
Akankah Terulang ?
Otoritas moneter dan pemerintah mengambil pelajaran dari krisis Asia. Mengawasi secara seksama pinjaman luar negeri terutama yang dilakukan swasta. Memanfaatkan instrumen-instrumen moneter dan fiskal untuk menghadapi gejolak. Mengelola makro ekonomi secara hati-hati. Menunda berbagai proyek yang tidak perlu. Bekerjasama secara efektif dengan negara-negara lain dalam menghadapi krisis.
Meskipun demikian, nilai tukar matauang tidak hanya ditentukan daya saing produk, defisit atau tidak defisit dan tingkat produktifitas tetapi juga persepsi berbagai pihak terhadap rupiah. Pemerintah harus mengendalikan kemerosotan rupiah secara cepat dan tepat. Bukankah pada 12-14 Oktober nanti, akan ada pertemuan tahunan IMF/Bank Dunia yang diikuti sedikitnya 2.000 peserta yang berpengaruh di sektor keuangan. Kaum kapitalis penguasa dunia!.
Penulis: Syarifudin Hamid Pengamat Politik Nasional