Siapapun Presidennya. Mazhab Ekonomi Tidak Berubah

0

Jakarta, Teritorial.Com – Inilah demokrasi. Proses memastikan Capres/Cawapres lebih sulit dari menetapkan calon pengantin. Buktinya hari pertama tanggal pendaftaran (4 Agustus 2018) dilewati begitu saja. Banyak sebabnya, antara lain hal tersebut merupakan  (1) strategi mengintip kekuatan lawan. (2) Resiko berkoalisi karena masing-masing partai anggota koalisi memasang tawaran tinggi padahal secara riil tak layak. (3) Terkait biaya kampanye yang sangat besar, bisa di atas Rp 5 triliun per pasangan. (4) Memilih pasangan lebih rumit karena  memperhitungkan jumlah potensi pemilih dan persetujuan donatur.

Keempat faktor diatas serta derivatifnya membuat proses penetapan calon berkepanjangan. Kemungkinan gambaran Capres/Cawapres yang lebih jelas baru diketahui pada 10 Agustus 2018 sebelum pukul 24.00. Suatu batas waktu yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Proses yang panjang dan ‘mendebarkan’ itu merupakan ulangan sebab pernah juga terjadi di masa lalu.  Sayangnya, siapapun presidennya maka mazhab ekonomi yang dianut tidak pernah berubah. Pemerintah tetap  mengutamakan liberalisasi sektor perdagangan dan investasi, serta membuat utang luar negeri sebagai salah satu sokoguru pembangunan nasional.

Bila Presiden Sukarno berprinsip go to hell with your aid dan selektif malahan menasionalisasi perusahaan asing, maka Presiden Soeharto malah sebaliknya. Bersama tim ekonomi yang kebanyakan beranggotakan alumni FE-UI, pemerintah Orde Baru melaksanakan pembangunan nasional yang berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi. Strategi pertumbuhan yang mengandalkan investasi asing dan pinjaman luar negeri menurut pengamat kala itu, menguntungkan mereka yang dekat dengan pusat-pusat kekuasaan dan yang berpendidikkan tinggi. Tapi pemerintah menghadapi dilema, apa yang akan dibagi bila pertumbuhan ekonomi tak ada sama sekali atau minimal.

Gara-Gara Pajak

Salah satu cara untuk membuat trickle down effect atau meredistribusi pertumbuhan, yang rata-rata mencapai 6% itu,  ke khalayak yang lebih luas adalah dengan instrumen pajak. Tetapi sayang, kaum yang beruntung, termasuk perusahaan-perusahaan, ngemplang pajak.

Kombinasi antara target pajak yang tidak tercapai, defisit dalamberbagai aspek serta kelemahan kualitas sumber daya manusia menyebabkan Indonesia berada pada posisi, lemah tidak, kuatpun tidak. Kondisi ini berjalan sampai sekarang sekalipun program-program ekonomi pemerintah bertajuk Demokrasi Ekonomi, Ekonomi Kerakyatan (pada era reformasi) maupun Nawa Cita.

Ketimpangan pendapatan yang melebar dan ketidakadilan menyebabkan kekhawatiran yang meluas. Tetapi apa mau dikata… setiap kegiatan nasional kerap menambah pundi-pundi mereka yang dekat dengan kekuasaan. Dari tahun ke tahun bangsa Indonesia selalu menghadapi problem yang sama, harga barang dan jasa makin mahal,  nilai rupiah menurun, masyarakat sulit memperoleh jasa perbankan, pengangguran bertambah dan angka penduduk miskin menjadi mainan. Masih banyak lagi problem yang akhirnya membuat mayoritas bangsa ini meratap dalam sepi.

Fakta nyata, seorang Mbok jamu pada 4 Agustus 2018 menyebutkan, beberapa waktu lalu saya menjual dua gelas jamu a Rp 3.000 setara dengan satu liter beras. Sekarang dengan menjual tiga gelas jamu baru bisa membeli satu liter beras. Apakah nasib si Mbok dan rakyat Indonesia lainnya akan berubah berkat Pilpres 2019?

Penulis: Sjarifuddin Hamid Pemimpin Redaksi Teritorial.Com

Share.

Comments are closed.