Singapura Makin Menggenggam Indonesia

0

Jakarta, Teritorial.Com – Sejumlah media termasuk Teritorial.Com  memuat berita tentang keputusan pengelola Bandara Internasional Changi di Singapura yang  sejak Minggu (01/07/2018) menaikkan tarif pelayanan jasa penumpang udara (passenger service charges/ PSC)  dari S$34 (Rp 355.000) menjadi S$47,30 (Rp 494.000) bagi yang akan bertolak dari Bandara tersebut.

Menurut keterangan pengelola Bandara, PSC atau yag populer disebut airport tax merupakan salah satu sumber pendanaan, selain dari pemerintah dan Changi Airport Group, untuk membangun Changi East. Penumpang transfer juga dikenai pungutan S$6 per orang.

Perusahaan penerbanganpun dibebani kenaikan tarif  pendaratan dan parkir pesawat. Pesawat jenis A 320-200  harus membayar S$1.135, A330-300 S$3.132, Boeing 777-300 S$4.500 dan A380-800 sebesar S$6.830, ujar pengelola. Changi East merupakan kawasan  seluas seribu hektar dimana akan dibangun Terminal 5 serta landas pacu ketiga. Juga ada wahana perpindahan penumpang dan barang antara terminal yang ada sekarang dengan T3, T4 dan T5, serta infrastruktur penunjang.

Terminal 5 ditargetkan mampu menampung 50-70 juta penumpang per tahun, sementara total  daya tampung T1, T2, T3 dan T4 mencapai 82 juta penumpang. Dengan demikian secara keseluruhan akan dapat mengakomodir hingga 150 juta penumpang setahun. Kompleks Bandara terbesar di dunia.

Kenaikan PSC pada dasarnya merupakan puncak gunung es dari ambisi membangun pusat  industri penerbangan  internasional, terlalu besar bagi Singapura yang jumlah penduduknya kurang dari enam  juta jiwa.

Memangsa Indonesia

Pengembangan Changi menunjukkan Singapura tetap menempatkan bisnis jasa penerbangan sebagai prioritas utama . Maklum ia memberi kontribusi hingga 3% terhadap ekonomi nasional dan menampung 77 ribu pekerja, termasuk engkong-engkong  yang menjadi petugas kebersihan.

Pengembangan tersebut tampaknya juga selaras dengan tekad menjadi pusat bisnis dan keuangan di samping sebagai pusat  Meeting, Incentives, Conferences and Exhibition (MICE). Tentu saja pengembangan tersebut memperhitungkan penyerapan pertumbuhan penumpang  di negara-negara sekitar Singapura.

Disamping India dan China,  maka Indonesia  menjadi target utama karena  (1) secara geografis lebih dekat dan mayoritas penduduknya sudah “aviation minded”.  Executive General Manager Kantor Utama Bandara Soekarno-Hatta  M. Suriawan menyatakan, jumlah penumpang pada tahun 2017 mencapai 128 juta jiwa, naik dibandingkan dengan tahun 2016 yang berjumlah 116,8 juta.  Lonjakan paling tajam terjadi pada penumpang rute internasional, yang naik 12 persen jika dibanding tahun 2016. Pada 2016, penumpang internasional 13.131.035 jiwa, tahun berikutnya 14.718.973 penumpang.

Jumlah angkutan pesawat kargo meningkat 10 persen, dari 1 juta ton pada 2016 menjadi 1,1 juta ton pada 2017. Pertumbuhan jumlah angkutan ini sejalan dengan penambahan jumlah rute pesawat kargo, dari 471 menjadi 509 rute, tambah Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub Agus Santoso beberapa waktu lalu.

Tambahan lagi, (2) pemerintah Presiden Soeharto memberi peluang kepada Singapore Airlines dan anak-anak perusahaan menerbangi jalur Singapura ke sedikitnya 12 kota, seperti Balikpapan, Manado, Makassar, Lombok, Denpasar, Surabaya,Solo, Jakarta, Palembang, Pekanbaru, Padang dan Medan.  Tujuannya untuk mendatangkan turis asing ke Indonesia, namun kenyataannya terbalik. Lebih banyak orang Indonesia yang diangkut ke luar negeri oleh SQ, Silk Air dan sekarang Scoot.

Dengan jejaring SQ dan perusahaannya  yang mendunia, penumpang dari ke 12 kota bisa diterbangkan  ke Barcelona, Manchester, Moskow sampai ke New York, Beijing, Harbin, Seoul dan Timur Tengah. Bahkan umrah-pun bisa dari Singapura. Frekuensi penerbangan (3)  dari 12 kota itu ke Singapura rata-rata sehari sekali, bahkan dari Jakarta sembilan kali serta 15 kali per hari pada libur Idul Fitri. Belum lagi dari Surabaya, Medan dan lainnya.

Salah satu (4) keuntungan besar Singapura itu dapat dilihat pada rute Jakarta-Singapura yang dalam sehari membawa sekitar 2.700 penumpang, belum lagi ditambah Silk Air dan Scoot. Dalam hal jumlah penumpang, rute Singapura-Jakarta merupakan yang tersibuk kedua di Asia dengan jumlah penumpang 4,7 juta orang per tahun.  Jalur Hong Kong –Taipei  di urutan pertama dengan 6,5 juta penumpang dan Singapura-Kuala Lumpur  di urutan ketiga dengan 4 juta penumpang  pada 2017.

Bredan Sobie, seorang analis penerbangan, menyatakan posisi Indonesia  dengan jumlah penumpang mencapai 242 juta orang pada 2034 merupakan selling point bagi Changi. Melalui Changi, orang Indonesia tidak hanya bisa melawat ke Singapura tetapi juga ke pelosok dunia sebab SQ sendiri terbang ke lebih dari 60 destinasi.

Sikap Indonesia

Proyek T 5 merupakan pertaruhan besar dengan perkiraan biaya S$1 triliun. Meskipun pembiayaan dibagi tiga, tetapi pemerintah menanggung porsi terbesar di susul Changi Airport Group , kemudian airport tax dan pendapatan lain-lain. Tidak satu pihak pun yang dapat memastikan perkembangan industri penerbangan di masa depan. Pergantian pemerintah,perang, kenaikan harga bahan bakar, pelambatan pertumbuhan ekonomi dan sebagainya merupakan sumber ketidakpastian.

Namun yang menarik, para perencana pembangunan T5 telah memperkirakan industri penerbangan Indonesia di masa depan tak beranjak jauh. Hanya akan menjadi pengumpan untuk Hub Bandara Changi. Pesawat-pesawat milik Singapura maupun Indonesia terbang dari 12 kota atau lebih membawa penumpang ke Changi lalu SQ, Silk Air atau Scoot menerbangkannya kemana-mana. Berapa devisa orang Indonesia yang mereka serap? Berapa keuntungan mereka mengangkut turis asing ke Indonesia? Turis menginap di hotel milik siapa? Bank apa yang digunakan wisatawan tersebut? Apa provider komunikasi turis itu?

Singapura selalu berfikir dalam kerangka memanfaatkan peluang, menggunakan berbagai cara, gigih dan mengedepankan semangat bersaing agar bisa bertahan.

Kalau Indonesia?

Penulis: Sjarifuddin Hamid Pemimpin Redaksi Teritorial.Com     

Share.

Comments are closed.