UAS dan Perubahan Islam di Indonesia

0

Jakarta, Teritorial.Com – Sejak lima tahun lalu ranah YouTube di Indonesia diramaikan oleh video ceramah Ustad Abdul Somad (UAS). Dalam waktu singkat UAS segera menjadi bagaikan bintang cemerlang di mana-mana. Kecerdikannya untuk memanfaatkan media sosial sebagai upaya penyebaran pemikiran lewat ceramahnya, menyebabkan UAS menjadi teramat popular di seluruh pelosok Indonesia

Saya sendiri menjadi pengunduh setia beberapa kali setiap hari, karena saya memperoleh kemudahan untuk mengikuti ceramahnya tanpa harus mengikutinya secara langsung ke tempat dia berada.

Staminanya yang luar biasa dan cara pengungkapan yang sangat entertaining meskipun materi yang dibahasnya setiap kali ceramah kualitasnya amat tinggi, karena semuanya diiringi ilustrasi sejarah politik sosial budaya islami yang bersumber dari Quran dan Hadis Nabi. Mengikuti ceramahnya lewat HP kita seakan diajak mendengarkan sebuah gambaran sejarah Islam, seraya mendengarkan ungkapan kutipan, tidak hanya dari Quran dan Hadis namun dari berbagai kitab lain yang secara luar biasa disampaikan tanpa catatan maupun bantuan siapapun.

UAS juga rajin memberi ceramah di kampus-kampus. Setiap kali dihadiri oleh ribuan mahasiswa yang membuktikan penggemarnya merata mulai dari santri-santri di pesantren, ibu-ibu kelompok pengajian di desa-desa terpencil, hingga civitas akademika di berbagai kampus utama di Indonesia. Jumlah pengikut ceramahnya banyak, sehingga menarik perhatian dari para politisi di era Pilkada Pilgub, Pileg, hingga Pilpres sekarang. Indonesia Lawyer Club (ILC) pada 7 Agustus mengambil tema Upaya Mendaulat UAS. Terjadi dialog yang ramai, terutama dari kalangan pendukung Prabowo, yang sedang dikejar waktu menetapkan Cawapres 2019 nanti.

Terjadi jalan buntu tentang siapa yang layak mendampingi Prabowo. Dalam situasi yang makin terdesak waktu sebelum deadline, UAS dibujuk untuk maju sebagai Cawapres yang diharapkan menjadi sosok yang mampu menghentikan silang pendapat di antara empat partai pendukung Prabowo. UAS dinilai memiliki kelebihan. Tidak mewakili partai, dan memiliki kemampuan menjadi energizer untuk memenangkan kubu Prabowo. Pendengar setia ceramahnya yang diklaim mencapai 100 juta pengikut merupakan modal utama bagi kemenangan kubu Prabowo.

Namun, diskusi di ILC malam itu untuk mengajak UAS menjadi Cawapres Prabowo gagal, karena UAS tidak bersedia. Ketika berceramah di Masjid Raya Sultan Riau esok harinya UAS menolak maju Pilpres 2019. Di depan khalayak yang memenuhi Masjid Raya, UAS menyatakan “Saya sampai mati jadi ustad, tak usah ragu, tak usah takut. Pegang cakap saya. Manusia yang dipegang cakapnya, binatang yang dipegang talinya. Kalau ada manusia tidak bisa dipegang cakapnya, ikat dia pakai tali.”

Meskipun demikian, saya berpendapat Prabowo dengan kemampuan bernegosiasi pada akhirnya akan menemukan titik temu tanpa UAS, sehingga perebutan Capres dan Cawapres kelak hanya terjadi di antara dua kubu, Jokowi dan Prabowo. Mengulang pada Pilpres lima tahun lalu. Apa hikmah yang mestinya kita timba dari “pertarungan” dua kubu ini? Terlihat bahwa akan ada pertarungan antara kelompok nasionalis Islam moderat versus kelompok Islam yang terinspirasi dari gerakan 212 tahun 2017.

Siapapun kelak yang akan memimpin negara ini, satu hal yang harus digarisbawahi adalah Islam Indonesia sekarang ini telah berubah. Ada desakan kuat untuk memperhatikan umat Islam yang mayoritas. Sebetulnya semangat ini sudah lama sejak kemerdekaan RI, namun secara politis partai Islam tidak pernah sempat mempunyai peranan dibanding partai lainnya.

Ciri perubahan terasa, antara lain semakin banyak orang yang berhijab sekarang ini. Di kalangan mahasiswa baru UI misalnya, 60% sudah menggunakan hijab. Di Solo, 6 bulan lalu ketika Mata Najwa live dari Alun-Alun Solo, penontonnya sebagian besar adalah mahasiswa dan 80% berhijab. Siapapun yang nantinya jadi Presiden seyogianya memahami bahwa umat Islam di Indonesia sudah berubah.

Pemerintahan baru seyogianya mampu memaknai secara positif perubahan ini dan melakukan langkah kongkret untuk mengantisipasi umat yang sudah berubah dengan memberikan perhatian khusus kepada mereka. Hal-hal kecil misalnya, perhatian terhadap masjid bersejarah yang terlantar dan kurang terpelihara, dan masjid yang sudah tidak mampu lagi menampung jamaahnya.

Perlu didorong agar setiap sekolah negeri, rumah sakit pemerintah, maupun fasilitas gedung lainnya dilengkapi musala. Untuk umat Islam, salat lima waktu wajib hukumnya dan tidak boleh ditunda-tunda. Sehingga penyediaan musala merupakan hal yang amat penting untuk mereka menunaikan ibadah pada waktunya. Kantor pemerintahan, bahkan di mall-mall yang banyak dikunjungi oleh mayoritas yang sebagian besar Islam, perlu diminta menyiapkan musala.

Gandaria City Mall di selatan Jakarta terbaik fasilitas musalanya. Cukup besar, bersih, air cukup dan lokasinya mudah dijangkau, pantas menjadi contoh. Sekolah-sekolah negeri maupun madrasah seyogianya diberi perhatian. Walikota Surabaya bisa menjadi contoh pemberian fasilitas salat untuk pengunjung muslim di setiap taman dan ruang publik. Sekolah-sekolah Islam perlu ditingkatkan kualitasnya, baik fasilitas maupun mutu pendidikannya sehingga mereka tidak tertinggal.

Mengantisipasi Islam yang telah berubah tidak berarti mendorong Islam menjadi eksklusif. Adalah kewajiban pemerintah di era yang sudah berubah ini melakukan langkah agar umat Islam tidak tertinggal di antara keragaman kemajuan penduduk Indonesia secara keseluruhan.

Ishadi SK Komisaris Transmedia

Share.

Comments are closed.