US$ Bertengger Di Atas Koordinasi Nasional yang Lemah

0

Jakarta, Teritorial.Com – Nilai tukar rupiah yang melemah terhadap dolar AS akhir-akhir ini bukan cerita baru karena telah terjadi sejak dahulu kala.  Meskipun demikian alasan yang dikemukakan pihak berwenang nyaris serupa yaitu pelemahan terjadi karena pengaruh atau dinamika eksternal, tak ada masalah dengan kondisi di dalam negeri .

Pelemahan rupiah kali inipun dihubungkan dengan perkembangan di AS yakni rencana Bank Sentral AS (The Fed) untuk menaikkan tingkat sukubunga acuan dan prospek perang dagang Amerika Serikat – China. Bila interest rate dinaikkan, misal 0,25%, maka investor akan menarik greenback di negara-negara lain, termasuk Indonesia,  ke Amerika Serikat. Dalihnya bila dolar dibelikan surat berharga pemerintah AS, imbal hasilnya lebih tinggi.

Kebijaksanaan ini menyebabkan Indonesia kekurangan dolar AS padahal pemerintah dan perusahaan-perusahaan sangat memerlukan dolar untuk membayar utang, membiayai pembelian barang-barang impor atau membayar dividend. Akibatnya terjadi ketidakseimbangan hingga dolar menjadi lebih mahal.

Persoalannya mengapa persediaan dolar AS di Indonesia mudah mengering?

Indonesia memperoleh dolar AS berkat pinjaman luar negeri, menjual surat utang  ataupun sebagai hasil ekspor barang-jasa dan lain-lain. Perolehan itu akan disebut sebagai cadangan valuta asing (cadangan devisa) nasional.

Masalahnya, jumlah cadangan devisa tersebut  tergolong pas-pasan tidak seperti cadangan devisa Republik Rakyat China yang pada akhir Desember lalu mencapai US$ 3,23 triliun.  Cadangan devisa Indonesia akhir April 2018 berjumlah US$ 120 miliar.

Kontributor yang paling hebat untuk meningkatkan cadangan devisa bukanlah dengan menjual surat berharga, melainkan berkat hasil ekspor barang dan jasa.  Sayangnya, Indonesia masih lemah pada kedua aspek tadi.Nilai ekspor Indonesia April 2018 mencapai US$14,47 miliar atau menurun 7,19 persen dibanding ekspor Maret 2018. Secara kumulatif, nilai ekspor Indonesia Januari–April 2018  mencapai US$58,74 miliar.

Negara pemasok barang impor nonmigas terbesar selama Januari-April 2018 ditempati oleh Tiongkok dengan nilai US$13,92 miliar (27,28 persen), Jepang US$5,98 miliar (11,72 persen), dan Thailand US$3,45 miliar (6,77 persen). Impor nonmigas dari ASEAN 20,50 persen, sementara dari Uni Eropa 9,21 persen.

Nilai impor semua golongan penggunaan barang  baik barang konsumsi, bahan baku/penolong dan barang modal selama Januari-April 2018 mengalami peningkatan dibanding periode yang sama tahun sebelumnya masing-masing 26,09 persen, 21,86 persen, dan 31,04 persen.

Kenapa lemah?

Banyak faktor yang menyebabkan ekspor Indonesia kalah bersaing dibandingkan dengan negara lain. Semua faktor tersebut sudah diketahui kalangan cerdik cendekia, tetapi hanya sebatas pada kertas kerja atau usulan lisan saja lantaran sulit direalisasikan. Mungkin ada para pihak, di dalam maupun luar negeri, yang lebih suka Indonesia menjadi negara pengimpor.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang diterbitkan beberapa waktu lalu Indonesia mengimpor berbagai jenis pangan seperti beras khusus, tepung terigu, gula pasir, daging jenis lembu, garam, mentega, minyak goreng, bawang putih, lada, kentang, cabai kering tumbuk, cabai awet sementara, dan telur unggas.

Jumlah produk impor tersebut berbeda dari waktu ke waktu tetapi bila dilihat per jenis maka praktis tak pernah berubah. Mengapa tak berubah?

Supaya berubah, pada mulanya mesti dicanangkan tekad menghasilkan produk sendiri guna memenuhi kebutuhan dalam negeri agar menghemat devisa. Tekad ini kemudian dirinci dengan (1) penyediaan lahan untuk menghasilkan produk-produk pangan tersebut. (2) Birokrasi yang mendukung penyederhanaan perizinan dan meminimalisasi pungutan. (3) Ketersediaan infrastruktur yang memadai. (4) Buruh yang produktif. (5) Dukungan aparat pelabuhan. (6) Para pemangku kepentingan mendukung terwujudnya produk-produk bernilai tambah. (7) Tingkat sukubunga pinjaman yang kondusif untuk berinvestasi. Dengan demikian secara keseluruhan, pengusaha tidak dipusingkan oleh ‘predator-predator’.

Iklim investasi yang tidak kondusif itu membuat pengusaha lebih suka mengimpor karena praktis lebih mudah dan pasar sudah tersedia. Memang banyak juga pungutan, tetapi bisa dikonversi ke harga jual.

‘Ketagihan’ impor tersebut  juga didukung para pihak tertentu yang ingin mengambil manfaat. Biasanya kolaborasi ini mengental menjelang penyelenggaraan pesta demokrasi.

Wajar bila pada produk-produk pangan yang potensial itu, Indonesia sulit bangkit apalagi pada bidang-bidang lain. Benar Indonesia bisa mengekspor produk-produk non-migas, seperti mobil dan produk elektronika tetapi berapa harga kandungan lokalnya? Apakah lebih murah atau lebih mahal dari bahan baku penolong yang masih harus diimpor? Apakah tidak terjadi transfer pricing?

Sikap para pihak terkait yang tidak habis-habisan dalam mengupayakan upaya…Berdiri Di Atas Kaki Sendiri..itu patut dipertanyakan, sebab seperti membuka pintu  bagi produk-produk asing.  Tambahan lagi  kelemahan  yang berkelanjutan tersebut membahayakan posisi Indonesia dalam berdiplomasi dengan negara lain sebab menimbulkan ketergantungan.

Seandainya Indonesia punya konflik wilayah dengan Malaysia, maka Bank Negara Malaysia bisa melepas Surat Utang Indonesia. Bila Indonesia berseteru dengan Singapura, maka Singapura dapat mempermainkan ekspor BBM dan turunannya ke Tanah Air.

Kesimpulan

Sejumlah pihak menyatakan nilai tukar rupiah yang lemah memperkuat daya saing produk ekspor, tetapi kalangan monetarist juga faham model daya saing serupa itu sangat rapuh. Yang paling manjur adalah bersaing berdasarkan kualitas.

Rupiah yang lemah juga membuat debitur yang meminjam dalam dolar harus menyediakan rupiah lebih banyak untuk membayar pinjaman itu. Beban ini tidak hanya melanda pemerintah, tetapi juga BMUN dan swasta.

Rupiah yang melemah juga membuat kalangan yang kaya makin kaya sebab mereka menyimpan dananya dalam dolar AS. Sementara mayoritas rakyat makin melemah daya belinya karena produk-produk konsumsi makin mahal.

Kelemahan tersebut lumayan bisa dikompensir jika eksportir sumber daya alam industri mau membayar pajak dengan benar dan tepat waktu.

Tidak satupun pihak di dalam dan luar negeri yang membantah Indonesia itu punya segala-galanya, tetapi kenapa garam saja harus diimpor, apakah tidak bisa membuat garam industri? Apakah sudah tiada ada lagi lahan buat persawahan agar Indonesia tidak lagi mengimpor beras? Kenapa susah sekali merealisasikan industri perikanan atau kelapa?

Pada akhir pekan lalu , kurs rupiah di pasar spot berkisar pada Rp 14.190,  sedangkan Bank Indonesia merujuk pada angka Rp 14.271 per US$1. Sudah pasti rupiah tidak akan menguat sampai dibawah Rp 14.000, apalagi sampai kembali ke sepuluh sampai 25 tahun lalu.

Pelemahan rupiah menambah pula penurunan jumlah kebanggaan. Di money changer, Bandara Changi, rupiah ditempatkan paling bawah dengan nominal Rp 100.000. Di Bandara Kuala Lumpur, pedagang menyuruh kita menukar rupiah terlebih dulu ke tempat penukaran wang  sebelum berbelanja. Meskipun terungkap sekalian penyebab kelemahan rupiah, percayalah sebentar lagi semua akan dilupakan.

Penulis: Sjarifuddin Hamid Pemimpin Redaksi Teritorial.Com    

 

Share.

Comments are closed.