Jakarta, Teritorial.Com – Sejarah dapat dijadikan alat untuk menemukan pola-pola ulangan konflik, dan pada waktunya sekalian pola tersebut dapat dipakai menjejaki potensi konflik di masa depan. Kiranya hal ini yang menjadi tujuan Dewan Ketahanan Nasional menggelar Sarasehan Nasional: Proses Resolusi Konflik dan Damai Di Maluku dan Maluku Utara, yang diselenggarakan di Jakarta pada 10-11 Juli ‘2018.
Sarasehan secara khusus mengupas akar konflik di provinsi Maluku dan Maluku Utara yang terjadi pada tahun 1999-2004. Dalam konflik ini ribuan orang tewas. Belasan ribu mengungsi. Kehidupan Ipoleksosbud jatuh hingga ke titik nol. Dalam sarasehan, lebih dari 500 peserta hadir. Tidak hanya dari Maluku dan Maluku Utara, namun juga Papua, Riau Daratan, Riau Kepulauan, Sulawesi Utara, Jawa Timur dan lainnya yang rawan konflik. Suasananya sungguh warna-warni sebab pesertanya berstatus pejabat pemerintah pusat/provinsi/kabupaten/kota, sipil/militer, tokoh-tokoh agama, kalangan universitas dan masyarakat umum. Mereka yang pernah saling ‘baku pukul’ juga hadir.
Para pembicara, yang umumnya berasal dari Maluku dan Maluku Utara, mengungkapkan asal muasal konflik dan resolusinya. Mereka mengemukakan hal tersebut dari masing-masing perspektif sebagai pejabat pemerintah, LSM, akademisi dan kalangan agamawan. Ada pula sumbangan pemikiran dari Gubernur Lemhanas Letjen (Purn.) Agus Wijoyo, anggota Wantimpres Jenderal (Purn.) Agum Gumelar dan lain-lain. Jadi sebetulnya pertemuan ini telah memberi gambaran yang utuh tentang konflik yang memilukan itu dan resolusinya.
Sepakat
Dalam acara selama dua hari, peserta sarasehan sepakat dan membenarkan pernyataan Wapres M.Jusuf Kalla bahwa akar konflik di Maluku dan Maluku Tengah serta beberapa provinsi adalah ketidakadilan ekonomi/sosial/politik. Yang kemudian dibawa ke ranah agama hingga tensi konflik meningkat dan skalanya terus membesar. Dalam konflik agama, tidak ada satu pihakpun yang netral sebab para peserta konflik berpihak ke agamanya. Mereka dijanjikan memperoleh surga walaupun sebelumnya tidak patuh kepada ajaran agamanya, ujar JK yang menjadi pembicara utama.
Cuma dari mana awal segala ketidakadilan? Bicara ketidakadilan ekonomi, tentu saja terkait dengan kebijaksanaan pemerintah pusat maupun daerah. Kebijaksanaan yang tidak memperhitungkan aspek-aspek kearifan lokal berakibat tak produktif. Masalah ini sekarang dicoba diatasi dengan menyerap aspirasi dari bawah, penetapan anggaran pendidikan dan kesehatan yang mencapai 20% dari total APBN/APBD. Selain itu juga penggelontoran Dana Desa yang rata-rata berjumlah Rp 800 juta hingga Rp 1,2 miliar per desa.
Konflik juga bisa terjadi akibat pemekaran, penggabungan wilayah atau pemindahan ibukota dan masalah pemilikan tanah. Para pihak berkepentingan secara ekonomis maupun sosial merasa terganggu dengan kebijaksanaan ini, hingga terbitlah perselisihan. Konflik dapat berasal dari perselisihan pribadi dari suku yang berbeda. Keterlambatan penyelesaian menyebabkan perselisihan meluas menjadi antar suku. Apalagi kemudian telah ada bara api, yakni rasa iri karena suku yang satu lebih maju secara ekonomis dari yang lain.
Potensi Konflik Yang Laten
Indonesia letaknya sangat strategis, memiliki sumber daya alam berbasis mineral yang beragam dan berlimpah serta dapat menjadi pemasok pangan dunia. Indonesia juga merupakan salah satu pasar barang dan jasa terbesar di dunia dengan jumlah kelas menengah yang melebihi jumlah penduduk Malaysia.
Bila dahulu kala, bajak laut dari benua lain datang untuk membeli rempah-rempah dan kemudian menguasai wilayah serta mendirikan pemerintahan. Maka kondisi itu sampai sekarang tidak berubah, hanya dalam bentuk dan corak yang berbeda. Pemerintah negara-negara tertentu terus melancarkan perang asimetri agar Indonesia tetap berada dalam genggamannya.
Bila campur tangan asing itu diramu dengan segala bentuk ketidakadilan yang ada, maka kondisi domestik rawan menjadi sangat rawan. Indonesia mudah diacak-acak. Terkait kerawanan tersebut, bangsa Indonesia sangat beruntung karena para pendahulu telah mencanangkan politik luar negeri yang bebas aktif. Kalau saja tidak seperti itu dan tak disertai kebijaksanaan ekonomi liberal, maka nasibnya akan sama dengan negara-negara di Timur Tengah. Dengan demikian sudah saatnya jika semua pihak memantapkan kedewasaan berpolitik supaya tercipta kestabilan yang dinamis. Tanda-tanda yang menggembirakan sudah tampak, pasangan calon-pun tidak melulu menganut agama yang sama. Kekalahan dalam Pilkada atau Pilpres relatif dianggap wajar.
Celah yang masih dianggap rawan adalah bidang perekonomian karena secara teoritis pendapatan masyarakat yang rendah tidak mendukung sistem demokrasi atau hukum yang sehat. Tak layak bila celah ini selalu diisi dengan ‘serangan fajar’ atau paket sembako. Perlu program yang memberdayakan masyarakat ala Emas Hijau dan Emas Biru. Perusahaan-perusahaan swasta yang berinvestasi di daerah turut pula berperan mensejahterakan rakyat. Bukan sebaliknya dengan menciptakan ‘kemakmuran’ di tengah kemiskinan.
Sentuhlah Hatinya
Pada akhirnya, sebagaimana dikemukakan Sesjen Wantanas Letjen TNI Doni Monardo, pendekatan militeristik tak lagi menjadi senjata utama dalam penyelesaian konflik karena setiap pendekatan kekerasan akan melahirkan kekerasan berikutnya.Mantan Pangdam Kodam XVI/Pattimura yang menggagas Program Emas Biru dan Emas Hijau itu menambahkan, ada tiga hal yang selalu ditekankan guna merajut kerukunan dan perdamaian secara alami di Maluku dan Maluku Tengah.
Pertama, membangun kepercayaan masyarakat terhadap tentara dengan menerapkan program 4 S (Senyum, Sapa, Salaman dan Silaturahmi). Kedua, membangun kemitraan yang setara sesama lembaga pemerintah, akademik dan sosial serta lembaga keagamaan. Ketiga, membantu pemerintah daerah dalam upaya memberdayakan masyarakat sebagai bentuk kemanunggalan TNI-Rakyat dan kontribusi TNI dalam mendukung program pemerintah.
Penulis: Sjarifuddin Hamid Pemimpin Redaksi Teritorial.Com