TERITORIAL.COM, JAKARTA — Angkie Yudistia, Staf Khusus Presiden RI periode 2019–2024, menekankan urgensi percepatan penyusunan dan pelaksanaan peraturan turunan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Angkie menganggap Peraturan Pemerintah (PP) mengenai insentif dan konsesi sebagai hal yang sangat penting, yang bertujuan untuk memperkuat perekonomian penyandang disabilitas.
“Fokus saya adalah memastikan bahwa amanat UU Nomor 8 Tahun 2016 tidak hanya berhenti sebagai komitmen di atas kertas,” kata Angkie di Jakarta pada Rabu (3/12).
Sejarah Penetapan Hari Disabilitas
Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), upaya global untuk hak-hak disabilitas dimulai pada tahun 1982, saat PBB mengeluarkan deklarasi yang dikenal sebagai “World Programme of Action concerning Disabled Persons.”
Deklarasi ini menetapkan prinsip fundamental, di mana penyandang disabilitas berhak menerima kesempatan yang setara dalam aspek kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya.
Selanjutnya, pada 14 Oktober 1992 saat Majelis Umum PBB mengadopsi Resolusi 47/3, yang secara resmi menetapkan tanggal 3 Desember sebagai Hari Penyandang Disabilitas Internasional.
Seiring berjalannya waktu, PBB melakukan pembaruan istilah, dimulai tahun 2008, melalui Resolusi 62/127 dan mengganti nama peringatan tersebut menjadi “International Day of Persons with Disabilities” (IDPD).
Perubahan ini memberikan penekanan yang lebih kuat pada penghormatan terhadap identitas dan hak asasi manusia penyandang disabilitas secara lebih inklusif.
Instrumen Kunci untuk Menciptakan Ekosistem Inklusif
Angkie Yudistia meyakini bahwa PP tersebut berfungsi sebagai instrumen kunci yang memberikan peran besar dalam membuka akses yang lebih adil bagi penyandang disabilitas.
Selain itu, Angkie menjelaskan bahwa insentif dan konsesi tidak hanya memudahkan individu penyandang disabilitas, tetapi juga mendorong sektor publik dan swasta untuk mengembangkan ekosistem inklusi secara berkelanjutan.
Urgensi Adanya Regulasi Turunan Penyandang Disabilitas
Angkie Yudistia menjelaskan bahwa beberapa pertimbangan penting mendasari dorongan terhadap percepatan regulasi ini.
Pertama, ia menyebutkan bahwa regulasi ini berfungsi sebagai cara untuk meningkatkan akses ekonomi penyandang disabilitas, khususnya melalui kebijakan yang memfasilitasi peluang kerja dan usaha mereka.
Selain itu, Angkie melanjutkan, percepatan ini bertujuan untuk mengurangi ketimpangan kesempatan yang selama ini muncul akibat hambatan struktural dan minimnya kebijakan afirmatif.
Ia juga menambahkan bahwa PP tersebut perlu memastikan keberpihakan negara hadir secara operasional, bukan hanya normatif, melalui dukungan regulatif yang konkret dan terukur.
Oleh karena itu, Angkie menyoroti pentingnya menciptakan ekosistem inklusif lintas sektor yang memungkinkan penyandang disabilitas berperan sebagai bagian dari pertumbuhan ekonomi nasional.
Komitmen Bersama untuk Implementasi Menyeluruh
Angkie Yudistia berharap agar setiap pemangku kepentingan, mulai dari kementerian, pemerintah daerah, dunia usaha, hingga organisasi masyarakat sipil, terus memastikan bahwa implementasi UU Nomor 8 Tahun 2016 berjalan secara menyeluruh.
“HDI (Hari Disabilitas Internasional) 2025 ini memberikan pengingat bahwa inklusi merupakan perjalanan panjang,” kata Angkie.
Ia menekankan bahwa regulasi yang kuat akan menjamin penyandang disabilitas memiliki posisi setara untuk hidup, bekerja, dan berkarya.
Akhirnya, Angkie menegaskan bahwa peringatan HDI 2025 bukan sekadar ajang seremonial, melainkan menjadi momentum evaluasi dan penguatan komitmen yang bertujuan memastikan Indonesia dapat menjadi negara yang benar-benar menghormati, melindungi, dan memenuhi hak penyandang disabilitas.

