TERITORIAL.COM, JAKARTA – Peringatan Hari Diabetes Sedunia, 14 November, kembali menyoroti lonjakan kasus diabetes dan gagal ginjal di Indonesia. Data menunjukkan, pasien diabetes yang mengakses fasilitas kesehatan primer melonjak dari 400 ribu di 2014 menjadi 2,8 juta pada 2024.
Salah satu pemicu utamanya adalah kebiasaan minum minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK).
Survei Susenas 2023 mencatat dua dari tiga orang Indonesia mengonsumsinya setiap hari.
Kondisi itu menguatkan urgensi Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 yang menetapkan batas maksimal gula, garam, dan lemak (GGL), mewajibkan label gizi, serta memberi wewenang cukai dan pembatasan iklan.
Namun, sejumlah pasien menilai kebijakan belum cukup kuat.
Tony Samosir, Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia, menegaskan, “semoga peraturan ini bukan hanya seremoni, tapi benar-benar diterapkan di masyarakat.”
Kisah Muhamad Riski Fahrezi, mantan pasien gagal ginjal yang lalu melakukan cuci darah dua kali per minggu selama tiga tahun, menjadi peringatan darurat.
Sejak SMP, Riski rutin minum kopi dan teh kemasan. “Saya pusing, muntah, pandangan kabur. Di IGD, kreatinin saya 7, ureum 100 lebih, tensi 250/150,” ungkapnya.
“Saya benar-benar tidak tahu dampaknya separah ini,” tambah Riski. Sementara itu, satu botol teh kemasan 350 ml bisa mengandung 26-42 gram gula, nyaris memenuhi batas harian yang disarankan Kemenkes, yakni 50 gram.
Di sisi lain, Dewi Ningrum harus menyaksikan anaknya, yang masih berusia delapan tahun, melakukan cuci darah setelah dinyatakan gagal ginjal. Ia menyoroti bagaimana konsumsi es manis kemasan di sekolah sempat membuat kondisi kesehatan anaknya memburuk.
Para ahli pun mendukung langkah pemerintah memperkuat aturan.
Prof. Hasbullah Thabrany menyebut cukai sebagai alat ampuh untuk menekan konsumsi MBDK. “Kalau kenaikan harga hanya 20%, tidak ada efeknya. Harus ada titik optimum,” katanya.
Sementara itu, dr. Brian Sri Prahastuti, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, menjelaskan bahwa konsumsi GGL berlebih terkait langsung dengan penyakit tak menular seperti diabetes, stroke, dan gagal ginjal.
“Ada urgensi untuk mengendalikan konsumsi GGL melalui aturan makanan olahan berkemasan, disertai edukasi pola makan dan olahraga,” tegasnya.
Kebijakan PP No. 28/2024 menjadi langkah awal, tetapi untuk mencegah lebih banyak cerita pilu seperti Riski dan anak-anak gagal ginjal, diperlukan implementasi tegas dan edukasi publik yang masif.

