Jayapura, Teritorial.Com – Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua tengah melancarkan perang berlarut. Paling akhir, pada Sabtu, 1 Desember 2018 menembaki dan menewaskan 30 pekerja PT Istaka Karya serta seorang anggota TNI.
Mereka pekerja yang membangun jembatan di Kali Yigi dan Kali Aurak, Distrik Yigi, Kabupaten Nduga, Papua, yang merupakan bagian dari proyek Trans Papua, Wamena-Nduga. Para korban dibunuh ketika beristirahat di kamp pekerja.
Serangan berencana itu tampaknya berkaitan dengan Hari Ulang Tahun Organisasi Papua Merdeka (OPM) pada 1 Januari 2018. Sebelumnya, OPM yang disebut pemerintah sebagai KKB dari tahun ke tahun berulangkali menyerang pos-pos polisi dan TNI, serta terhadap masyarakat sipil bahkan sebuah pesawat Trigana Air di Bandara Puncak Mulia, enam tahun lalu.
OPM bercikal bakal Papua Volunteers Corps (PVC) bentukan Belanda. Belanda sebetulnya tidak rela melepaskan Papua dan sebagaimana Inggris, mereka selalu menebar bibit-bibit konflik. Di bawah pimpinan Lodewijk Mandatjan, ribuan pengikut OPM melancarkan pemberontakan dalam kurun waktu 1964-1967. Mereka berani menyerang asrama Yonif 641/Kodam Cendrawasih di Manokwari pada 1965.
Mengapa OPM mampu melancarkan konflik berlarut? Siapakah yang memasok senjata dan amunisinya? Mengapa ia mampu mempertahankan semangat juang? Mengapa serangan-serangan terpilih OPM nyaris selalu berhasil?
Papua merupakan melting pot dari banyak hal.Pulau ini menyimpan sumber daya berbasis mineral. Kehadiran PT Freeport di kawasan Timika selama puluhan tahun menunjukkan beta kayanya Papua. Selain itu Papua dapat juga menjadi ladang perkebunan dan pertanian.
Letaknya pun strategis, di sisi lain lautan Pasifik dan pernah menjadi pilihan Jenderal Douglas MacArthur sebagai batu loncatan menundukkan Jepang. Belakangan ini,nilai strategisnya bertambah yakni untuk menahan laju pengaruh China di Pasifik Selatan dan sekitarnya.
Sebetulnya tidak satupun pemerintah asing akan mendukung gerakan separatis sebab akan memukul balik pada waktunya. Tetapi organ-organ swasta di Australia, AS serta Pasifik Selatan dan pemerintahnya, secara langsung maupun tidak langsung seiring dan seirama dengan aspirasi OPM, yaitu mengusung isyu Hak-hak Asasi Manusia, semangat persaudaraan Melanesia dan kesamaan agama. Tujuan akhirnya mendukung kemerdekaan Papua dari NKRI.
Dalam kaitan ini, pemerintah Australia memang mendukung keutuhan NKRI namun juga berkehendak agar ada keterbukaan di Papua. Selayaknya, sikap Australia ini ditanggapi dengan seksama sebab Canberra juga punya masalah dengan nasib suku Aborigin, penduduk asli benua Australia.
Dana Yang Dinihilkan
Berbagai tragedi yang dilakukan OPM selalu disertai kemunculan isyu HAM dan pembangunan yang disebut tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat.Sebuah pernyataan yang patut dipertanyakan?
Sebenarnya pemerintah pusat telah berbuat banyak. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018, pemerintah mengalokasikan dana otonomi (otsus) khusus Papua mencapai Rp8,0 triliun.
Rinciannya ialah dana otsus untuk Papua Rp5,6 triliun dan Papua Barat sebesar Rp2,4 triliun. Dana ini diprioritaskan untuk pembiayaan, pendidikan dan kesehatan , ujar Direktur Jenderal Perimbanga Keuangan Budiarso Teguh Widodo awal tahun ini. Juga ada dana tambahan infrastruktur (DTI) dalam rangka otsus untuk Papua Rp2,4 triliun dan Papua Barat sejumlah Rp1,6 triliun. Dana
DTI diarahkan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur. Mulai dari jalan, jembatan, dermaga hingga sarana transportasi darat, sunga dan laut. Tujuannya mengatasi keterisolasian dan kesenjangan penyediaan infrastruktur antara Papua dan Papua Barat, serta dengan daerah lainnya,” lanjutnya.
Mengacu UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang dana otonomi khusus, alokasi dana otsus ditetapkan 2 persen dari total pagu dana alokasi khusus (DAU) nasional dalam APBN. Sebelumnya dana otsus Papua dan Papua Barat per 2016 tercatat Rp7,7 triliun, kemudian pada 2017 alokasi dana otsus Papua dan Papua Barat naik menjadi Rp7,9 triliun. Besaran alokasi anggaran dana otsus sangat tergantung dari besaran pagu DAU di APBN setiap tahunnya.
Ditinjau dari keberlangsungan dan besaran dana Otsus maka tidak ada alasan untuk mengeluh serta terus menerus mengisyukan kesenjangan. Kalau pertumbuhan ekonomi rendah, masih ada busung lapar, kemiskinan dan pengangguran masih tinggi, bukankah rancangan programnya juga melibatkan pemerintah kabupaten, kota dan provinsi? Jadi mengapa disebut program salah sasaran? Siapa yang salah?Mengapa dana Otsus disatukan dengan dana yang lain hingga menyulitkan penelusuran?
Indonesia Kuat
Menghadapi perang berlarut memerlukan kesabaran karena ada dua palagan yang dihadapi yakni, menyangkut kondisi lapangan dan perebutan opini. TNI/Polri tidak perlu diragukan lagi dalam penguasaan lapangan karena personilnya terlatih dan berpengalaman, termasuk dalam membangun cipra rasa dan karsa . Yang penting tidak terjebak dalam masalah HAM dan hukum humaniter.
Yang pelik adalah perang opini karena berlangsung tanpa dapat dibatasi ruang dan waktu. Tidak seperti tindakan penguasaan wilayah, perang opini melibatkan lebih banyak pihak termasuk kementerian luar negeri, Kominfo hingga media nasional. Bercermin dari pengalaman di Timor Timur, maka peran dominan pada satu pihak sangat tidak menguntungkan.
Pada puncaknya militer , ekonomi, dan persatuan Indonesia harus lebih kuat dibanding dengan negara lain supaya dapat dijadikan instrumen diplomasi. Kiranya, inilah aspek yang menentukan dalam perang opini.
Sjarifuddin Hamid, Pemimpin Redaksi Teritorial.Com