Ditengah Ancaman Sanksi AS, Beberapa Negara Tetap Membeli S-400 Milik Rusia

0

Moskow, Teritorial.Com – Latihan perang Vostok 2018 yang dilaksanakan di Timur Jauh Rusia merupakan latihan perang terbesar Rusia dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, dimana sekitar 300.000 pasukan yang berasal dari Rusia, Cina, dan Mongolia juga turut serta dalam latihan perang tersebut. Latihan perang terbesar Rusia tersebut dilaksanakan mulai tanggal 12 September 2018 dan berakhir pada 15 September 2018.

Melansir laman berita Al Jazeera, latihan perang ini lebih dari sekedar latihan, karena latihan ini juga merupakan kesempatan bagi Rusia untuk menunjukkan alutsista mereka, yang merupakan sumber pendapatan terbesar kedua setalah minyak.

Selama pelaksanaan Vostok-2018, Rusia menunjukkan S-400 yang merupakan salah satu sistem senjata terbaru dan dapat dijual dalam beberapa tahun terakhir. S-400 merupakan versi terbaru dari S-300, dimana sebelumnya S-300 telah dikirim ke Suriah.

Beberapa negara seperti Cina, Arab Saudi, Turki, India, dan Qatar telah menyatakan keinginan mereka untuk membeli S-400 karena kemampuan dari S-400 itu sendiri. Namun, hampir setiap pemerintah yang mengumumkan berencana untuk membeli sistem senjata dari Rusia ini mendapatkan “ancaman” dari Amerika Serikat (AS), NATO atau pihak lain yang menentang pembelian tersebut.

Melansir beberapa ahli yang diwawancarai oleh Al Jazeera dijelaskan bahwa alasannya bukan hanya karena S-400 secara teknologi memang canggih, tetapi juga karena pembelian tersebut berpotensi menimbulkan resiko bagi aliansi yang sudah berlangsung lama.

“S-400 merupakan salah satu sistem pertahanan udara yang paling canggih yang ada saat ini, setara dengan yang terbaik yang ditawarkan oleh pihak Barat”, ujar Siemon Wezeman, peneliti senior Stockholm International Peace and Research Institute (SIPRI) dalam program transfer senjata dan pengeluaran militer.

“Radar dan sensor lainnya, serta misilnya, mencakup area yang luas – radarnya memiliki jangkauan setidaknya 60 km untuk pengawasan, dan misilnya memiliki jangkauan hingga 400 km,” kata Wezeman seperti yang dikutip dalam Al Jazeera

“S-400 sangat tepat dan mampu melacak sejumlah target besar yang potensial, termasuk target yang bersembunyi.” tambah Wezeman. Keuntungan lainnya yakni pengaturan modular dan mobilitas yang tinggi, dimana hal tersebut menunjukkan bahwa S-400 dapat diatur, diaktifkan, dan dipindahkan dalam beberapa menit.

Kevin Brand, seorang analis militer yang bekerja dengan Dewan Hubungan Luar Negeri menjelaskan kepada Al Jazeera bahwa S-400 dimaksudkan untuk menjadi sistem rudal satu ukuran untuk semua. “Ini dapat dikonfigurasikan dengan senjata jarak jauh, semi jarak jauh, jarak menengah, dan bahkan jarak pendek, tergantung bagaimana penggunanya ingin mengkonfigurasikan S-400,” ujar Brand.

“Ini sangat kasar dan sangat mudah beradaptasi. Selain itu, S-400 juga merupakan sistem berjalan, sesuatu yang sedang dikembangkan oleh banyak negara.”

Turki, salah satu anggota NATO, merupakan salah satu pembeli S-400 yang paling potensial. Pada tahun 2018, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan bahwa pada bulan Agustus Ankara akan berupaya untuk mendapatkan sistem misil tersebut secepat mungkin, dimana jika merujuk kepada Rusia yakni pada tahun 2019. Akan tetapi, ketertarikan Turki pada sistem misil Rusia “menakuti” sekutu Barat NATO, baik untuk alasan teknis maupun alasan politis.

“Dalam hal teknologi, S-400 akan menjadi sebuah langkah maju (bagi Turki), tetapi belum tentu menarik perhatian NATO untuk memiliki sistem senjata yang terintegrasi dalam arsitekturnya yang lebih luas,” ujar Brand. Lebih lanjut, Brand menjelaskan, S-400 berpotensi menyebabkan situasi menjadi berbahaya.

“Ketika Anda melihat sistem S-400 milik Rusia, khususnya dalam struktur NATO, terdapat skala kesulitan ketika mengintegrasikannya dengan sistem pertahanan yang lebih besar”, ujar Brand.

“Jika Anda menganggapnya sebagai situasi yang tidak berbahaya, skenario paling sederhana yakni datanya kemungkinan tidak dapat digabungkan kedalam arsitektur pertahanan yang saat ini digunakan oleh NATO. Hal itu tentunya merupakan skenario kasus terburuk.”

NATO sangat bergantung kepada beberapa sistem kerjasama pada jaringan yang lebih besar. Lebih lanjut Brand menjelaskan bahwa terdapat potensi yang lebih berbahaya, adanya resiko bahwa Rusia memiliki niat yang buruk.

“Kontrak seperti apa yang akan diterapkan teknisi Rusia dalam menangani S-400, sebagai contohnya, akankah personil pemeliharaan Rusia memiliki akses ke data (NATO)?”

“Skenario terburuk adalah adanya kerentanan yang berhubungan dengan sistem yang dapat dieksploitasi oleh musuh potensial.

“Memasukkannya berarti berpotensi membahayakan jaringan pertahanan Anda sendiri.”

Bagi India, Arab Saudi dan Qatar yang bukan bagian dari aliansi seperti NATO, membeli sistem seperti S-400 akan menyebabkan masalah teknologi yang lebih kecil, akan tetapi dapat beresiko terhadap hubungan diplomatik dan ekonomi dengan AS.

Pada tahun 2107, AS menerapkan Undang-Undang  untuk memberikan sanksi atau embargo kepada suatu negara terkait aktivitas belanja peralatan militer ke Rusia atau yang dikenal dengan Countering America’s Adversaries Sanctions Act (CAATSA), sebagai respon atas tudingan turut campurnya Rusia dalam pemilihan umum AS pada tahun 2016 dan keterlibatan militer di Ukraina serta Suriah.

CAATSA memungkinkan AS untuk bertindak terhadap individu, perusahaan, atau negara yang “menganggu keamanan internasional”.

Departemen Luar Negeri AS mengatakan bahwa Cina telah membeli pesawat SU-35 dan rudal darat S-400 dimana hal tersebut telah melanggar CAATSA. Selanjutnya, beberapa minggu setelahnya disampaikan bahwa India juga berpotensi mendapatkan sanksi jika India tetap melanjutkan rencananya untuk membeli sistem rudal S-400. Akan tetapi, India memutuskan tetap membeli sistem senjata tersebut.

“India menempatkan prioritas hubungannya dengan Rusia. Di dunia yang berubah dengan cepat saat ini, kami menganggap hubungan semakin penting,” ujar Perdana Menteri India Narendra Modi kepada Presiden Rusia Vladimir Putin setelah mereka menandatangani kesepakatan.

Merujuk kepada Wezeman, peluang AS untuk menindaklanjuti ancaman dari sanksi sangat kecil, khususnya untuk negara seperti India atau Arab Saudi. “Sanksi tidak otomatis dan pengecualian dimungkinkan jika untuk kepentingan nasional AS,” ujar Wezeman.

“Sanksi sebenarnya tidak mungkin bagi India dan yang lainnya, jika negara tersebut merupakan mitra militer dan politik bagi AS. Bahkan sanksi terbatas mungkin akan membuat negara-negara tersebut cukup “marah” – untuk “melukai” kepentingan AS.”

Akan tetapi, sanksi ekonomi tidak mungkin, mengecewakan AS pada akhirnya dapat bermuara kepada perselisihan diplomatik.

“Ada juga masalah diplomatik disini, karena perjanjian untuk menjual teknologi yang cukup sensitif kepada sebuah negara menyiratkan keselarasan yang lebih luas dari berbagai masalah politik, dan itulah sebabnya mengapa AS mengisolasi Rusia sebagai tindak lanjut dari apa yang terjadi di Ukraina,” ujar Charles Forrester, analis senior industri pertahanan di Jane’s by IHS Markit kepada Al Jazeera.

Bagi AS, pembelian tersebut membentuk lebih dari sekedar ancaman militer – mereka tengah menentang keterlibatan Rusia dalam konflik global, tetapi juga tentang mempertahankan hubungan diplomatik AS dan mencegah Rusia menerima mata uang yang berkurs tetap untuk perlengkapannya, ujar para analis.

“AS tengah berupaya untuk memperkuat respons diplomasinya di panggung dunia kepada negara-negara yang melanggar tatanan aturan global,” kata Forester.

Jadi, mengapa Turki, India atau negara lainnya mengambil resiko hubungan diplomatik dengan AS?

“India tidak suka membeli dari satu vendor dan beragntung kepada satu negara, jadi dari perspektif geopolitik India masuk akal jika membeli beberapa sistem dari Rusia dan beberapa lainnya dari AS,” ujar Brand.

“India juga memiliki hubungan yang lama dengan membeli perangkat dari Rusia, jadi mereka memiliki pengalaman yang banyak dengan perlengkapan ini”

Motif lainnya adalah berbagi teknologi militer, sesuatu yang tidak ingin dilakukan oleh AS, tidak seperti Rusia. “Rusia bersedia untuk menyuplai S-400 kepada siapapun dan membagikan teknologi hingga batas tertentu,” jelas Wezeman, meskipun dia menambahkan bahwa belum jelas sejauh mana pembagian teknologi itu akan berlangsung

Dan khususnya untuk Turki, Wezeman mengatakan, S-400 telah menjadi semacam projek kesombongan. “Tidak tunduk kepada AS dan NATO menunjukkan bahwa Turki dapat menghadapi AS dan NATO”, ujar Wezeman

Share.

Comments are closed.