Jakarta, Teritorial.com – Pusat Studi Hukum Tata Negara (PSHTN) Fakultas Hukum Universitas Indonesia menyatakan bahwa keputusan Menteri Dalam Negeri soal jabatan penjabat Gubernur dari unsur kepolisian bertentangan dengan UU Pilkada dan konstitusi RI.
Ketua Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Mustafa Fakhri mengatakan, bahwa keputusan tersebut juga berdampak pada pudarnya netralitas Polri sebagai amanat dari reformasi.
“Jabatan pelaksana tugas atau penjabat Gubernur *harus* berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya yang berasal dari kalangan sipil sebagaimana diatur di dalam Pasal 201 ayat (10) UU Pilkada,” jelas dia dalam keterangan yang diterima, Sabtu (27/1/2018).
Tidak hanya itu, kata dia, wacana Mendagri untuk menunjuk perwira tinggi Polri yang masih aktif sebagai penjabat Gubernur Jawa Barat dan Sumatera Utara merupakan juga telah mencederai semangat reformasi.
“Mendagri merujuk kepada Permendagri No. 1/2018 tentang cuti di luar tanggungan negara bagi kepala daerah, namun Permendagri tersebut justru bertentangan dengan materi muatan UU Pilkada,” beber dia.
Mendagri, lanjut dia, juga salah memahami maksud dari Pasal 4 ayat (2) Permendagri tersebut memuat norma yang menyatakan bahwa yang menjadi penjabat Gubernur berasal dari pejabat pimpinan tinggi madya/setingkat di lingkup pemerintah pusat/provinsi.
“Dasar inilah kemudian Mendagri mengasumsikan bahwa perwira tinggi Polri merupakan jabatan yang setingkat dengan pimpinan tinggi madya. Padahal, di dalam ketentuan UU Pilkada telah diatur secara limitatif bahwa hanya pejabat pimpinan tinggi madya saja yang dapat menjadi penjabat Gubernur,” jelas dia.
Selain itu, ujar dia, wacana menjadikan perwira tinggi Polri yang masih aktif untuk menjadi pelaksana tugas atau penjabat Gubernur merupakan langkah mundur proses reformasi yang telah bergulir selama hampir 20 tahun ini.
“Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 28 ayat (1) dan (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Polri bersikap netral dalam kehidupan politik dan apabila terdapat anggota Polri yang menduduki jabatan di luar kepolisian maka itu dapat dilakukan setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian,” kata dia lagi.
“Artinya, bila Mendagri ingin mengusulkan perwira tinggi sebagai pelaksana tugas atau penjabat Gubernur harus mengusulkan polisi yang telah pensiun atau telah mengundurkan diri dari dinas kepolisian. Dengan demikian, netralitas Polri tetap terjaga dan tidak menimbulkan “dwifungsi” Polri sebagaimana dwifungsi ABRI pada zaman Orde Baru,” pungkas dia.
Dengan pertimbangan tersebut, PSHTN FHUI mendesak Presiden untuk tidak menerbitkan Keputusan Presiden mengenai pelaksana tugas atau penjabat Gubernur dari kalangan non sipil (TNI/Polri).
Hal ini agar, tegas dia, agar semangat reformasi yang mengutamakan supremasi sipil dan telah berlangsung selama hampir 20 tahun ini tetap terjaga.
“PSHTN FHUI juga mengingatkan kembali kepada Pemerintah untuk senantiasa mengelola negeri ini sesuai dengan koridor hukum yang berdasarkan Konstitusi. Jangan sampai kebijakan yang diputuskan oleh Pemerintah justru menghidupkan kembali rezim otoritarianisme baru dan mematikan kehidupan berdemokrasi di Indonesia yang telah diperjuangkan oleh rakyat Indonesia,” pungkas dia. (ROS)