Pembaharuan Strategi Australia dan Implikasinya pada Kepentingan Indonesia

0

Canberra, Teritorial.Com – Peningkatan pendanaan pertahanan Australia yang signifikan dan perpindahan postur pertahanan ke arah yang lebih asertif berpotensi memunculkan asumsi bahwa hal tersebut akan disambut oleh Indonesia. Bagaimanapun juga, seperti pepatah lama yang menyebut “musuh dari musuhku adalah temanku” dan Indonesia tentunya memiliki tantangan tersendiri dengan China, hal ini terlihat jelas dari meluasnya pelanggaran batas yang dilakukan China hingga ke Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia.

Namun, pada kenyatannya, respons Jakarta terhadap Pembaharuan Strategi Pertahanan dan Rencana Struktur Angkatan 2020 kemungkinkan akan menjadi lebih rumit dan akan membutuhkan manajemen yang trampil oleh para pembuatan kebijakan Australia.

Seperti dilansir dari War on Rocks, dengan asumsi tidak adanya keterkejutan atas pengumuman kebijakan Canberra, perubahan dalam kebijakan pertahanan Australia seolah menandai bahwa hal ini menjadi peluang bagi Indonesia.

Imperatif strategis yang mendasari pembaruan akan dipahami dengan baik oleh para pembuat kebijakan strategis Indonesia, yang menghargai dampak dari  teknologi dan implikasi dari perkembangan strategi Beijing hingga ke Laut China Selatan dan Samudra Hindia.

Faktor-faktor tersebut menjelaskan perluasan definisi dari “wilayah terdekat” dalam pembaharuannya menjadi “area mulai dari Samudra Hindia timur laut, melalui maritim dan daratan Asia Tenggara hingga Papua Nugini dan Pasifik Barat Daya” sebagai wilayah “kepentingan strategis sebenarnya” Australia.

Demikian pula, pembaruan dan pengakuan Rencana Struktur Angkatan taktik “zona abu-abu”, termasuk “taktik paramiliter yang koersif di Laut China Selatan,” adalah tekanan yang dirasakan lebih langsung oleh Indonesia dibanding Australia, karena pelanggaran teritorial laut oleh China Coast Guard, yang memimpin armada penangkapan ikan di sekitar rantai pulau Natuna di Indonesia.

Aparat pertahanan Indonesia juga akan memahami bahwa tiga tujuan strategis baru yang diidentifikasi dalam pembaruan tersebut sebagai dasar perencanaan pertahanan – membentuk lingkungan strategis Australia, mencegah tindakan yang bertentangan dengan kepentingan Australia, dan merespons dengan kekuatan militer yang kredibel – sebagian bergantung pada kerja sama Indonesia.

Konflik berintensitas tinggi di Indo-Pasifik adalah sebuah skenario yang diprediksi sebagai “masih tidak mungkin” tetapi “saat ini kurang jauh.” Tetapi tidak perlu menunggu konflik dengan intensitas tinggi terlebih dahulu untuk membuat kerja sama penting Indonesia yang memungkinkan Angkatan Pertahanan Australia beroperasi dan bermanuver di ruang udara dan maritim Indonesia.

Ini merupakan tambahan atas kebutuhan yang penting seperti berbagi informasi dan intelijen yang terkait dengan perkembangan ancaman dan peringatan pengerahan personel ADF, senjata dan perangkat keras militer.

Dalam hal ini, Pembaharuan Strategis Pertahanan dan Rencana Struktur Angkatan 2020 secara khusus terlihat menjanjikan bagi angkatan bersenjata Indonesia, meskipun hal ini tidak akan pernah diungkapkan secara terbuka. Militer Indonesia, yang saat ini tengah terkendala dalam proses modernisasi militer karena keterpurukan ekonomi yang disebabkan oleh COVID-19, mungkin akan “iri” melihat investasi Australia.

Menurut update terbaru, anggaran pertahanan tahunan Australia pada tahun 2020-2021 mencapai AU$ 42,2 miliar ($ 29,3 miliar). Sebaliknya, anggaran pertahanan Indonesia pada tahun 2020 hanya berkisar pada $ 9,26 miliar, dan saat ini dipotong sebesar $ 590 juta karena pandemi

Bagi militer Indonesia, program kerjasama pertahanan Australia telah lama dilihat sebagai sumber penting bagi pengembangan keterampilan dan peluang pendidikan di luar negeri. Akan tetapi, fokus pembaharuan pada “penguatan keterlibatan internasional” kemungkinkan akan melihat potensi peningkatan latihan bersama, pertukaran informasi, peningkatan kapasitas, dan pertukaran informasi intelijen.

Masih belum jelas apakah yang dimaksud dengan pembaharuan berarti memperluas wilayah pengawasan di timur Australia yang disediakan oleh jaringan radar Jindalee over-the-horizon yang mungkin berarti bagi kesadaran wilayah maritim milik Indonesia – peningkatakan kesadaran akan kebutuhan kritis untuk mencegah tidak terjadinya pelanggaran teritorial oleh kapal China dan yang lainnya.

Demikian pula, pembaharuan komitmen untuk “bekerja bersama” dengan Amerika Serikat untuk mengembangkan kerjasama pertahanan di kawasan membawa kesempatan bagi militer Indonesia. Koordinasi yang lebih besar tidak hanya antara Australia dan Amerika Serikat tetapi juga dengan Jepang, India, dan Korea Selatan tidak diragukan lagi membawa keuntungan dalam mengakses perlengkapan militer dan paramiliter, intelligence sharing, kesadaran akan domain militer, pelatihan dan meningkatkan interoperabilitas.

Selain itu, meningkatkan kehadiran Australia dan Amerika di kawasan akan mendukung kekuatan bagi militer Indonesia, yang berpotensi menembus perihal anggaran yang terbatas.

Pada tingkatan yang lebih praktikal, Australia dan Amerika Serikat perlu menyeimbangkan prioritas pengadaan Indonesia dengan ketegangan politik antara AS dan Rusia. Rusia tetap menjadi mitra pertahanan yang sangat penting bagi Indonesia. Indonesia merencanakan pengadaan Sukhoi Su-35 Flanker E multirole fighters buatan Rusia, yang meningkatkan kemampuan detterent terhadap China, tetap terhambat oleh sanksi AS pada ekspor pertahanan Rusia. MEngurai ketegangan politik antara AS dan Rusia serta tujuan strategisnya di Indo_pasifik akan membutuhkan konsultasi yang erat dan pengecualian kebijakan yang diperlukan.

Saat militer Indonesia dilihat sebagai penerima manfaat atas postur pertahanan Australia yang lebih asertif, para diplomat di Kementerian Luar Negeri Indonesia kemungkinan akan merasa tidak nyaman dengan implikasinya untuk meningkatkan persaingan strategis dan potensinya untuk lebih jauh melewati ASEAN sebagai arbiter pada tatanan regional.

Indonesia memandang sentralitas ASEAN sebagai untuk untuk melunakkan ketegangan diantara major powers, tetapi juga semakin meningkatnya ketegangan diantara China dan claimant states ASEAN atas klaim-klaim maritim China. Akan tetapi, kemampuan ASEAN untuk menengahi tensi di kawasan, didasari oleh kepemimpinan Indonesia yang kuat di kawasan, menjadi kurang jelas dalam beberapa tahun terakhir. Ketidakefektifan hubungan ASEAN juga telah diperburuk oleh tidak adanya kebijakan strategis yang koheren tentang China di dalam pemerintah Indonesia sendiri.

Terdapat orang-orang di dalam politik Indonesia yang meskipun mereka tidak menerima gangguan China di perairan Natuna atau berkembangnya klaim mereka hingga ke hak maritim bersejarah, tidak nyaman dengan aspek pertahanan Australia yang lebih asertif, terbukti dari pengadaan rudal jarak jauh, kapal selam, fregat, ranjau laut, dan investasi dalam hipersonik, kemampuan ruang, serta sistem yang otonom.

Koordinasi lebih erat yang diperdebatkan dengan AS mengenai keterlibatan keamanan regional, sementara itu, beresiko menimbulkan sentimen nasionalis dan kebencian lama tentang Australia sebagai proxy AS. Tujuan strategis Australia dapat terhambat atau didorong oleh politisasi masalah keamanan regional.  Kecenderungan untuk menyatukan China Indonesia dengan China daratan dan tindakan Beijing sangat rentan terhadap manipulasi elit politik, sebagaimana dibuktikan oleh pemilu Indonesia baru-baru ini.

Dengan memburuknya lingkungan strategis Indo-Pasifik, hubungan Australia dengan Indonesia diasumsikan akan menjadi semakin penting. Australia harus siap menerima meskipun ada konvergensi strategis yang berkembang, padangannya tidak akan selalu sejalan dengan Indonesia, dan ada resiko hubungan ke depan yang memerlukan pertimbangan kebijakan untuk saat ini.

Oleh karena itu, modalitas kerjasama yang baru dan inovatif dengan Indonesia dan negara-negara di kawasan lain perlu dirumuskan dan didukung oleh sumber daya yang memadai jika Australia ingin mencapai sasaran strategis yang baru di kawasan Indo-Pasifik.

Share.

Comments are closed.